Share

6. Kenangan Lalu Bag. 1

Tujuh tahun sebelumnya.

Deru knalpot terdengar berhenti di halaman rumah Ikhsan. Tak berselang lama, Nadya mendengar sapaan salam. Dadanya tiba-tiba memanas disusul debar tak beraturan. Dia kenal suara itu.

Dengan langkah buru-buru, Nadya berlari ke arah jendela. Membuka tirainya sedikit, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu debar-debar halus itu kian menggila saat akhirnya, dia benar-benar melihat siapa yang datang.

‘Nggak mungkin, ‘kan? Mau apa dia?’ Nadya menggigit bibir.

Ada yang seketika bergemuruh, namun Nadya tak bisa menghentikannya. Setelah sekali lagi mencoba menenangkan diri, hati-hati Nadya membuka pintu. Lalu tampaklah wajah Ali dihiasi selarik senyum lembut di antara sorot mata teduhnya.

“M—Mas Ali ... ?”

“Ya.” Ali kembali mengulum senyum. “Aku.”

“S—silakan, Mas.”

Nadya menggeser diri, memberi jalan pada Ali untuk masuk. Lalu mempersilakannya duduk. Masih tak percaya pada apa yang dilihat, sesaat Nadya berdiri kikuk memandang laki-laki itu seperti orang bodoh yang tak tahu harus melakukan apa.

“Mau duduk di sini?” tanya Ali sembari menunjuk sebelah tempatnya duduk.

Nadya terenyak kaget. Lalu menggeleng pada detik berikutnya. “A—ada perlu apa ya, Mas?”

“Mau ketemu Kang Ikhsan, dan ...

... kamu.”

“A—aku?” ulangnya kebingungan. Kedatangannya saja sudah merupakan kejutan bagi gadis itu, apalagi jawabannya.

“Ka—kalau gitu, aku ... panggilkan ayah dulu.” Nadya berbalik dengan hati yang mulai diselimuti kecemasan.

Pemuda dewasa. Datang dan mengatakan ingin bertemu orang tuanya setelah selama ini, Nadya merasa tahu apa yang laki-laki itu rasakan.

Nadya baru akan menghilang di balik tirai pintu hubung saat namanya kembali dipanggil.

“Ya?” jawabnya.

Alih-alih menjawab, Ali justru menarik bibir. “Tidak, nanti saja tunggu ayah sekalian.”

Nadya tercenung. ‘Nunggu ayah? Untuk?’

Sayangnya kalimat itu justru membuat jantung Nadya kian berdengap. Apa maksudnya?

Meninggalkan tamunya sendirian. Nadya melangkah buru-buru menemui Ikhsan yang tengah menemani istrinya di dapur.

“Yah ...”

Ikhsan menoleh. “Ya, Nduk?”

“Ada tamu.”

***

Masih lekat dalam ingatan Nadya, hari di mana dia melihat wajah Ali berubah pucat bersamaan dengan dentaman keras di dadanya begitu mengetahui apa maksud kedatangan Ali.

Sebuah kenyataan yang akhirnya membuat dia menyesal telah menuruti sang ayah untuk menerima lamaran Pramono, dan menyerah untuk menunggu.

“Maaf ya, Al, tapi ... Nadya sudah dilamar orang, dan hanya hitungan hari sampai pernikahan mereka dilangsungkan.” Ikhsan mengatakan dengan ekspresi sesal tanpa dibuat-buat.

Wajah yang semula menunduk, sontak menatap tak percaya pada laki-laki di depannya. Lalu berpaling pada perempuan di sebelahnya.

Ali tersenyum sumir. “Wah, nggak berjodoh,” ujarnya, seakan kabar itu bukan apa-apa baginya.

Meski berusaha menarik bibir dan terlihat baik-baik saja, tapi terpampang jelas sesal di wajah itu akibat kabar yang baru didengar.

Nadya bisa melihatnya. Luka yang sama menyakitkan dengan yang dia rasakan. Menganga dan entah bagaimana dia akan membalut setelah itu.

Gadis itu berpaling, demi menyembunyikan panas yang merambat ke wajah.

Di sampingnya, tak kalah menyesal, Ikhsan memandang Nadya sebelum kembali bicara, “Sayang sekali, kenapa baru sekarang? Kamu kenal Nadya dari kecil, bahkan bisa dikatakan besar di lingkungan yang sama.” Kini dia memandang Ali.

Satu hal yang akhirnya Nadya sesali adalah keputusan terburu-buru menerima Pramono. Membuatnya berandai, kalau saja dia bersabar sedikit lagi. Kalau saja, Ali lebih cepat. Kalau saja ...

Nadya menunduk. Diabaikannya wajah pucat laki-laki yang menatapnya dari seberang meja, untuk menyembunyikan hangat yang merebak di wajah. Ngilu di dada merajam hatinya. Air mata menggantung seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan kapan pun.

Nadya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Tak ingin menampakkan kesedihan, dia bangkit. “N—Nad ke kamar dulu,” ucapnya dengan suara bergetar. Lalu melangkah buru-buru ke kamar.

Brak!

Daun pintu tertutup keras. Seruan kalimat istigfar dari arah dapur terdengar setelahnya. Lalu wanita paruh baya muncul dengan langkah terburu-buru.

“Nadya, ada apa?” tanya Dinar cemas sambil mengetuk pintu.

“Maaf, Ibu ... Nadya cuma lagih ... hngg—nggak enak ... badan. Tolong suruh ... Mas Ali pulang,” ucapnya di antara isak. Suaranya tenggelam dalam bantal di bawah wajah.

“Pulang? Kenapa?”

Nadya sudah menduganya. Sang ibu jelas-jelas tak akan membiarkannya begitu saja.

Nadya tak menyahut. Merasa tak mungkin menyatakan perasaannya saat itu, gadis itu hanya menggelengkan kepala di antara tangis yang menderai.

Di ruang tamu, terdengar samar Ali bicara pada Ikhsan, “Kang, boleh saya ngomong sama Nadya?” tanyanya.

Kang begitulah dia memanggil ayah dari Nadya. Nadya dan Ali memang masih kerabat jauh. Seharusnya, Nadya memanggil Ali dengan “Paman” dan bukan “Mas” seperti yang selama ini dia lakukan.

Setelah hening sesaat, Ikhsan mengangguk.

Di kamarnya, Nadya kembali mendengar suara ketukan. “Nad, bisa kita ngobrol?” tanya Ali.

Nadya kembali tergugu. Hatinya remuk. Lalu menggeleng meski tahu Ali tak akan melihatnya. Cukup lama dia mengabaikan, hingga kembali terdengar kalimat kedua, “Nad, sebentar aja.”

Sembari bangkit, Nadya menyeka wajahnya. Memastikan tidak ada sisa air mata di pipi. Lalu membuka pintu dan dilihatnya Ali sudah berdiri di depan kamar.

 Lihat, tatapan teduh itu, memindai penuh perhatian disertai senyum samar di bibir. Memburamkan kembali pandangan Nadya dan tak butuh waktu lama sampai butiran bening itu luruh kembali.

Nadya mengangkat tangan. Berkali-kali pukulan geram dia layangkan begitu saja pada Ali. Namun, alih-alih menghindar laki-laki itu justru mendekap, mengabaikan dua orang tua yang berdiri di belakang mereka.

Seperti bangkai yang tak bisa disembunyikan selamanya, begitu pun perasaan cinta. Mau tak mau, Dinar dan Ikhsan pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang manusia itu.

“Maaf, Dek. Maaf banget,” ucap Ali dengan suara bergetar.

Pukulan itu berhenti. Berganti gelengan putus asa di antara tangis menderai. ‘Terlambat!’

Nadya berharap bisa pergi saat itu juga. Jauh dari Ali. Jauh dari Pram. Jauh dari semua hal yang mungkin akan menyakiti semua pihak atas keberadaannya. Andai bisa ...

Nadya mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu. Terlihat bekas merah di kedua mata Ali, yang mau tak mau meluruhkan lagi air mata Nadya, memaksanya kembali menunduk.

“Aku pulang?” Ali memastikan.

Kecuali gelengan, tak ada jawaban apa pun. Ali mengurungkan niatnya pergi. Lalu kembali memberinya pelukan.

Detik berikutnya, Ali menggenggam tangan Nadya sebelum berbalik ke arah kedua orang tua yang kini duduk di belakangnya.

“Kang, boleh kubawa Nadya? Sebentar saja.”

Di ruang itu, sesaat keheningan merajai. Ikhsan tampak berat memberikan mereka izin sampai terdengar Dinar bicara, “Izinkan, Yah, percayalah, Nadya dan Ali tak akan menghianati kepercayaanmu.”

Masih enggan memandang sepasang manusia itu, Ikhsan menghela napas berat. “Setengah jam. Tidak lebih,” ucap laki-laki itu akhirnya.

“Percayalah, Kang, kami cuma akan makan sebentar.” Ali menoleh sesaat pada Nadya, lalu pada Ikhsan yang dibalas anggukan pasrah.

To be continue ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status