Share

Bab 3

"Saya kira itu hanya gosip. Jadi begini, beberapa waktu lalu tersebar berita di sebuah akun media sosial yang menyebutkan bahwa, Drew pernah ditolak seseorang karena orang tua Drew adalah seorang petani. Mungkin ini sekalian dapat digunakan untuk mengklarifikasi berita tersebut, apakah hoax atau nyata. Sebab kemarin-kemarin juga lumayan menggemparkan, banyak orang yang tidak percaya."

"Benar, saya memang pernah ditolak karena berasal dari keluarga petani, namun justru hal itu yang memotivasi saya hingga sampai dititik ini, sekarang."

Jawaban Drew membuat kagum banyak orang. Terkadang motivasi datang dari patah hati, seperti Drew.

"Kalau boleh tau siapa perempuan yang berani menolak seorang Drew itu?"

"Dia hanya seseorang yang tidak penting. Cinta monyet yang sudah terlupakan sejak lama."

Jawaban aman yang terkesan sangat tenang. Dalam kalimatnya tersirat makna bahwa masalah kehidupan pribadinya tidak perlu dibahas lebih. Ia tahu pertanyaan ini pasti akan ditanyakan. Beberapa hari ini berita tentang masa lalunya itu cukup banyak diulas. Akun media sosialnya banyak ditandai karena masalah itu.

Soal cerita penolakannya sudah terlupakan atau belum, hanya dirinya yang mengetahui. Cukup ia yang tahu tentang kisah itu.

šŸ’µšŸ’µšŸ’µ

Keesokan harinya

Grace menuruni tangga masih dengan baju tidur biru tua. Wajahnya masih lesu, rambutnya masih berantakan. Ia malas mandi pagi jika tidak ada kegiatan.

Empat pasang mata tengah mengamatinya dari ruang makan. Bukan Grace, jika ia peduli. Ia dengan santainya berjalan ke meja makan.  Matanya mengerjap beberapa kali, menyadari kedua orang tuanya, beserta Elle dan seorang pembantu yang tengah mengamatinya.

"Grace, mandilah dulu sebelum makan." Mama Grace lebih dulu mengeluarkan suara.

"Aku malas."

Mama Grace berkacak pinggang mendengar jawaban putrinya. "Berapa umurmu, sampai mandi pun harus disuruh? Lihatlah Elle, dia sudah siap sejak pagi!"

Grace memejamkan matanya. Ini masih hari pertama di rumah, namun ia sudah mulai dibandingkan dengan sepupunya.

"Itu Elle, bukan Grace."

"Apa bedanya? Kalian sama-sama perempuan, seharusnya kamu contoh Elle. Bangun pagi.. "

"Ma!" sentak Grace.

Kini kantuknya sudah benar-benar pergi. Ia paling tidak suka dibanding-bandingkan, terutama dengan Elle. Hal seperti ini yang membuat dirinya lebih menyukai tinggal di London daripada di Indonesia. Meskipun di London ia tetap bertemu Elle, namun tidak ada yang membandingkannya. Mereka hidup sesuai keinginan masing-masing.

"Berani kamu teriak sama Mama? Jadi ini yang kamu dapat di London, hah?"

"Ma.. " Papa Grace mengingatkan.

Grace memutar bola matanya, malas berdebat pagi-pagi. Lagipula ini hari pertamanya, ia ingin damai. Ia melangkah kembali ke lantai atas. Tidur lebih baik daripada bertengkar dengan orang tuanya.

"Lihat, Pa! Dia sama sekali tidak menghargai kita. Dia berani teriak depan Mama. Elle juga tinggal di London, tapi sikapnya tetap sopan. Mama yakin, Grace salah memilih teman, makanya dia jadi tidak sopan."

Suara Mamanya yang cukup keras masih dapat Grace dengar walaupun sudah di lantai atas. Samar terdengar Papanya dan Elle menenangkan Mamanya, tetapi siapa yang peduli. Mendengar pembelaan Elle hanya membuat Grace tambah malas.

Ia ingat di kamarnya masih ada sisa buah yang semalam dibawa pembantu rumah untuk camilan. Ah, Grace masih belum tahu siapa nama pembantu mereka.

Di atas sebuah piring polos, masih ada satu buah apel yang tersisa. Tanpa pikir panjang, Grace segera melahapnya. Ia buka pintu menuju balkon kamarnya. Udara cukup segar. Kepalanya ia putar untuk melenturkan otot leher. Grace masih sangat lelah. Rasanya ia ingin tidur seharian.

Baru satu hari, ia sudah merindukan London. Di jam segini biasanya ia masih bergumul dengan guling dan selimut tebalnya yang hangat. Suasana hatinya juga selalu melambung tinggi setiap pagi. Akan tetapi disini berbeda, mendengar teriakan Mamanya membuat suasana hatinya anjlok.

Grace terpikirkan sebuah ide untuk pergi ke rumah Gabby. Setidaknya di sana ia bisa mengajak personal assistant-nya itu untuk keluar, melihat Ibukota.

šŸ’µšŸ’µšŸ’µ

Jarak dari rumahnya menuju rumah Gabby cukup jauh. Dengan mobil sport merahnya yang terlihat mewah, Grace menuju rumah Gabby. Setelah hampir 2 jam, ia sampai di rumah yang klasik satu lantai yang memiliki halaman cukup luas. Impiannya memiliki rumah berhalaman luas adalah di mulai dari sini.

Mobilnya ia bawa masuk ke dalam halaman. Sebelum turun, ia sengaja menekan klaksonnya lama hingga penghuni rumah itu keluar terburu-buru. Gabby keluar dengan kedua orang tuanya. Tangannya berkacak pinggang, sebal, setelah tahu siapa biang keroknya.

"Grace!" kesal Gabby.

"Halo, Ayah, Bunda, i'm coming."

Grace menunjukkan wajah sumringah menghampiri ketiga orang yang masih menatap sebal ke arahnya.

"Ayah.. Bunda.. " Grace memeluk mereka bergantian. Sikapnya sangat santai tanpa menghiraukan tatapan tajam temannya.

"Grace, pakaian apa yang kamu pakai!" Bunda Gabby melototi tubuh Grace.

"Ini namanya fashionable, Bunda."

"Fashionable, apa?! Lihat ini! Rok sebatas lutut, baju ketat, buka sana, buka sini."

"Cepat masuk, pinjam baju Gabby!" suruh Ayah Gabby.

Grace melirik ke arah temannya yang menatap tajam. Kedua tangannya masih berkacak pinggang.

"Siapa yang menyuruhmu kesini?"

"Inisiatif."

"Grace, apa kau tidak bisa membiarkan aku libur sehari?!"

"Aku kesini untuk bertemu dengan Ayah dan Bunda, sama sekali tidak mengganggu hari liburmu."

"Grace, tetap saja. Aku tidak bisa tenang menikmati hari liburku selama mata ku masih bisa melihatmu."

Bagi Gabby, libur adalah tidak melihat Grace. Selama ada Grace dalam jangkauan matanya, ia tidak akan pernah bisa menikmati hari liburnya. Tidak ada ceritanya kehadiran Grace tidak membawa kerepotan. Dan benar saja, baru sampai, Grace sudah membongkar isi lemarinya.

"Grace, percuma saja kau bongkar semua isi lemari."

"Apa kau tidak memiliki baju rumah yang lebih modis?"

Grace mengambil satu persatu pakaian, jika tidak cocok langsung melemparnya ke atas ranjang. Sudah hampir setengah isi lemarinya dikeluarkan oleh Grace.

"Semua baju rumah sama saja, mau yang seperti apa?"

"Setidaknya harus bermerek."

Gabby menepuk jidatnya. Ia rasa Grace tidak memiliki alergi memakai baju tanpa merek terkenal, namun dia terlalu pemilih. Semua harus bermerk dan modis. Ia masih ingat bagaimana bingungnya Grace sekedar untuk memilih baju tidur.

"Aku tidak mau tahu, kau harus membereskan semua bajuku!"

"Ini rumahmu, lemari mu, kenapa tidak kau saja yang membereskan?"

Gabby menahan dirinya agar tidak berteriak. Di pagi harinya yang cerah, ia belum sarapan, ia tidak sudi menghabiskan energinya untuk meneriaki Grace.

"Hari ini aku libur, jadi jangan berpikir kau bisa menyuruhku!"

"Kalau begitu lakukan besok. Besok kau sudah mulai bekerja lagi, kan?"

"Grace!!"

Gabby tidak sanggup menahan kekesalannya. Menghadapi Grace memang tidak pernah sesederhana itu. Dia selalu berhasil menguras energinya. Sikap Grace yang arogan selalu berakhir menyebalkan jika sudah dihadapannya. Wanita itu selalu tahu bagaimana membuat orang kesal.

TBC...

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebanyak-banyaknya, guys ā¤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status