Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.
Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.
Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.
Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta
Sudah 2 hari Grace menginap di rumah Gabby, rencananya hari ini ia akan kembali ke rumah. Alasan sebenarnya karena dia merindukan peralatan make up-nya. Selama di rumah Gabby, ia harus berpuasa tidak merias wajahnya. Salahnya karena pergi dari rumah dadakan. Ia tidak membawa barang sedikitpun. Lain kali, jika ia ingin kabur, ia harus memastikan membawa perlengkapannya. Terutama baju bermerk dan peralatan make up.Matahari sudah condong ke arah barat. Jalanan masih cukup lenggang, biasanya mulai pukul 5 jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang pulang kerja. Ia mencoba untuk terhindar dari kemacetan.Memasuki kawasan perumahan, Grace mengurangi kecepatan mobilnya. Matanya sesekali bergerak ke kanan kiri sekedar mengabsen rumah yang ia lewati. Begitu sampai di depan rumahnya, ia memilih untuk memperkirakan mobilnya di bahu jalan, seperti mobil lain.Ia berjalan dengan percaya diri, seolah tidak ing
Grace menjalani aktivitasnya seperti biasa. Jadwalnya ia padatkan, tidak membiarkan sedikitpun celah untuk bersantai alih-alih melupakan kejadian pertengkarannya yang disaksikan oleh Drew tempo hari. Jujur ia tidak menyangka mengapa Drew bisa berada di rumahnya. Harusnya ia lebih curiga saat itu, mengingat ia menyadari pintu rumahnya yang tidak terkunci. Jika saat itu ia menyadari adanya tamu, ia lebih bisa menyelamatkan citranya. Sangat memuakkan. "Grace, untuk selanjutnya jadwal mu kosong, kita bisa pulang dan istirahat.""Aku tidak mau.""Sudah dia hari ini kau kehilangan jam istirahat, besok kita harus keluar kota untuk pemotretan.""Ini masih jam 8, By.""Dan besok, kita harus berangkat pukul 4 pagi. Kau harus beristirahat cukup."Membayangkan kata istirahat, Grace takut terbayang-bayang kejadian tempo hari. Paling tidak ia membutuhkan kondisi yang sangat lelah dan mengantuk, jadi ketika ia merebahkan tubuhnya, ia bisa sege
Mama Grace tidak sengaja melewati kamar putrinya. Langkahnya berhenti saat mendapati pintu kamar itu sedikit terbuka. Ia melangkah masuk dan melihat pintu lemarinya juga setengah terbuka. Bajunya berkurang setengah dari jumlah biasanya. Tas, sepatu, bahkan make up yang biasanya tertata rapi di atas meja rias juga sudah menghilang. "Kamu tahu, Grace pulang mengambil barang-barangnya?"Elle yang tadinya selesai makan malam mendadak diam. Dia bingung hendak menjawab pertanyaan tante yang telah ia anggap sebagai Mamanya itu dengan jawaban seperti apa. Dia merasa serba salah. "Jadi kamu tahu?"Kediaman Elle hanya menyiratkan kebenaran dengan begitu jelas. "Anak itu, semakin lama semakin seenaknya." geram Mama Grace. "Ma.. ""Kenapa? Kamu mau coba bela dia lagi?""Bagaimanapun juga, Grace hanya.. ""Merajuk? Dia sudah besar, sudah tidak sepantasnya dia bersikap kekanak-kanakan. Dia datang dan pergi sesuka
Grace terbangun dari tidurnya sudah berada di atas ranjang Gabby. Keningnya mengkerut, memikirkan tentang kemarin malam. Seingatnya, ia berencana untuk melihat rumah bersama dengan Gabby. Namun sekarang, ia sudah berada di dalam kamar Gabby dengan selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya melirik ke luar jendela, masih gelap. Selanjutnya, matanya melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. "Cepat bangun, kita harus segera berangkat.""Ah." hanya itu yang keluar dari bibir Grace. Ia ingat dengan jadwalnya yang harus pergi ke luar kota untuk melakukan pemotretan. "Bukannya semalam kita perjalanan untuk melihat rumah? Lalu bagaimana aku bisa tidur di sini?"Gabby dengan rambutnya yang masih terikat berjalan mendekat. Tubuhnya terlihat segar, sepertinya dia baru saja selesai mandi. "Pertama, kau sudah tertidur di tengah perjalanan, itulah sebabnya aku menyuruh sopir untuk putar balik. Kedua, kenapa kau bisa tidur di atas r
Sepulang dari makan siang bersama Denim dan Tama, Grace kini melanjutkan perjalanan untuk melihat rumah. Di dalam mobil, ia terus tersenyum sambil memainkan kartu nama Denim. Sebuah keberuntungan ia bisa bertemu dengan seorang dari perusahaan label musik. Ia setuju dengan Tama, bahwa kerja sama yang akan ia lakukan bersama Denim akan menjadi jalan yang bagus untuk karirnya di masa depan. "Sudah cukup tersenyum bodoh seperti itu, jika kau menyukai tawaran pekerjaan dari Denim, harusnya langsung kau terima.""Kau sudah mengerti aku, tanpa adanya tarik ulur, sama sekali tidak menyenangkan.""Bilang saja kau hanya ingin jual mahal.""Itu memang benar. Kenapa, ada masalah?""Tidak, kau bisa bersikap sesukamu. Tapi sebaiknya segera pikirkan baik-baik, sebelum Denim berubah pikiran."Grace hanya mengedikkan bahunya. Ia pikir, 3 hari masih wajar untuknya terlihat berpikir. "Aku akan menghubunginya lusa."Setelah percakapan sing