Mama Grace tidak sengaja melewati kamar putrinya. Langkahnya berhenti saat mendapati pintu kamar itu sedikit terbuka. Ia melangkah masuk dan melihat pintu lemarinya juga setengah terbuka. Bajunya berkurang setengah dari jumlah biasanya. Tas, sepatu, bahkan make up yang biasanya tertata rapi di atas meja rias juga sudah menghilang.
"Kamu tahu, Grace pulang mengambil barang-barangnya?"Elle yang tadinya selesai makan malam mendadak diam. Dia bingung hendak menjawab pertanyaan tante yang telah ia anggap sebagai Mamanya itu dengan jawaban seperti apa. Dia merasa serba salah."Jadi kamu tahu?"Kediaman Elle hanya menyiratkan kebenaran dengan begitu jelas."Anak itu, semakin lama semakin seenaknya." geram Mama Grace."Ma.. ""Kenapa? Kamu mau coba bela dia lagi?""Bagaimanapun juga, Grace hanya.. ""Merajuk? Dia sudah besar, sudah tidak sepantasnya dia bersikap kekanak-kanakan. Dia datang dan pergi sesukaGrace terbangun dari tidurnya sudah berada di atas ranjang Gabby. Keningnya mengkerut, memikirkan tentang kemarin malam. Seingatnya, ia berencana untuk melihat rumah bersama dengan Gabby. Namun sekarang, ia sudah berada di dalam kamar Gabby dengan selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya melirik ke luar jendela, masih gelap. Selanjutnya, matanya melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. "Cepat bangun, kita harus segera berangkat.""Ah." hanya itu yang keluar dari bibir Grace. Ia ingat dengan jadwalnya yang harus pergi ke luar kota untuk melakukan pemotretan. "Bukannya semalam kita perjalanan untuk melihat rumah? Lalu bagaimana aku bisa tidur di sini?"Gabby dengan rambutnya yang masih terikat berjalan mendekat. Tubuhnya terlihat segar, sepertinya dia baru saja selesai mandi. "Pertama, kau sudah tertidur di tengah perjalanan, itulah sebabnya aku menyuruh sopir untuk putar balik. Kedua, kenapa kau bisa tidur di atas r
Sepulang dari makan siang bersama Denim dan Tama, Grace kini melanjutkan perjalanan untuk melihat rumah. Di dalam mobil, ia terus tersenyum sambil memainkan kartu nama Denim. Sebuah keberuntungan ia bisa bertemu dengan seorang dari perusahaan label musik. Ia setuju dengan Tama, bahwa kerja sama yang akan ia lakukan bersama Denim akan menjadi jalan yang bagus untuk karirnya di masa depan. "Sudah cukup tersenyum bodoh seperti itu, jika kau menyukai tawaran pekerjaan dari Denim, harusnya langsung kau terima.""Kau sudah mengerti aku, tanpa adanya tarik ulur, sama sekali tidak menyenangkan.""Bilang saja kau hanya ingin jual mahal.""Itu memang benar. Kenapa, ada masalah?""Tidak, kau bisa bersikap sesukamu. Tapi sebaiknya segera pikirkan baik-baik, sebelum Denim berubah pikiran."Grace hanya mengedikkan bahunya. Ia pikir, 3 hari masih wajar untuknya terlihat berpikir. "Aku akan menghubunginya lusa."Setelah percakapan sing
Kini Drew sudah menjadi Drew seperti sebelumnya. Fokusnya saat latihan telah kembali. Entah mengapa, saat melihat keburukan Grace tempo hari justru membuat dirinya lebih baik. Ia mensugesti dirinya sendiri bahwa Grace memang memiliki sifat buruk seperti itu, dia selalu melukai harga diri semua orang. Ia hanya harus maklum. Kemarahan tidak mungkin tidak ada, namun cukup bisa dikendalikan. Ia pikir, karirnya lebih penting daripada dendam pribadinya pada Grace. Sifat buruk Grace tidak akan mampu membuatnya menghancurkan karir dirinya sendiri. "Drew!" panggil Ben sambil menunjuk seseorang yang tengah duduk di tribun dengan dagunya. Drew mengikuti arah pandang Ben. Seorang wanita berbaju putih dengan rambut terurai tengah melambaikan tangannya. Sekali lihat, Drew langsung bisa mengenali wanita itu. Elle. Tempo hari ia menyuruh Elle untuk mampir ke tempat latihannya saat tahu bahwa Elle sering ada acara di sekitar sana. Drew berlari kecil menghampiri Elle. Se
Grace mengobrak-abrik isi kamar Gabby untuk mencari paspornya. Besok ia harus ke Singapura untuk menghadiri fashion show yang diadakan oleh temannya sewaktu di London. Hanya sebentar, maka dari itu ia tidak memerlukan banyak persiapan, akan tetapi ia tetap saja memerlukan paspornya. "Sebenarnya dimana kau meletakkannya?" tanya Gabby kesal. "Aku tidak ingat." balas Grace sama kesalnya, "Coba ingat lagi, mungkin saja kau yang membawanya." "Paspor adalah barang pribadimu, aku tidak mungkin membawanya.""Terakhir kali kau datang dari London, tas mana yang kau pakai?"Grace menoleh ke seluruh tasnya yang sudah berserakan di lantai kamar. Jajaran tasnya ia absen satu persatu. Waktu itu ia memakai tas ransel kulit berwarna coklat, namun tidak ada tas itu di sana. "Aku rasa tasnya tertinggal di rumahmu." tebak Gabby. Kala itu, Grace langsung menuju rumahnya sendiri. Kemungkinan terbesar, tas itu berada di rumah keluarg
Setelah dari kedai kopi, Drew pindah ke kediaman keluarga Wayne. Elle memaksanya untuk ikut makan malam, sesuai dengan janjinya tempo hari. Sembari menunggu Nyonya Wayne dan Elle menyiapkan makan malam, ia bersama dengan Tuan Wayne tengah berbincang tentang bola di ruang tamu. Diam-diam Papa Grace itu sangat menyukai bola, namun karena ia cukup sibuk terkadang ia tidak sempat untuk menyalurkan hobinya itu. "Sepertinya Om harus nonton pertandingan kamu secara langsung. Selama ini Om hanya melihat kamu di berita." "Saya akan merasa sangat senang. Minggu depan ada pertandingan CBT liga 1, jika Om berkenan untuk datang.""Oh ya? Tapi sayang sekali, lusa Om harus berangkat ke Paris untuk shooting. Ada film baru yang akan Om garap untuk penayangan pertengahan tahun depan.""Mungkin lain kali kalau Om ada waktu.""Om usahakan untuk nonton streamingnya." "... Setiap ada tim yang tanding, terutama tim kamu, semua tim minta br
"Ups, ada pertemuan keluarga rupanya. Apa aku mengganggu kalian?" ujarnya dengan nada merendahkan. Senyuman miring itu masih menghiasi wajahnya sementara langkahnya kian mendekat. "Apa kabar, Ma.. Pa?" sapanya sembari mengamati perubahan mimik Mamanya yang terlihat tidak suka. "Ayo, ikut makan dengan kami!" ajak Ayahnya. Grace tidak bodoh untuk menangkapnya sebagai kata basa-basi. Jelas di sana hanya ada 4 kursi dan semuanya penuh. Apa ia harus duduk di lantai? Lagi, yang membuatnya urung adalah ekspresi Mamanya yang masih melihat tidak suka. Apakah sebegitu tidak sudinya untuk berbagi meja. "Aku tidak ingin merusak acara kalian, silahkan dilanjutkan!"Sebelum melangkah pergi, lirikannya bertemu dengan tatapan Drew yang datar. Sama sekali tidak ada emosi apapun di sana. Jika dilihat dari pertemuan terakhir mereka yang cukup buruk, seharusnya tatapan kebencian yang pria itu berikan padanya. Awalnya Grace i
"Grace, kembali!" perintah Papanya. Ia tidak peduli dengan permintaan Papanya. Kakinya terus berjalan tak acuh. Wajahnya yang tajam perlahan mengendur. Kedua ujung bibirnya ditekuk ke dalam dengan kedua kelopak mata yang bergetar. Rahangnya ikut mengeras menahan gejolak yang hendak meledak dalam dirinya. Ia terus berjalan menuju mobilnya tanpa ada fokus. Matanya menatap ke depan, namun tidak ada yang ia perhatikan. Kakinya seolah otomatis berjalan. Sudah bisa ditebak bahwa pertengkaran tidak mungkin terelakkan, namun ketika tebakannya terbukti hatinya justru merasa perih. Hanya karena terbiasa rupanya tidak dapat menghalau sakit. Pandangannya semakin mengabur tertutupi oleh air mata yang ingin merembes. Sebelum itu benar-benar terjadi Grace sudah menghapus dengan punggung tangan kirinya. Ia tidak rela air matanya keluar. Terlihat lemah adalah hal yang paling tidak ia sukai. Mobilnya melaju kencang membelah malam. Suasana hatinya yang buruk mem
Drew menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan cukup keras. Kedua tangannya telentang, matanya mengarah pada langit-langit yang putih bersih tanpa noda. Berbeda dengan pikirannya yang melayang membayangkan kejadian beberapa waktu lalu di rumah keluarga Wayne. Lagi, ia menyaksikan Grace dengan Ibunya bertengkar. Sejahat-jahatnya Grace dulu yang telah menolaknya mentah-mentah dengan dalih miskin, ia rasa tidak cukup jahat dibandingkan dengan permusuhan wanita itu dengan Ibunya. Ia baru tahu Grace memiliki sifat seburuk itu. "Tante menyesal, kamu terpaksa melihat pertengkaran tante dengan Grace."Drew hanya tersenyum canggung, "Tidak apa-apa tante.""Hubungan tante dengan Grace memang tidak baik. Tante yakin, Grace terkena pengaruh buruk ketika tinggal di London."Drew rasa sekedar pengaruh dari luar tidak akan menjadikan Grace sejahat itu. Indonesia dan luar negeri hanya berbeda kultur. Di luar negeri juga diajarkan menghormati kedua orang tua, s