Share

7. Kenangan Lalu Bag. 2

Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata.

Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu.

Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan.

Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati sedang kacau. Meski keduanya sama-sama tahu makanan manis apa pun tidak akan bisa mengubah apa yang mereka rasakan sekarang.

Hening masih menguasai sampai Ali mulai membuka suara, “Maaf, ya. Mas terlambat.

Meski tahu bagaimana perasaanmu, aku tak berani mengatakannya sejak awal,” imbuhnya. “Dan sekarang ...” Ali tak melanjutkan kalimatnya. Karena akhir dari kisah itu sudah jelas. Sensasi ngilu kembali terasa di dadanya.

“Ayo kita lari,” ucap Nadya tiba-tiba. Raut putus asa tampak jelas di wajahnya.

Ali menatap tajam perempuan di depannya. Lalu melengos. “Nad ...”

“Mas ....” Suara itu terdengar bergetar. Tak kuasa menahan air matanya kembali menitik.

“Pernikahan tanpa ridho orang tua tidak akan berjalan baik, Nadya. Kita bahagia. Tapi hancur setelahnya,” ucapnya meraih tangan kiri perempuan yang kembali terisak di depannya.

“Dan Mas biarin aku nikah sama orang lain?” Nadya memandang dengan tatapan menuntut. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran Ali. Jelas-jelas mereka saling mencintai.

Laki-laki itu masih diam. Dia berpaling ke arah jendela. “Tidak kecuali Ayahmu mengizinkan.”

Kali ini, Nadya yang membuang muka. Diusapnya kasar kasar setetes yang meluncur bebas dengan punggung tangan.

Setelahnya, tak ada perbincangan apa pun. Nadya menggeleng di antara sedu yang menyedihkan. Menolak, entah untuk hal yang mana. Barangkali untuk rasa sakit yang akhirnya harus dia rasakan. Lebih pedih daripada saat mencintai laki-laki itu diam-diam.

Alangkah bahagianya seorang wanita atas lamaran yang sangat ditunggu. Mendapati kenyataan laki-laki yang dicintai selama ini, rupanya—benar—menaruh perhatian, hati perempuan mana yang tak bahagia?

Sayangnya ... semua terlambat. Bahagia dan luka itu melebur menjadi satu dalam deraian air mata.

Merajam jantung.

Menyesakkan.

***

Malamnya, Dinar berupaya bicara dengan suaminya mengenai nasib Nadya. Dia berharap Ikhsan bersedia membatalkan rencana pernikahan Nadya dengan Pramono demi menghindari masalah di kemudian hari.

Alih-alih setuju, laki-laki murka. Bukan hanya pada Nadya yang selama ini bisu atas perasaan pada Ali. Tapi juga ide sang istri yang menurutnya mustahil. Pernikahan Nadya tinggal menghitung hari.

Hidup di kampung dengan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi, sulit bagi Ikhsan membatalkan pernikahan setelah semuanya nyaris siap—seingin apa hatinya melihat sang putri bahagia.

“Tapi, Yah, lihat anakmu,” keluh Dinar. “Dia mencintai Ali.”

Ikhsan menoleh dengan tatapan menghunus. “Ibu ingin ayah bagaimana? Itu salah dia, kenapa diam selama ini?” jawab Ikhsan terkesan tak peduli, meski Dinar yakin itu hanya sebatas kata-katanya saja.

Dinar menarik napas dalam. “Menurut Ayah, dengan watak Ayah yang begini, apa putrimu berani mengungkapkan perasaannya?” Dinar menekan nada bicaranya. “Jangankan mengungkapkan perasaan, memikirkan untuk itu pun, dia tak akan berani.” Wanita itu berpaling.

Ikhsan tak menyahut.

“Pasti ada alasan kenapa Nadya bungkam, Yah. Putrimu itu pemalu. Penakut lebih tepatnya. Mana mungkin dia berani mengatakan lebih dulu. Ke Ayah, apalagi ke Ali?”

Ikhsan masih diam. Keheningan itu berlangsung beberapa menit, sampai terdengar sahutan, “Menurut Ibu, bagaimana malunya keluarga Pramono kalau kita membatalkan pernikahan?

Dan jika kita yang di posisi mereka, apa bisa ibu membayangkan bagaimana kecewa dan malunya kita?” Ikhsan menghela napas dalam.

“Pramono pemuda baik. Dia mencintai Nadya sama seperti Ali—setelah kita tahu semuanya. Apa adil, jika dia harus mendapat hukuman atas kesalahan yang tidak diperbuat?”

Pertanyaan itu pula yang akhirnya melenyapkan harapan di hati gadis yang menguping di balik pintu kamar. Dia yang sempat mengira sang ayah akan mendukung batalnya pernikahan itu, harus kecewa setelah mendengar jawabannya.

Pupus sudah. Di kamar yang sengaja dibiarkan gelap, Nadya tergugu menyadari betapa jahat pikirannya, andai batalnya pernikahan itu sampai terjadi. Dia yang salah, bagaimana mungkin membiarkan orang lain menanggung akibatnya?

Tak ingin kedua orang tuanya kembali bersitegang, Nadya bangkit. Diputarnya knop pintu. Dua orang yang semula beradu mulut menoleh ke arahnya. Nadya mendekati dua orang yang duduk di ruang tengah keluarga, tak jauh dari kamarnya dan berdiri tak jauh dari mereka.

“Nadya nggak berubah pikiran, Yah. Kita lanjutkan pernikahan sesuai rencana.”

***

“Selamat, sebentar lagi kau jadi wanita yang yang sesungguhnya,” Ali berucap.

Nadya memilih diam, mengabaikan laki-laki di sampingnya. Pandangannya tertuju pada bunga-bunga di halaman yang entah kenapa seperti sedang ikut terluka.

“Kau pasti akan sangat cantik.” Ali menatap lekat wanita menunduk di sampingnya.

Pandangan Nadya tertuju pada tangan di pangkuan, meski sebenarnya tidak ada apa-apa kecuali jemari lentik yang dibalut kulit bersih.

Detik berikutnya gadis itu menoleh. “Masih ada waktu untuk kita lari, Mas.” Kedua matanya tampak memerah.

Menatap wajah Nadya yang menyedihkan, senyum yang semula terlukis di wajah Ali, seketika terhapus. Dia kemudian berpaling.

“Aku bisa saja membawamu pergi,” ucap Ali terjeda helaan napas dalam, “aku hanya tak siap membiarkan orang tuamu menanggung akibatnya. Lalu menjadikan aku menantu yang dibenci. Hal yang sama, mungkin juga akan terjadi pada orang tuaku. Bayangkan bagaimana malunya juga Pramono dan keluarganya.

Kamu tak ingin itu terjadi bukan?”

Nadya seharusnya tahu jawaban Ali akan tetap sama. Gadis itu berpaling hanya untuk menghapus air mata dengan ujung jari sebelah seseorang keluar dari pintu Ikhsan.

“Aku pulang dulu.” Roro berpamitan pada Dinar. Dengan mata yang sama-sama sembab, keduanya saling memeluk. Pandangannya kemudian berpaling pada Nadya yang telah bangkit. Roro merentangkan tangan seiring langkah mendekat.

Sebuah pelukan hangat Nadya terima dari orang yang biasa dipanggilnya, “Mbah”. Bukan karena orang itu benar-benar tua, namun karena silsilah keluarga mereka.

“Selamat ya, Nduk. Wis, ndak papa.”

Pertahanan Nadya runtuh. Perempuan itu tergugu dalam pelukan wanita yang dia kira akan menjadi ibu mertuanya.

To be continue ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status