"Ada apa?"
Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.
Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.
Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada satu titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace.
"Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.
Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal.
"Benar, mungkin ini hari sial ku." ucapnya dengan senyum miring meremehkan.
Sontak, perkataan Grace membuat ekspresi pria di depannya yang semula sempat tersenyum, kini mengeras. Matanya menajam, rahangnya mengetat. Alisnya yang tebal terlihat menyatu.
"Kalian saling kenal?" tanya pria yang lain.
"Tidak!" sahut Grace.
"Jadi begini sambutan mu untuk teman lama, Grace?"
"Aku bahkan tidak ingat, apa kita pernah berteman."
"Andrew Kanigara, benar?" cicit Gabby.
Ya, dia Andrew Kanigara. Atlet sepak bola yang akhir-akhir ini sempat mengguncang dunia maya dengan pesonanya.
Drew terkekeh mendengar kalimat Grace yang seolah telah melupakannya. Padahal ia masih ingat, dulu mereka pernah bertetangga. Meski kini Grace tumbuh menjadi wanita yang lebih cantik, elegan, dan menarik. Namun bagi Drew, itu hanyalah sebuah omong kosong saat ia mengingat masa lalu mereka.
"Ah, tentu saja. Seorang Grace Wyne tidak mungkin berteman dengan seorang anak petani desa."
"Baguslah kalau kau mengerti."
Grace menyibakkan rambutnya di depan wajah Drew tanpa menghiraukan kata-kata sarkastis yang ditunjukkan pada dirinya. Ia bahkan tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Drew. Setelah aksi menyibakkan rambut dengan gaya sombong, lantas ia segera keluar dari toko 2 pm diikuti oleh Gabby yang membawakan tas belanjanya.
Ia berjalan dengan begitu anggun dan penuh percaya diri. Tak terlintas sedikitpun niat untuk menoleh ke arah Drew.
Berbeda hal dengan Drew dan temanya yang berbalik, mengikuti gerak Grace hingga berhasil keluar dari toko. Ekspresinya masih terlihat tajam.
"Dia Grace Wyne? Aku seperti pernah mendengar namanya."
Teman Drew mencoba mengingat-ingat, namun lagaknya ia tak tak mau susah. Langsung saja ia keluarkan ponsel dan mengetik nama Grace Wyne di mesin pencarian. Saat hasil pencarian keluar, matanya melotot tak percaya.
"Grace Wyne adalah model berkebangsaan Indonesia yang telah meniti karirnya di Belanda sejak tahun 2014. " baca teman Drew di sebuah laman.
"Aku tidak menyangka kau punya teman seorang model."
Mata Drew memicing tidak suka. "Dia bukan temanku, Ben."
Ben jelas tidak percaya. Setelah interaksi yang Drew dan Grace buat, meski terkesan dingin, Ben tahu jika mereka berdua memiliki hubungan di masa lalu.
"Benarkah? Padahal jika benar dia temanmu, aku ingin mengenalkan kami berdua."
"Jangan berpikir untuk mengenalnya. Dia hanya wanita matrealistis yang akan membuatmu sengsara."
Drew hanya menanggapi perkataan Ben seadanya. Fokusnya terbagi dengan melihat koleksi jaket yang ditawarkan 2 pm. Tangannya sibuk memilih dan menyesuaikan ukuran tubuhnya.
"Kau tidak boleh menilai seseorang hanya dari sekali lihat."
"Dari gelagatnya, dia sudah terbaca dengan sangat mudah."
"Drew, aku tahu sikapmu tidak pernah sesinis ini kepada wanita. Aku yakin, kalian berdua saling kenal, dan mungkin cukup dekat. Benar, kan?"
Drew menghela napas panjang. "Hanya sebatas tetangga lama."
"Aku kira tidak." Ben tetap ngeyel. Firasatnya mengatakan bahwa Drew dan Grace lebih dari sebatas tetangga.
"Terserah padamu."
Cukup lama mereka memilih jaket, namun pembicaraan tentang Grace sudah berhenti. Mereka tidak memiliki banyak waktu. Pukul 1 mereka sudah harus sampai di mess Railways. Pukul 1.30 mereka ada jadwal latihan.
Drew dan Ben langsung pulang setelah selesai belanja. Mess Railways terletak di salah satu kawasan elite ibu kota. Presiden Railways sangat memanjakan para pemainnya, contoh saja soal mess. Para pemain diberikan tempat tinggal setara dengan hotel bintang 4. Dilihat dari penampakan depan, mess Railways memiliki gaya industrial yang didominasi warna hitam dengan 5 lantai. Satu-satunya yang mencolok dari luar hanyalah logo Railways yang tercetak cerah di dinding atas bagian depan.
Lantai dasar khusus digunakan untuk parkir dan ruang meeting. Sementara lantai dua terdapat ruang santai yang dilengkapi dengan kitchen set dan pantry. Terdapat 30 kamar yang dapat digunakan dengan fasilitas lengkap. Tidak hanya itu, disana juga dilengkapi dengan kolam renang, ruangan medis, ruang gym, dan sport space. Railways menjadi salah satu klub sepakbola yang mensejahterakan pemain.
"Drew, segera persiapan, kita tunggu di bawah." ujar salah satu anggota tim yang menenteng tas.
Bus telah menunggu para pemain untuk latihan. Lapangan yang mereka gunakan untuk berlatih tidak cukup jauh, hanya berjarak 4 km.
"10 menit." ucap Drew meminta sedikit waktu.
šµšµšµ
Grace merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Tidak banyak yang ia lakukan, namun badannya terasa cukup pegal. Satu minggu istirahat, rasanya belum mengurangi lelahnya perjalanan London - Jakarta, padahal ia tidak selemah ini, biasanya ia sudah terbiasa bekerja dengan jadwal penuh.
"Sejak tadi Mama telepon kamu, kenapa tidak bisa?" tanya Mama Grace dari arah dapur. Rambutnya diikat asal dengan tubuh memakai apron motif kotak.
"Ada pekerjaan."
"Pekerjaan atau belanja?"
Mama Grace menunjuk tas belanja yang ada di atas meja. Ia lelah, mendengar kalimat Mamanya membuat tubuhnya semakin lelah.
"Aku rasa tidak ada yang salah dengan belanjaan ku. Aku beli dengan uangku sendiri, Ma."
"Ini bukan soal kamu membeli barang dengan uang kamu sendiri, lebih baik kalau kamu belum ada pekerjaan, kamu bantu Elle menyiapkan konsernya. Lebih bermanfaat dan tidak membuang-buang uang."
Grace memejamkan matanya sejenak, lalu mendudukkan tubuhnya. Matanya menatap Mamanya datar. "Konser Elle tidak ada urusannya dengan aku."
"Kalian itu saudara, sudah seharusnya saling bantu. Kamu tidak bisa egois hanya memikirkan soal diri kamu sendiri."
Grace mengambil tas dan tas belanjaan di atas meja. Ia berjalan mendekat ke arah Mamanya tanpa merubah ekspresi.
"Kalau aku tetap tidak mau?" ujarnya dengan berani. Ia tahu bagaimanapun, Mamanya akan menomorsatukan Elle di atas dirinya. Ia sudah terbiasa sejak dulu menghadapi kasih sayang Mamanya yang berat sebelah. Terkadang ia bingung, yang anak kandungnya itu ia atau Elle.
"Grace!" teriak Mamanya.
"Ma, aku tidak ada hubungannya dengan konser Elle. Untuk apa aku bantu dia?Hanya buang-buang waktu."
Grace berlalu meninggalkan Mamanya yang masih terkejut dengan sikap kasarnya.
"Grace!"
Teriakan Mamanya tidak dapat menghentikan langkahnya. Ia harus segera pergi dari sana atau mereka akan semakin terlibat adu mulut.
TBC...
Jangan lupa tinggalkan jejak, guys. Ikuti terus ceritanya..
Hoam.. Grace menggeliat dibalik selimut tebalnya. Tubuhnya berganti posisi. Nyaman. Ia ingin tidur setidaknya untuk 30 menit lagi. Kelopak matanya masih terasa lengket, dan tidak mau dibuka. Namun perlahan ia paksa matanya melirik jam dinding putih yang sudah mengarah pada pukul 5.30.Gagal.Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pukul 8 ia harus bertemu dengan Mark Lee. Alih-alih sarapan bersama, mereka hendak membicarakan kerja sama yang sudah sempat mereka bicarakan via e-mail.Meski jam menunjukkan pukul setengah 6, namun ia memilih untuk sejenak mengumpulkan kesadaran. Ia menoleh ke arah gorden. Sinar mulai masuk meski masih redup. Napasnya yang berat keluar kasar. Matanya bergerak, menolah ke nakas yang terletak di samping meja riasnya. Sudut bibirnya bergerak naik.Kemarin ia melihat ada ikan cupang yang bagus. Warnanya menarik, gabungan antara hitam, biru muda
Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, k
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta