Share

Bab 5

"Ada apa?"

Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.

Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.

Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada satu titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace.

"Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.

Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal.

"Benar, mungkin ini hari sial ku." ucapnya dengan senyum miring meremehkan.

Sontak, perkataan Grace membuat ekspresi pria di depannya yang semula sempat tersenyum, kini mengeras. Matanya menajam, rahangnya mengetat. Alisnya yang tebal terlihat menyatu.

"Kalian saling kenal?" tanya pria yang lain.

"Tidak!" sahut Grace.

"Jadi begini sambutan mu untuk teman lama, Grace?"

"Aku bahkan tidak ingat, apa kita pernah berteman."

"Andrew Kanigara, benar?" cicit Gabby.

Ya, dia Andrew Kanigara. Atlet sepak bola yang akhir-akhir ini sempat mengguncang dunia maya dengan pesonanya.

Drew terkekeh mendengar kalimat Grace yang seolah telah melupakannya. Padahal ia masih ingat, dulu mereka pernah bertetangga. Meski kini Grace tumbuh menjadi wanita yang lebih cantik, elegan, dan menarik. Namun bagi Drew, itu hanyalah sebuah omong kosong saat ia mengingat masa lalu mereka.

"Ah, tentu saja. Seorang Grace Wyne tidak mungkin berteman dengan seorang anak petani desa."

"Baguslah kalau kau mengerti."

Grace menyibakkan rambutnya di depan wajah Drew tanpa menghiraukan kata-kata sarkastis yang ditunjukkan pada dirinya. Ia bahkan tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Drew. Setelah aksi menyibakkan rambut dengan gaya sombong, lantas ia segera keluar dari toko 2 pm diikuti oleh Gabby yang membawakan tas belanjanya.

Ia berjalan dengan begitu anggun dan penuh percaya diri. Tak terlintas sedikitpun niat untuk menoleh ke arah Drew.

Berbeda hal dengan Drew dan temanya yang berbalik, mengikuti gerak Grace hingga berhasil keluar dari toko. Ekspresinya masih terlihat tajam.

"Dia Grace Wyne? Aku seperti pernah mendengar namanya."

Teman Drew mencoba mengingat-ingat, namun lagaknya ia tak tak mau susah. Langsung saja ia keluarkan ponsel dan mengetik nama Grace Wyne di mesin pencarian. Saat hasil pencarian keluar, matanya melotot tak percaya.

"Grace Wyne adalah model berkebangsaan Indonesia yang telah meniti karirnya di Belanda sejak tahun 2014. " baca teman Drew di sebuah laman.

"Aku tidak menyangka kau punya teman seorang model."

Mata Drew memicing tidak suka. "Dia bukan temanku, Ben."

Ben jelas tidak percaya. Setelah interaksi yang Drew dan Grace buat, meski terkesan dingin, Ben tahu jika mereka berdua memiliki hubungan di masa lalu.

"Benarkah? Padahal jika benar dia temanmu, aku ingin mengenalkan kami berdua."

"Jangan berpikir untuk mengenalnya. Dia hanya wanita matrealistis yang akan membuatmu sengsara."

Drew hanya menanggapi perkataan Ben seadanya. Fokusnya terbagi dengan melihat koleksi jaket yang ditawarkan 2 pm. Tangannya sibuk memilih dan menyesuaikan ukuran tubuhnya.

"Kau tidak boleh menilai seseorang hanya dari sekali lihat."

"Dari gelagatnya, dia sudah terbaca dengan sangat mudah."

"Drew, aku tahu sikapmu tidak pernah sesinis ini kepada wanita. Aku yakin, kalian berdua saling kenal, dan mungkin cukup dekat. Benar, kan?"

Drew menghela napas panjang. "Hanya sebatas tetangga lama."

"Aku kira tidak." Ben tetap ngeyel. Firasatnya mengatakan bahwa Drew dan Grace lebih dari sebatas tetangga.

"Terserah padamu."

Cukup lama mereka memilih jaket, namun pembicaraan tentang Grace sudah berhenti. Mereka tidak memiliki banyak waktu. Pukul 1 mereka sudah harus sampai di mess Railways. Pukul 1.30 mereka ada jadwal latihan.

Drew dan Ben langsung pulang setelah selesai belanja. Mess Railways terletak di salah satu kawasan elite ibu kota. Presiden Railways sangat memanjakan para pemainnya, contoh saja soal mess. Para pemain diberikan tempat tinggal setara dengan hotel bintang 4. Dilihat dari penampakan depan, mess Railways memiliki gaya industrial yang didominasi warna hitam dengan 5 lantai. Satu-satunya yang mencolok dari luar hanyalah logo Railways yang tercetak cerah di dinding atas bagian depan.

Lantai dasar khusus digunakan untuk parkir dan ruang meeting. Sementara lantai dua terdapat ruang santai yang dilengkapi dengan kitchen set dan pantry. Terdapat 30 kamar yang dapat digunakan dengan fasilitas lengkap. Tidak hanya itu, disana juga dilengkapi dengan kolam renang, ruangan medis, ruang gym, dan sport space. Railways menjadi salah satu klub sepakbola yang mensejahterakan  pemain.

"Drew, segera persiapan, kita tunggu di bawah." ujar salah satu anggota tim yang menenteng tas.

Bus telah menunggu para pemain untuk latihan. Lapangan yang mereka gunakan untuk berlatih tidak cukup jauh, hanya berjarak 4 km.

"10 menit." ucap Drew meminta sedikit waktu.

šŸ’µšŸ’µšŸ’µ

Grace merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Tidak banyak yang ia lakukan, namun badannya terasa cukup pegal. Satu minggu istirahat, rasanya belum mengurangi lelahnya perjalanan London - Jakarta, padahal ia tidak selemah ini, biasanya ia sudah terbiasa bekerja dengan jadwal penuh.

"Sejak tadi Mama telepon kamu, kenapa tidak bisa?" tanya Mama Grace dari arah dapur. Rambutnya diikat asal dengan tubuh memakai apron motif kotak.

"Ada pekerjaan."

"Pekerjaan atau belanja?"

Mama Grace menunjuk tas belanja yang ada di atas meja. Ia lelah, mendengar kalimat Mamanya membuat tubuhnya semakin lelah.

"Aku rasa tidak ada yang salah dengan belanjaan ku. Aku beli dengan uangku sendiri, Ma."

"Ini bukan soal kamu membeli barang dengan uang kamu sendiri, lebih baik kalau kamu belum ada pekerjaan, kamu bantu Elle menyiapkan konsernya. Lebih bermanfaat dan tidak membuang-buang uang."

Grace memejamkan matanya sejenak, lalu mendudukkan tubuhnya. Matanya menatap Mamanya datar. "Konser Elle tidak ada urusannya dengan aku."

"Kalian itu saudara, sudah seharusnya saling bantu. Kamu tidak bisa egois hanya memikirkan soal diri kamu sendiri."

Grace mengambil tas dan tas belanjaan di atas meja. Ia berjalan mendekat ke arah Mamanya tanpa merubah ekspresi.

"Kalau aku tetap tidak mau?" ujarnya dengan berani. Ia tahu bagaimanapun, Mamanya akan menomorsatukan Elle di atas dirinya. Ia sudah terbiasa sejak dulu menghadapi kasih sayang Mamanya yang berat sebelah. Terkadang ia bingung, yang anak kandungnya itu ia atau Elle.

"Grace!" teriak Mamanya.

"Ma, aku tidak ada hubungannya dengan konser Elle. Untuk apa aku bantu dia?Hanya buang-buang waktu."

Grace berlalu meninggalkan Mamanya yang masih terkejut dengan sikap kasarnya.

"Grace!"

Teriakan Mamanya tidak dapat menghentikan langkahnya. Ia harus segera pergi dari sana atau mereka akan semakin terlibat adu mulut.

TBC...

Jangan lupa tinggalkan jejak, guys. Ikuti terus ceritanya..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status