Share

8. Jalang

Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi.

Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang.

“Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap.

“Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.”

Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu.

Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemuda berhati lembut yang harus menyesali keterlambatannya memperjuangkan cinta dan berakhir dengan patah hati tak berujung.

Ali.

“Sedang apa, Nak?” tanya Bu Roro yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengejutkan putra sulungnya yang tengah menatap jauh.

Ali terenyak. Buru-buru dia berpaling dari sekumpulan orang yang tengah berpamitan di halaman rumah Minarti. Laki-laki itu menatap sekilas sang ibu, sebelum kembali berpaling ke arah lain.

“Cari angin, Bu,” jawabnya, “Ibu kenapa belum tidur?” Ali balik bertanya. Laki-laki itu bangkit, mendekati sang ibu yang kedapatan menoleh ke arah teras Minarti. Lalu mendorong pundaknya perlahan, memaksanya berbalik dan kembali masuk.

“Nadya, ‘kan?” tebak Roro akhirnya.

Ali tak langsung menjawab. Lalu berakhir dengan gelengan saat melihat sang ibu memandangnya dengan tatapan menuntut.

“Jangan bohong, kamu, Al. Ibu lihat kamu bawa anaknya siang tadi.”

Ali menghela napas dalam, “Apa nggak ada yang bisa Ali sembunyikan dari Ibu?” tanyanya putus asa seraya menjatuhkan diri di atas kursi. Tangan kirinya meraih bantal busa cream lalu menggunakannya sebagai bantalan kepala.

“Ali, mereka sudah bahagia,” jelas Roro sekali lagi, setelah entah sudah berapa kali.

“Ali tahu, Ibu.” Ali memejamkan mata.

“Lalu, kamu kapan?”

Tak ada jawaban. Setelahnya Ali memilih bungkam karena Roro akan mengungkit semua nama gadis yang pernah dia kenalkan dan tak satu pun dari mereka tertarik dia dekati.

Sebaliknya benaknya justru menerawang jauh pada perempuan berambut panjang tergerai itu. Perempuan yang dia sadari masih menyimpan cinta begitu dalam. Dan kini, dia mulai menyesal telah menolak membawanya lari kala itu.

***

Usai menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya melangkah menuju dapur karena mencium aroma kopi. Benar saja, Pramono tengah berdiri di tepian kabin kompor, dengan dua cangkir kopi di depannya. Satu yang pekat untuk dirinya sendiri dan satu lagi Nadya tahu betul untuk siapa.

“Belum ngantuk, Mas?” Nadya mendekat dan menarik satu kursi.

“Belum, Mas masih mau ngobrol banyak sama kamu.”

Nadya mengulum senyum. “Kalo gitu ke sofa aja yuk. Kita sambil nonton film.”

Nadya beranjak setelah meraih satu gelas dari meja dapur dan meletakkannya di meja ruang tengah. Dia kemudian melangkah ke kamar untuk mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman.

Sebuah dress rayon dengan potongan dada berbentuk V dan elastic di belakangnya, menjadi pilihan Nadya kali ini. Itu gaun favorit Pramono karena menampakkan dengan sempurna lekuk tubuh Nadya.

Urung bangkit, Nadya menunduk saat tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Desir-desir halus muncul seiring hadirnya wajah Ali yang tengah tersenyum, terlintas begitu saja dalam benak.

‘Astaga.’

Nadya memejam demi menyingkirkan bayangan itu. Pandangannya lalu tertuju pada parfum di meja. Meraih lalu meletakkannya kembali setelah menyemprotkannya ke tubuh. Lalu pada lipstik warna merah menyala dan mengulaskannya sedikit tebal ke bibir.

Rambut yang semula terikat, dia urai dan mengacaknya sedikit. Dengan frustrasi, setengahnya karena merasa usahanya menyingkirkan Ali dari benak tak membuahkan hasil, Nadya bangkit dan melangkah buru-buru keluar.

Di ruang tengah, Pramono sudah asyik dengan filmnya. Ruang tamu mendadak berubah seperti bioskop. Layar besar di depan sana memancarkan cahaya dari film yang sedang ditonton.

Nadya menggeleng saat melihat sekilas film apa yang tengah diputar. Horor adalah temanya. Tapi adegan di dalamnya justru memperlihatkan betapa dewasa film itu.

Setiba di sofa, Nadya menyusul duduk dengan kaki menyilang. Menampakkan paha bersihnya tanpa dia sadari. Kemudian meraih cangkir di meja dan mulai menyesap isinya sedikit.

Aroma kopi semakin menguat sesaat setelah cairan kental itu masuk ke kerongkongan. Nikmat. Nadya menyukainya.

“Udah baikkan?” Pramono memulai.

Pertanyaan dari suaminya justru membuat Nadya terenyak. Lalu memicing pada detik berikutnya. “Baikkan?”

Pramono mengangguk. “Mas lihat kamu pucat, Mas kira nggak enak badan.”

Menyadari kekhawatiran sang suami, Nadya tersenyum malu. “Cuma capek, Mas.” Dia bohong lagi.

Laki-laki di samping Nadya menoleh. Dipandanginya wajah sang istri lekat. Bias cahaya dari layar besar itu membuat kulit yang memang sudah bersih semakin berkilau. Salah satu alasan Pramono merasa begitu beruntung mendapatkan Nadya meski tahu mustahil Nadya tak memiliki penggemar kala itu.

Mengabaikan layar televisi di depan sana, Pramono mendekatkan wajah ke arah istrinya.

Nadya tahu betul gelagat itu. Nadya masih diam, sebelum—entah bagaimana bayangan Ali tiba-tiba menyelinap, lagi. Membuatnya memalingkan muka tanpa disadari.

Pramono tertegun sesaat. Sorot penuh tanya tampak jelas di matanya. Tangan kirinya meraih wajah Nadya, dan kembali mendekat. Nadya memejam.

Pramono mulai bergerilya. Nadya menggeliat setiap kali bibir tipis suaminya melekat di kulit.

Seperti dendam kesumat. Malam itu Pramono beringas melampiaskan semua hasrat yang terjeda.

***

Pramono mengenakan lagi pakaiannya. Sementara Nadya memilih berselimut membelakanginya. Sebuah kecupan melayang di pipi disusul pelukan dari belakang.

Nadya menghela napas dalam. Berharap sesak yang sejak tadi bersarang segera berlalu dari relungnya.

Perjumpaan dengan Ali menggelincirkan ingatan Nadya kembali pada kenangan lama, entah untuk kali berapa. Menjerembapkan dirinya ke dalam luka, yang baru disadari belum sembuh sepenuhnya. Hingga tanpa terasa air matanya mulai menitik. Kian deras seiring detik berlalu.

‘Aduhai ....  Aku bukan perempuan jalang. Tetapi bagaimana bisa ragaku melayani Pramono sedang benakku memikirkan Ali?’

Nadya terisak saat mengingat dirinya merasa menjadi penghianat ulung kehidupan indah dambaan setiap wanita.

“Kenapa, Dek?” Tiba-tiba Pramono bertanya. Nadya lupa soal isak yang biasanya membuat tubuh berguncang.

Tak ingin suaminya curiga, dihapusnya air mata cepat. “Nggak apa-apa, Mas, cuma ... capek,” jawabnya karena memang benar-benar lelah. Seharian, hatinya dirundung gelisah dan malamnya dia menjadi jalang di hadapan suami sendiri.

Pramono bangkit. Dia berjalan ke luar, lalu kembali dengan segelas air di tangan. “Minumlah,” ucapnya seraya mengulurkan air itu pada Nadya.

Nadya menerima gelas itu, lalu meneguk isinya hingga tandas.

Di depannya Pramono memandang dengan wajah dipenuhi rasa bersalah. “Maaf. Harusnya tadi kamu bilang kalau ...” ucapnya.

Merasa meminta hak di waktu yang tidak tepat, Nadya tahu, Pramono menyesal.

Perempuan itu menatap kedua mata teduh di hadapannya. Lalu seketika pandangannya kembali berembun. Lihat, meski hanya dalam benak, bagaimana bisa seseorang mengkhianati laki-laki sebaik dia?

Nadya menggeleng. “Maaf, Mas.”

“Maaf kenapa?” Pramono menyimak.

Tangannya membetulkan letak selimut Nadya, menutupi punggung yang terbuka. Lalu menyibak helaian rambut yang menutup sisi wajah ke belakang, melewati bahu.

Kali ini, Nadya menunduk. “Buat ... semuanya,” lanjutnya terdengar begitu berat.

Tak mengerti dengan sikap istrinya yang tak biasa, Pramono menatapnya lekat. “Kamu beneran hamil kali, Dek? Kita periksa besok, ya?”

Nadya kembali menggeleng. “Mas, ‘kan besok harus pergi,” cegahnya, “maaf, Insya Allah nggak apa-apa. Aku cuma capek aja kok.”

Pramono menghirup napas dalam, tanpa menoleh sedikit pun dari istrinya. “Ini ... bukan gara-gara ...” kalimatnya menggantung.

Laki-laki itu kemudian membuang pandang di antara helaan napas berat, “Lupakan. Tidur, yuk. Besok Mas harus berangkat pagi. Mana tenang kalau keadaan kamu begini?” ujarnya sambil mengusap pipi Nadya dengan ibu jari.

To be continue ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status