“Jadi ... Mas ingin orang mengira kita ada hubungan dengan menawarkan itu?” Annisa akhirnya memilih mengutarakan pendapat alih-alih menerima tawaran itu. Dia bukan orang yang mau mengambil kesempatan setelah dibantu. “Tidak perlu. Aku bisa pulang, dan serahkan uang itu pada ayah. Terima kasih sebelumnya. Aku usahakan bayar secepatnya.” Ali mengangguk. Tak masalah bagi Ali kapan Annisa akan membayarnya. Dia percaya Annisa akan menepati ucapannya walau mungkin sedikit lebih lama. “Lalu, kapan Mas akan jelaskan ke Mbak Nad? Aku ... merasa bersalah.” Annisa menatap ponsel di tangan yang sebenarnya tidak ada apa-apanya selain samar pantulan wajah di layar yang gelap. Seraut wajah yang awalnya dia anggap cantik, kini begitu menyedihkan setelah jatuh cinta dan kandas begitu saja. “Aku belum tahu,” jawab Ali. Dia pun ingin menjelaskan secepatnya, tapi mengingat Pramono di rumah, dia tak ingin Nadya mendapat masalah. “Abaikan saja dulu. Kupastikan dia paham bahwa kita tidak ada apa-apa.”
“Gimana ceritanya, Bulik?” tanya Annisa pada wanita di ambang pintu. “Bulik dengar masalahnya hutang, dan kamu mengingkari perjanjian nikah dengan anaknya.” Erna berpaling, lalu kembali menatap Annisa. “Kenapa, Nduk? Mbok nurut saja. Kasihan bapakmu.” Annisa kembali tergugu mengingat percakapan beberapa menit yang lalu. Di sepanjang jalan menuju rumah Rizal, dengan pandangan buram dia menatap deretan nomor telepon yang diberikan Erna padanya. Itu nomor yang orang tuanya berikan sebelum meninggalkan rumah akibat pengusiran yang diterima. ‘Pengusiran? Kejam sekali.’ Annisa tak menyangka bahwa orang yang mereka anggap keluarga tega memperlakukan Narto sekejam itu. Tangis Annisa belum reda saat laki-laki yang menyetir turun di depan sebuah bank dan melangkah gesit ke arah mesin Anjungan Tunai Mandiri di ujung halamannya. Lalu kembali keluar dan berjalan cepat ke mobil dengan segenggam uang, setelah berada di dalamnya cukup lama. Tangis Annisa semakin menjadi saat melihat laki-laki yan
Beberapa hari lalu. Rizal menghentikan laju mobilnya di jalan tak jauh dari rumah Ratno. Setelah mengatakan melalui sambungan telepon tentang niat kedatangannya, Rizal disambut baik oleh pasangan sepuh itu di teras rumah. Pemuda itu melangkah perlahan, bukan hanya untuk menjaga sikap di depan calon mertuanya tetapi juga agar kepalanya tak menyentuh atap rumah Narto yang rapuh dan nyaris roboh, yang setiap kali dia melintas maka ujung atap itu akan sangat dia perhatikan. Itu membuatnya ingin segera memboyong Annisa beserta kedua orang tuanya ke rumah baru. “Pripun wartosipun, Pakde?” Rizal meraih tangan kanan Ratno dan mengecupnya. “Baik, Zal. Apa kabar, kamu?” Rizal melangkah masuk, mengikuti paman bibinya dan menyusul duduk setelah dipersilakan. Sementara Salamah berpaling ke dapur bermaksud membuat jamuan. Dulu, Rizal memang kerap berada di sana. Bisa dibilang dialah yang mengisi rumah itu dengan keberadaannya, karena Salamah yang mengasuh dia selama sang ibu mengajar. Bagi Riz
Rizal memasuki mobilnya dengan perasaan marah dan terhina. Marah, karena sikap laki-laki yang bersama Annisa. Tapi juga bersyukur atas jaminan gadis itu baik-baik saja. *** Satu hari berlalu sejak insiden di tepi jalan yang nyaris membuat pipinya memar akibat pukulan dari laki-laki sok pahlawan itu, Rizal ingin tahu bagaimana kabar Annisa. Maka diambilnya ponsel, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama perempuan yang sebenarnya berada di urutan teratas. Bahkan lebih atas dari kata “Ayah” dalam daftar kontak itu. Setelah satu tarikan nafas dalam, bunyi dengung tanda panggilan terhubung akhirnya terdengar. Dan nasib baik, suara itu terputus cepat, berganti sapaan salam tanpa harus membuatnya menunggu lama seperti biasanya. Mendengar suara itu lagi, desiran hangat menjalar ke sekujur tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum tipis untuk rasa rindu yang akhirnya terobati. “Apa kabar, Sa?” tanya Rizal, meski dia ingin sekali protes andai memiliki hak. Tentang sikapnya yang berubah tepat
Rizal membuang muka. Kecuali itu dia tak tahu apa-apa mengenai kepergian Paman dan bibinya. Detik berikutnya, terdengar ketukan halus sol sepatu di atas lantai keramik. Seorang lelaki dengan kantung plastik di tangan kanan, mendekat perlahan ke arah orang-orang di ruang tamu. Ali. Laki-laki itu berdiri di tak jauh dari Naryo. Beberapa detik dia menunggu dipersilakan duduk, tapi kemudian sadar, keadaan tidak sedamai itu untuk sang tuan rumah sempat memikirkan kenyamanan tamunya, dan memilih tetap berdiri. “Saya mewakili keluarga Annisa, untuk membayarkan hutang mereka.” Ali meletakkan kantung berisi sejumlah uang di atas meja, kemudian mundur dua langkah dan tetap pada posisi berdiri. Sementara Sunaryo justru menghela napas. Dia berpaling kepada Annisa setelah sempat melihat kantung hitam itu sesaat. “Pasti ada salah paham, Nissa. Paklik ndak pernah menagih pembayaran hutang itu harus lunas dalam waktu dekat.” Naryo menatap Rizal dan Annisa bergantian, “apa tidak ada nomor yang bi
“Aku harap begitu. Sayangnya dia mencintai wanita lain. Dan ... Bersuami.” Ali menghentikan laju mobil di tepi jalan ketika terngiang kembali kalimat Annisa beberapa menit lalu. Sesaat dia berupaya menetralkan rasa panas di dada dengan helaan napas panjang dan bersandar di kursi kemudi. Itulah hal yang dia takutkan sekaligus alasan dia marah pada Nadya malam itu. Karena berhutang cinta kepada orang lain tidak selalu bisa ditunaikan pertanggungjawabannya. Nadya .... Ali memejam ketika nama itu terlintas di benaknya. Sudah dua hari sejak hari itu dia tak mengetahui kabar wanita itu. Wanita yang entah bagaimana wajahnya tak juga mau menyingkir dari ingatan. Lihatlah, bahkan hanya dengan mengingat wanita itu sudut hati Ali terasa hangat sekaligus ngilu. Laki-laki itu merogoh saku celana dan menggulirkan ibu jari pada daftar kontak sebelum berhenti pada satu nama. Tanpa berpikir dua kali laki-laki itu kemudian menekan tombol call. Persetan soal Pramono, dia harus mendengar suara wanita
Rumah dua lantai itu terlihat sedikit berbeda karena pintunya terbuka. Dua orang lelaki baru melangkah melewati pintu dan pandangannya langsung tertuju ke arah Ali. Mereka mengangguk diiringi senyum ramah saat melihat Laki-laki itu keluar dari mobil. Ali menyapa mereka. Dengan raut penuh tanya, sesekali pandangannya tertuju ke arah pintu, lalu ke arah dua pria itu. Tak biasanya orang-orang datang ke rumah bersama-sama. Apa yang terjadi? “Ada apa, Paklik?” Ali bertanya. Setelah saling melihat satu sama lain, satu di antaranya menjelaskan bahwa Roro belum lama tadi pingsan di jalan. Mereka bermaksud membawanya ke rumah sakit, namun Roro menolak dan meminta dibawa pulang untuk beristirahat di rumah. Mendengar penjelasan mereka, seketika Ali memicingkan mata. “Kenapa tidak menghubungi saya?” **** Setelah mengucapkan terima kasih kepada dua orang itu, juga pada wanita yang menyusul keluar di belakangnya, Ali melangkah ke menuju kamar sang Ibu. Laki-laki itu membuka pintu kamar sang
Suara tangis Hasna menjadi pengiring perjalanan sang ibu ke rumah sakit. Selama di ruang ICU perempuan itu tak sekejap pun bisa duduk tenang. Seorang dokter membuka pintu. Dia menyampaikan, “Hanya satu orang yang boleh mendampingi, dan pastikan tidak ada kegaduhan.” Laki-laki itu menatap bergantian Ali dan Alifiya, sebagai intervensi bahwa merekalah yang dimaksud. Keduanya saling menatap lalu mengangguk paham sebelum dokter itu melangkah pergi. Ali meminta Hasna menunggu di luar kecuali dia bisa menahan tangisnya. Memasuki ruang ICU yang dingin, Ali memandang wajah wanita terlelap itu seiring langkah mendekat. Dia lalu meraih satu tangan sang ibu, mengecup dan menggenggamnya. “Maaf, Ibu.” Meski telah berupaya menahan agar air matanya tak luruh, nyatanya kecemasan tetap merajai hati. Ali mengusap sudut matanya sebelum menganak sungai. “Ibu ndak apa-apa,” Roro berucap, dan kontan membuat air mata Ali justru membanjir di pipi, bukan hanya akibat sakitnya sang ibu, namun ... lebih d