“Apa setampan itu?” “Ya. Kau puas?” Nadya mendelik. Semu merah di kedua pipi. Suara tawa kembali terdengar. “Mereka adikku,” ucap Edwin sambil menunjuk satu bingkai di sebelahnya. Di sana tiga orang terlihat dalam satu bingkai, satu di antaranya Edwin. “Dua-duanya?” “Ya. Satu dari mereka tinggal di Malaysia meneruskan bisnis ayah. Yang lagi yang perempuan di Jerman, kuliah dan bekerja di sana.” “Kalian keluarga sempurna.” Edwin tersenyum samar. “Tidak sesempurna kelihatannya. Ibuku sering kali harus kesepian saat ayah tak di rumah. Aku yang paling sering kena marah,” sanggahnya lalu terkekeh pelan. “Kepedihan yang akhirnya kurindukan.” Meski berusaha melukis senyum, tapi kedua alis itu adalah bukti perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Nadya bisa melihat itu. “Jika definisi sempurna yang kau maksud adalah harta dan pencapaian yang ada pada kami, maka kau salah besar, Nadya. Sempurnanya sebuah keluarga adalah saat dua manusia yang membina bisa saling mengisi kekosongan peran
Pandangan mereka mengunci. Seperti tersengat yang memicu debar-debar halus memburu setelahnya, Nadya semakin bimbang saat akhirnya satu tangan Edwin terangkat dan menyelip di tengkuk. Sementara tangan yang lain mengangkat dagunya. Ragu-ragu Nadya memandang wajah sendu itu. Dia tahu apa yang laki-laki itu pikirkan dan merasa tengah memikirkan hal yang sama. Detik berikutnya, dengan gerakan begitu lambat, laki-laki itu mendekatkan wajah. Nadya memejam. Kemudian dengan berat hati dia berpaling menghindari laki-laki itu. Edwin terpaku dalam posisi yang sama, lalu tersenyum. Entah karena kecewa merasa ditolak, atau bangga pada sikap Nadya, keduanya sulit dia bedakan. Edwin mengusap pucuk kepala wanita itu. “It’s ok. I proud of you.” Lalu genggamannya beralih ke jemari. Gugup, Nadya menghirup napas dalam-dalam seiring upaya melepaskan genggaman laki-laki itu. “Maaf, Edwin,” ucapnya lirih serupa bisikan. Dia meletakkan gelas itu di meja dan menjauh seperti orang ketakutan. Mengabaikan e
Di rumah Tuan Aji.“Sudah lebih baik?” tanya Syarif pada wanita di ujung sambungan telepon.Belum lama tadi, tepat ketika terdengar sahutan dari ujung sana, terdengar pula suara wanita terisak-isak. Ratna tersedu dengan suara yang terdengar sangat memilukan di telinga Syarif. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi.“Ya, Kak. Maaf,” jawab Ratna setelah beberapa saat pertanyaan itu menggantung di udara.“Kau butuh bantuan, Ratna?”“Tidak. Tak perlu, Kak,” jawab Ratna dengan suara bergetar.“Tapi suaramu mengatakan sebaliknya.”Kembali terdengar isak lirih di ujung sambungan telepon. “Kak Syarif benar. Menjadi yang ke dua di tengah keadaan yang sulit, tidaklah mudah.Tidak mudah menjaga hati agar tak terluka. Na kecewa sekali.” Suara isak kembali mengiringi kalimat demi kalimat Ratna. “Begitu kecewanya sampai anak yang tak bersalah menjadi korban kekesalan.”Syarif menghela napas dalam. “Tasya?” tanyanya. “Apa yang terjadi?” Mendadak perasaan Syarif diliputi kecemasan. “Sulit mengubah pe
“Mas tidak menahannya?” “Kenapa? Dia punya urusannya sendiri.” Hasna mendengkus pelan. “Benar. Tapi ... bukankah dia gadis yang manis, Mas?” “Tak semanis adik di belakangku, tentu saja.” “Halah, gombal.” Sebuah tepukan mendarat di pundak Ali. Suara kekeh terdengar setelahnya. “Kenapa Mas nggak datangi aja?” “Untuk apa?” Hasna menarik napas. “Aku tau Mas suka Annisa. Mas cuma tidak menyadarinya.” “Ngawur!” “Ingat doa ibu tetap berlaku walau sudah meninggal.” “Apa hubungannya dengan doa?” Ali menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh tanpa benar-benar melihat sang adik yang duduk dengan kedua tangan terlipat di dada. “Kalau kau hanya ingin menggangguku, lebih baik pergilah.” Hasna menatap kesal. “Aku akan pergi setelah Mas dengarkan aku,” balasnya tersungut-sungut. “Ibu berdoa semoga Mas bisa membuka hati untuk gadis itu. Kenapa enggak mencoba mewujudkan doa ibu? Itu bagian dari wasiat loh ...” Kali ini, Ali benar-benar menghentikan gerakan tangannya. Di tempat yang sama, di
“Apa kau tidak dekat dengan ayahmu?” Sesaat pertanyaan itu terasa menyengat bagi Nadya. Dia sempat terpaku menatap Edwin yang memandang lekat ke arahnya. Sedetik kemudian bahunya kembali terguncang seiring air mata yang deras berjatuhan. Wanita itu menggeleng. “Ayah adalah laki-laki yang tegas. Terlampau tegas, dalam pandanganku. Sulit sekali mengubah jalan pikiran ayah. Sesulit mendekatinya,” jelasnya di antara isak tangis. Nadya merasakan genggaman di tangannya semakin erat. “It’s ok, Nadya. Aku paham perasaanmu.” Edwin menenangkan. “Lalu sekarang, apa kau masih mencintai suamimu?” Pertanyaan itu seketika membuat Nadya menoleh pada laki-laki di belakang kemudi. Pertanyaan yang sama, pun akhirnya muncul di benaknya. Apakah aku masih mencintai Pramono? Bahkan, apa aku pernah mencintainya? *** Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Nadya tiba-tiba merasakan melilit di lambung. Dia baru ingat tak sempat belanja sore tadi karena insiden di rumah Edwin. “Hubungi aku jika kau but
Pagi yang sibuk. Derap langkah terdengar bising saat Nadya memasuki kantor dengan status baru. Karyawan. Bukankah itu menyedihkan? Seorang istri melamar sebagai karyawan di kantor, yang sialnya dia tidak tahu itu milik suaminya sendiri. Tidak tahu di mana dan kapan kantor itu didirikan, kecuali setelah dia resmi menjadi bawahan. Terbayang jelas di benak Nadya apa yang akan Pramono lakukan padanya untuk membalaskan kekesalan, mengingat bagaimana sikap laki-laki itu di hari mereka bertemu. “Pagi, Kak.” Sapaan Dewi membuat Nadya terenyak dari lamunan. Dia mengangguk. “Pagi.” Di ujung lorong, Hana sudah menunggunya dengan seulas senyum yang dalam pandangan Nadya terasa tak biasa. Perempuan itu mengangguk segan seakan tengah berhadapan dengan atasannya. “Kak Nadya?” sapanya. “Ya, Mbak.” Ragu-ragu wanita itu kembali bicara. “Kita ada rapat jam delapan.” Nadya manggut-manggut. “Oh, ok.” “Mari saya antar ke meja kakak dulu.” *** Waktu menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit.
Menit berganti. Pramono dan Nadya masih terjebak dalam hening, sebab memang tak ada yang ingin dia sampaikan. Dia hanya ingin berdekatan dengan wanita itu, sekedar mengobati rindu. Walau setelah melihat bagaimana perbuatan mereka kemarahan itu masih mengganjal di dadanya. Pramono menghela napas berat. “Bagaimana kabar Ali?” Nama itu pantang dia sebut kecuali untuk mengetahui bagaimana reaksi wanita di sebelahnya. Itu pertanyaan yang membuat suhu tubuh Nadya meningkat begitu saja. Diingatkan pada dosa besar yang diperbuat, mendadak dia merasa begitu panas dan gelisah. Nadya merasa dia akan diadili. “Kenapa diam?” tanya Pramono lagi. “Dia ... baik, Mas.” Tenggorokan Pramono tercekat begitu saja. Dia menelan kecut di antara senyum sumir Kedua tangan di meja menggenggam erat, sebagai upaya untuk tetap tenang. Detik berikutnya terdengar dering panjang dari saku celana Pramono. Laki-laki itu merogohnya cepat. Satu usapan sebelum benda pipih itu berpindah ke telinga. “Ya, Ratna?” Dent
“Kak Jev?” ucap Nadya sambil mengusap sisa air mata di wajahnya. Dia tahu nama laki-laki itu saat rapat tadi. “Hai.” Laki-laki itu melangkah masuk. “Aku ditunjuk Hana untuk membantu mengarahkan kamu dalam proses editing.” Laki-laki itu mendekati Nadya yang masih duduk di kursi yang sama sejak masuk tadi. Nadya memandang Jev ragu-ragu. “Oya?” “Ya. Katanya, dia harus mengurus sesuatu.” Jev menarik sebuah kursi dan mendudukinya. “Tapi sebelum itu, kamu mungkin butuh ini.” Jevri meletakkan paper cup berisi kopi di depan Nadya. Perempuan itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Aku sempat melihat ketegangan di wajahmu saat berhadapan dengan Pak Pram tadi. Apa ada masalah?” Nadya sedikit terenyak. Tak menyangka ada yang menangkap ekspresi sekecil itu. Namun segera mengalihkannya. “Oh, tidak. Hanya sedikit brifing tentang aturan kantor yang ternyata banyak yang saya belum tahu.” Nadya tersenyum ragu-ragu. Namun cukup untuk menampakkan lesung pipi di sana. Jev manggut-manggut.