"Benar, saya memang pernah ditolak karena berasal dari keluarga petani, namun justru hal itu yang memotivasi saya hingga sampai dititik ini, sekarang."
Jawaban Drew membuat kagum banyak orang. Terkadang motivasi datang dari patah hati, seperti Drew.
"Kalau boleh tau siapa perempuan yang berani menolak seorang Drew itu?"
"Dia hanya seseorang yang tidak penting. Cinta monyet yang sudah terlupakan sejak lama."
Jawaban aman yang terkesan sangat tenang. Dalam kalimatnya tersirat makna bahwa masalah kehidupan pribadinya tidak perlu dibahas lebih. Ia tahu pertanyaan ini pasti akan ditanyakan. Beberapa hari ini berita tentang masa lalunya itu cukup banyak diulas. Akun media sosialnya banyak ditandai karena masalah itu.
Soal cerita penolakannya sudah terlupakan atau belum, hanya dirinya yang mengetahui. Cukup ia yang tahu tentang kisah itu.
šµšµšµ
Keesokan harinya
Grace menuruni tangga masih dengan baju tidur biru tua. Wajahnya masih lesu, rambutnya masih berantakan. Ia malas mandi pagi jika tidak ada kegiatan.
Empat pasang mata tengah mengamatinya dari ruang makan. Bukan Grace, jika ia peduli. Ia dengan santainya berjalan ke meja makan. Matanya mengerjap beberapa kali, menyadari kedua orang tuanya, beserta Elle dan seorang pembantu yang tengah mengamatinya.
"Grace, mandilah dulu sebelum makan." Mama Grace lebih dulu mengeluarkan suara.
"Aku malas."
Mama Grace berkacak pinggang mendengar jawaban putrinya. "Berapa umurmu, sampai mandi pun harus disuruh? Lihatlah Elle, dia sudah siap sejak pagi!"
Grace memejamkan matanya. Ini masih hari pertama di rumah, namun ia sudah mulai dibandingkan dengan sepupunya.
"Itu Elle, bukan Grace."
"Apa bedanya? Kalian sama-sama perempuan, seharusnya kamu contoh Elle. Bangun pagi.. "
"Ma!" sentak Grace.
Kini kantuknya sudah benar-benar pergi. Ia paling tidak suka dibanding-bandingkan, terutama dengan Elle. Hal seperti ini yang membuat dirinya lebih menyukai tinggal di London daripada di Indonesia. Meskipun di London ia tetap bertemu Elle, namun tidak ada yang membandingkannya. Mereka hidup sesuai keinginan masing-masing.
"Berani kamu teriak sama Mama? Jadi ini yang kamu dapat di London, hah?"
"Ma.. " Papa Grace mengingatkan.
Grace memutar bola matanya, malas berdebat pagi-pagi. Lagipula ini hari pertamanya, ia ingin damai. Ia melangkah kembali ke lantai atas. Tidur lebih baik daripada bertengkar dengan orang tuanya.
"Lihat, Pa! Dia sama sekali tidak menghargai kita. Dia berani teriak depan Mama. Elle juga tinggal di London, tapi sikapnya tetap sopan. Mama yakin, Grace salah memilih teman, makanya dia jadi tidak sopan."
Suara Mamanya yang cukup keras masih dapat Grace dengar walaupun sudah di lantai atas. Samar terdengar Papanya dan Elle menenangkan Mamanya, tetapi siapa yang peduli. Mendengar pembelaan Elle hanya membuat Grace tambah malas.
Ia ingat di kamarnya masih ada sisa buah yang semalam dibawa pembantu rumah untuk camilan. Ah, Grace masih belum tahu siapa nama pembantu mereka.
Di atas sebuah piring polos, masih ada satu buah apel yang tersisa. Tanpa pikir panjang, Grace segera melahapnya. Ia buka pintu menuju balkon kamarnya. Udara cukup segar. Kepalanya ia putar untuk melenturkan otot leher. Grace masih sangat lelah. Rasanya ia ingin tidur seharian.
Baru satu hari, ia sudah merindukan London. Di jam segini biasanya ia masih bergumul dengan guling dan selimut tebalnya yang hangat. Suasana hatinya juga selalu melambung tinggi setiap pagi. Akan tetapi disini berbeda, mendengar teriakan Mamanya membuat suasana hatinya anjlok.
Grace terpikirkan sebuah ide untuk pergi ke rumah Gabby. Setidaknya di sana ia bisa mengajak personal assistant-nya itu untuk keluar, melihat Ibukota.
šµšµšµ
Jarak dari rumahnya menuju rumah Gabby cukup jauh. Dengan mobil sport merahnya yang terlihat mewah, Grace menuju rumah Gabby. Setelah hampir 2 jam, ia sampai di rumah yang klasik satu lantai yang memiliki halaman cukup luas. Impiannya memiliki rumah berhalaman luas adalah di mulai dari sini.
Mobilnya ia bawa masuk ke dalam halaman. Sebelum turun, ia sengaja menekan klaksonnya lama hingga penghuni rumah itu keluar terburu-buru. Gabby keluar dengan kedua orang tuanya. Tangannya berkacak pinggang, sebal, setelah tahu siapa biang keroknya.
"Grace!" kesal Gabby.
"Halo, Ayah, Bunda, i'm coming."
Grace menunjukkan wajah sumringah menghampiri ketiga orang yang masih menatap sebal ke arahnya.
"Ayah.. Bunda.. " Grace memeluk mereka bergantian. Sikapnya sangat santai tanpa menghiraukan tatapan tajam temannya.
"Grace, pakaian apa yang kamu pakai!" Bunda Gabby melototi tubuh Grace.
"Ini namanya fashionable, Bunda."
"Fashionable, apa?! Lihat ini! Rok sebatas lutut, baju ketat, buka sana, buka sini."
"Cepat masuk, pinjam baju Gabby!" suruh Ayah Gabby.
Grace melirik ke arah temannya yang menatap tajam. Kedua tangannya masih berkacak pinggang.
"Siapa yang menyuruhmu kesini?"
"Inisiatif."
"Grace, apa kau tidak bisa membiarkan aku libur sehari?!"
"Aku kesini untuk bertemu dengan Ayah dan Bunda, sama sekali tidak mengganggu hari liburmu."
"Grace, tetap saja. Aku tidak bisa tenang menikmati hari liburku selama mata ku masih bisa melihatmu."
Bagi Gabby, libur adalah tidak melihat Grace. Selama ada Grace dalam jangkauan matanya, ia tidak akan pernah bisa menikmati hari liburnya. Tidak ada ceritanya kehadiran Grace tidak membawa kerepotan. Dan benar saja, baru sampai, Grace sudah membongkar isi lemarinya.
"Grace, percuma saja kau bongkar semua isi lemari."
"Apa kau tidak memiliki baju rumah yang lebih modis?"
Grace mengambil satu persatu pakaian, jika tidak cocok langsung melemparnya ke atas ranjang. Sudah hampir setengah isi lemarinya dikeluarkan oleh Grace.
"Semua baju rumah sama saja, mau yang seperti apa?"
"Setidaknya harus bermerek."
Gabby menepuk jidatnya. Ia rasa Grace tidak memiliki alergi memakai baju tanpa merek terkenal, namun dia terlalu pemilih. Semua harus bermerk dan modis. Ia masih ingat bagaimana bingungnya Grace sekedar untuk memilih baju tidur.
"Aku tidak mau tahu, kau harus membereskan semua bajuku!"
"Ini rumahmu, lemari mu, kenapa tidak kau saja yang membereskan?"
Gabby menahan dirinya agar tidak berteriak. Di pagi harinya yang cerah, ia belum sarapan, ia tidak sudi menghabiskan energinya untuk meneriaki Grace.
"Hari ini aku libur, jadi jangan berpikir kau bisa menyuruhku!"
"Kalau begitu lakukan besok. Besok kau sudah mulai bekerja lagi, kan?"
"Grace!!"
Gabby tidak sanggup menahan kekesalannya. Menghadapi Grace memang tidak pernah sesederhana itu. Dia selalu berhasil menguras energinya. Sikap Grace yang arogan selalu berakhir menyebalkan jika sudah dihadapannya. Wanita itu selalu tahu bagaimana membuat orang kesal.
TBC...
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebanyak-banyaknya, guys ā¤
7 hari telah berlalu, sudah saatnya Grace kembali bekerja. Uang tidak akan datang dengan sendirinya. Demi kehidupan mewah yang ia jalani, ia harus bekerja keras, mengumpulkan pundi-pundi uang.Beberapa waktu lalu, sebelum kepulangannya ke Indonesia, Grace dihubungi oleh salah satu desainer ternama untuk ikut serta dalam Java's Fashion Week. Tentu saja ia langsung setuju tanpa pikir panjang. Ia sangat pandai dalam melihat peluang.Desainer itu adalah Ananta Lazuardi, desainer muda yang berhasil merambah pasar Asia sejak 3 tahun yang lalu. Beberapa kali ia memesan gaun musim semi darinya, sehingga ia cukup mengenal Ananta Lazuardi. Ini salah satu bukti bahwa koneksi sangat penting dalam dunia karir."Grace, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama." sapa Ananta dengan begitu akrab."Baru 5 bulan
"Ada apa?"Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada satu titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace."Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal."Benar, mungkin ini hari s
Hoam.. Grace menggeliat dibalik selimut tebalnya. Tubuhnya berganti posisi. Nyaman. Ia ingin tidur setidaknya untuk 30 menit lagi. Kelopak matanya masih terasa lengket, dan tidak mau dibuka. Namun perlahan ia paksa matanya melirik jam dinding putih yang sudah mengarah pada pukul 5.30.Gagal.Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pukul 8 ia harus bertemu dengan Mark Lee. Alih-alih sarapan bersama, mereka hendak membicarakan kerja sama yang sudah sempat mereka bicarakan via e-mail.Meski jam menunjukkan pukul setengah 6, namun ia memilih untuk sejenak mengumpulkan kesadaran. Ia menoleh ke arah gorden. Sinar mulai masuk meski masih redup. Napasnya yang berat keluar kasar. Matanya bergerak, menolah ke nakas yang terletak di samping meja riasnya. Sudut bibirnya bergerak naik.Kemarin ia melihat ada ikan cupang yang bagus. Warnanya menarik, gabungan antara hitam, biru muda
Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, k
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m