Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.
Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, karena kehadiran dia aktris itu, jadwalnya mundur satu setengah jam.
"Grace!"
Ia membuka matanya, mendengar panggilan Gabby di sampingnya.
"Hm?"
Gabby menyodorkan ponselnya yang sedari tadi ia taruh tas. "Mamamu menelpon sejak tadi."
Ia melirik layar ponselnya yang menunjukkan adanya 10 missed call dari nomor Mamanya. Ia sama sekali tidak terkejut, sebab ia sudah tahu apa tujuan Mamanya telepon. Apalagi kalau bukan tentang konser perdana Elle.
Berulang kali ia mengatakan bahwa dirinya sibuk, namun Mamanya sama sekali tidak percaya dan menuduhnya hanya beralasan.
"Biarkan saja!" jawabnya seraya memejamkan mata kembali.
Percuma, konser Elle akan dilaksanakan 2 jam lagi, sementara dirinya baru mulai pemotretan sekitar satu setengah jam lagi, itupun jika tepat waktu. Paling cepat, ia akan selesai sekitar 4 jam lagi, ditambah dengan 45 menit perjalanan. Meski ia menyelesaikannya dengan cepat, ia tetap tidak dapat menghadiri konser Elle.
"Sebaiknya telepon balik, dan katakan bahwa kau tidak bisa datang."
"Aku sudah mengatakannya hingga mulutku berbusa, By."
Gabby hanya menghela napas lalu kembali duduk di sofa ruang tunggu. Ia paham, meski ponselnya telah dimode hening, tetap saja ia akan gelisah dan terganggu saat melihat ada banyak telepon dari Mamanya.
"Grace Wyne, giliran mu." panggil salah satu anggota crew.
Ia segera bersiap. Untuk terakhir kalinya ia melihat kaca, memastikan penampilannya sempurna. Ia memakai gaun yang cukup panjang dengan nuansa etnik. Riasannya dibuat senatural mungkin, agar mampu menyampaikan jati diri Indonesia.
Berpose di depan kamera sudah menjadi makanannya sehari-hari. Dengan pengalamannya yang banyak, ia segera mengerti instruksi dari fotografer.
"Oke, istirahat sebentar."
Grace didatangi oleh make up artists untuk touch up. Mereka hanya memastikan riasan masih baik-baik saja.
"Grace!"
Gabby tergopoh-gopoh lari ke arahnya. Dadanya naik turun, tenggorokannya kering, dan susah untuk menelan ludah.
"Ada apa?"
Tanpa bisa berkata-kata, Gabby langsung menyerahkan ponselnya. Ada 20 missed call dari Mamanya. Peningkatan. Matanya memicing, saat menemukan sebuah kotak masuk dari Mamanya.
-Kamu harus datang jika masih menghormati Mama dan Papa-
-Jika kamu tidak datang, jangan harap dapat maaf dari Mama-
Dada Grace seketika naik turun, kemarahan yang tadinya mengendap, kini melambung tinggi hingga mendesak dadanya.
"Argh!" teriaknya.
Mamanya selalu tidak memberikannya pilihan. Konser Elle bukan segalanya, masih ada konser-konser lain. Tapi Mamanya membuatnya seolah menjadi orang terburuk hanya karena tidak datang.
"Aku akan pergi, kau urus disini."
"Pemotretan belum selesai, Grace. Apa kau tidak bisa membuat penawaran?"
"Menurutmu bisa?" Grace terkekeh tajam.
"Coba bilang pada Elle, mungkin dia bisa meyakinkan Mamamu."
"Aku tidak sudi berhutang budi padanya."
Ia segera pergi ke ruang ganti, menggantikan pakaiannya. Dengan gerakan terburu-buru, ia menghapus make up nya. Bagaimanapun, ia masih mementingkan orang tuanya dibandingkan dengan pekerjaan. Walaupun nyaris tak pernah mengungkapkan secara langsung, tapi ia sangat menyayangi kedua orang tuanya.
"By, aku serahkan ini padamu."
Gabby mengangguk. Ia beruntung karena Gabby selalu bersedia membereskan masalah yang telah ia buat. Kepergiannya akan berimbas pada karir yang baru ia bangun, namun ia pun tidak memiliki pilihan lain. Andai konser Elle dimulai ketika pekerjaannya selesai, mungkin tidak akan berakhir rumit seperti sekarang. Gabby harus pandai-pandai membuat alasan pada pihak klien, agar ia tidak dituntut karena telah melanggar kerja sama, ia secara sadar pergi ditengah jam kerjanya.
"Serahkan semua padaku!"
Ia menutupi wajahnya dengan topi hitam dan masker hitam senada. Langkahnya sangat hati-hati, kepalanya celingukan mencari sela-sela aman untuknya keluar dari gedung. Ia sibuk menutupi wajah agar crew yang ia lewati tidak tahu bahwa dirinya pergi. Setelah keluar dari gedung, Grace segera mencari tukang ojek online yang sudah ia order beberapa menit yang lalu. Menggunakan motor lebih mempersingkat waktu dari pada harus memakai mobil.
Jarak dari gedung pemotretan menuju ke gedung tempat konser Elle diadakan cukup jauh. Perkiraannya, membutuhkan waktu sekitar 1 jam, itupun jika tidak macet.
Grace segera mencari ojek online yang tadi ia pesan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria berjaket hijau tengah menatap ponsel. Ia yakin itu adalah ojek pesanannya.
Setelah mengkonfirmasi, tukang ojek itu menyerahkan helm padanya.
"Jika tiba sebelum 1 jam, saya akan bayar dobel."
"Sulit, mbak. Paling cepat, satu setengah jam. Ada tabrakan beruntun, kita harus putar arah."
Grace menatap jam tangannya, cukup lama. Otaknya berputar, menghitung perkiraan waktu.
Motor yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan 70 km per jam. Ia belum mengenal jalan Ibukota, walaupun sempat jalan-jalan dengan Gabby, namun tidak semua jalan bisa ia ingat sekaligus, tetap ada yang luput.
Nyaris seperti perkiraan, namun mereka sampai lebih cepat 5 menit. Ia segera mengeluarkan dua lembar ratusan ribu.
"Ambil saja kembaliannya!"
Konser Elle diadakan di Bamega Art Center, gedung yang menjadi pusat seni di Ibukota. Seni 2 dimensi, 3 dimensi, musik, maupun peran. Sangat beruntung Elle dapat melangsungkan konser perdananya di sana, karena teater milik Bamega Art Center berstandar Internasional.
Memasuki lobi, ia segera mencari teater tempat konser Elle dilaksanakan. Jika sesuai jadwal, konsernya akan berakhir dalam 15 menit. Setidaknya ia datang meski hanya menonton beberapa menit. Ia juga tidak tertarik dengan konser Elle, jika bukan karena Mamanya, ia tidak sudi untuk datang.
Alunan musik piano mengalun, memasuki gendang telinganya. Ia yakin itu adalah tempat Elle melakukan konser. Setelah masuk, ia melihat Elle dengan balutan gaun putih berlengan pendek tengah duduk menghadap piano dengan senyum lembut. Ia menyisir bangku yang yang tampak penuh. Ia tidak menyangka jika banyak yang tertarik dengan konser Elle. Harusnya ia dapat bangku paling depan bersama dengan orang tuanya beserta para orang penting yang mendukung konser Elle, namun ia tidak mau memecah konsentrasi penonton, dan memilih duduk di bangku kosong paling belakang.
Hah.
Ia menghela napas, berusaha tidak mendengar lantunan musik yang dibawakan Elle. Bagaimanapun, ia tetap tidak suka dengan wanita itu. Ia lebih memilih mengeluarkan earphones dan menyalakan lagu dari ponselnya.
TBC..
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta
Sudah 2 hari Grace menginap di rumah Gabby, rencananya hari ini ia akan kembali ke rumah. Alasan sebenarnya karena dia merindukan peralatan make up-nya. Selama di rumah Gabby, ia harus berpuasa tidak merias wajahnya. Salahnya karena pergi dari rumah dadakan. Ia tidak membawa barang sedikitpun. Lain kali, jika ia ingin kabur, ia harus memastikan membawa perlengkapannya. Terutama baju bermerk dan peralatan make up.Matahari sudah condong ke arah barat. Jalanan masih cukup lenggang, biasanya mulai pukul 5 jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang pulang kerja. Ia mencoba untuk terhindar dari kemacetan.Memasuki kawasan perumahan, Grace mengurangi kecepatan mobilnya. Matanya sesekali bergerak ke kanan kiri sekedar mengabsen rumah yang ia lewati. Begitu sampai di depan rumahnya, ia memilih untuk memperkirakan mobilnya di bahu jalan, seperti mobil lain.Ia berjalan dengan percaya diri, seolah tidak ing
Grace menjalani aktivitasnya seperti biasa. Jadwalnya ia padatkan, tidak membiarkan sedikitpun celah untuk bersantai alih-alih melupakan kejadian pertengkarannya yang disaksikan oleh Drew tempo hari. Jujur ia tidak menyangka mengapa Drew bisa berada di rumahnya. Harusnya ia lebih curiga saat itu, mengingat ia menyadari pintu rumahnya yang tidak terkunci. Jika saat itu ia menyadari adanya tamu, ia lebih bisa menyelamatkan citranya. Sangat memuakkan. "Grace, untuk selanjutnya jadwal mu kosong, kita bisa pulang dan istirahat.""Aku tidak mau.""Sudah dia hari ini kau kehilangan jam istirahat, besok kita harus keluar kota untuk pemotretan.""Ini masih jam 8, By.""Dan besok, kita harus berangkat pukul 4 pagi. Kau harus beristirahat cukup."Membayangkan kata istirahat, Grace takut terbayang-bayang kejadian tempo hari. Paling tidak ia membutuhkan kondisi yang sangat lelah dan mengantuk, jadi ketika ia merebahkan tubuhnya, ia bisa sege