Share

2. Dua sahabat

Malam yang cerah dengan kemerlip bintang menghiasi angkasa. Terlihat dua orang pria sedang duduk santai di pinggir kolam renang dengan menyesap minuman masing-masing. 

"Sudah hampir satu minggu, istrimu menghilang. Tidakkah kamu merasa cemas, Nak?" Sorot hangat itu menatap Kaindra sambil menyesap teh hangat.

Terdengar desahan kasar dari pria yang duduk berhadapan dengan sang Ayah itu. "Aku sudah melaporkan pada pihak berwajib, Pi. Dan aku juga sudah mencarinya. Tapi, Vena seperti hilang ditelan bumi."

Tuan Mehendra terkekeh, "bagaimana bisa seorang gadis bisa hilang ditelan bumi?"

"Mungkin saja ada makhluk halus yang menculiknya. Siapa tahu 'kan?" sahut Kai tak acuh.

Lagi, terdengar tawa keras dari pria paruh baya itu. Lalu tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menatap putranya dengan serius. "Bagaimana jika ternyata, Vena diculik?"

Kai yang sedang menyesap coklat panas, tersedak karena terkejut. "Diculik? Siapa yang berani menculik Vena, Pi? Dan sampai sekarang juga tidak ada yang meminta tebusan pada kita," kilahnya dengan tertawa hambar. 

"Dan aku yakin, penculiknya tidak akan kuat menghadapi dia, satu hari saja," lanjut Kai.

"Kita tidak tahu, Nak. Misteri apa yang ada dibalik menghilangnya istrimu itu. Ini sangat aneh, karena kita semua tahu bagaimana karakter Vena. Ia bukan tipe wanita yang gampang pergi dari rumah jika marah atau ada masalah. Gadis itu akan lebih memilih pergi shopping atau bersenang-senang dengan temannya daripada pergi dan hilang seperti ini."

"Yeah. Papi sangat tahu sifat dan karakternya. Tapi, Papi masih saja menyayangi dan memanjakannya," sindir Kai tanpa menatap sang Ayah. 

Ucapan lelaki muda itu membuat mata tuanya berkabut. Ia menatap putranya yang sedang sibuk memainkan ponselnya dengan sendu. Ia tahu, kesalahan terbesarnya adalah menikahkan putra sulungnya itu dengan Avena, putri kedua Seno. Namun, saat itu ia memang tidak bisa berkutik dan berbuat apa-apa selain menikahkan mereka. Hati pria paruh baya itu terasa sesak karena tahu, putra sulungnya tidak pernah mencintai gadis itu. 

Tuan Mahendra menghembuskan napas perlahan. Ia memejamkan mata sesaat dan dalam hatinya berjanji akan menyelesaikan semua pekerjaan yang terkait dengan masa lalunya, agar Kaindra putra sulungnya bisa bahagia.

Kedua tangan Tuan Mahendra mengepal tanpa ia sadari. Hatinya mencelos ketika teringat dengan Seno. Orang yang dahulu pernah sangat ia percaya dan menganggapnya sebagai sahabat sejati, ternyata tak ubahnya seperti rubah tua yang licik.

Laki-laki itu memanfaatkan kesalahan dan dosa masa lalunya sebagai kelemahan fatal seorang Dhanu. Seno mengirim Vena--putri bungsunya untuk menjadi menantu di rumahnya. Namun, semua itu hanya kedok Seno untuk merebut harta dan kekuasaan yang ia miliki selama ini. Dan Dhanu harus mengorbankan putranya sendiri agar keluarga dan dunia tidak tahu akan dosa besarnya.

Dosa besar yang telah mengantarkan Elmer, sang putra bungsu menjadi pemuda yang 'sakit'. Dan sialnya, Seno menggunakan semua itu untuk mengancamnya agar menuruti semua permintaan dengan menikahkan putra-putri mereka. Tuan Dhanu menggeram pelan.

***

Sebuah asbak terbuat dari keramik mahal melayang menghantam lantai dengan suaranya yang nyaring. Seno menggeram dengan wajah murka. Dua orang pria berdiri dengan diam dan wajah menunduk dihadapannya.

"Bagaimana kalian tidak bisa menemukan anak itu? Tidak mungkin Vena bisa hidup tanpa uang." Napasnya sedikit tersengal karena ia benar-benar kesal dan marah.

"Saya sudah memeriksa jadwal penerbangan semua bandara untuk mengetahui apakah Nona Vena keluar dari kota ini dan hasilnya nihil, Tuan." Jalu mendongak menatap majikannya.

"Dimana anak itu," geramnya frustasi. 

Seno beralih pada putranya yang sejak tadi hanya diam menunduk.

"Apa kamu sudah mencari ke semua tempat, Davin? Semua teman dan tempat favoritnya."

"Sudah, Pa. Tapi nihil. Tidak ada jejak sama sekali dari Vena."

Seno mengusap wajahnya kasar, lalu menghempaskan punggungnya ke bangku kerjanya. Ia memejamkan mata dan mencoba berpikir keras mencari dimana keberadaan gadis itu.

"Tuan … ini sudah lebih dari lima hari menghilangnya Nona. Lalu apa yang harus kita katakan pada keluarga Mahendra?" ujar Jalu gusar.

"Itu yang dari tadi aku pikirkan. Dengan menghilangnya Vena, maka aku tidak bisa menekan lagi Dhanu. Hutang perusahaan semakin besar. Tanpa Vena, kita bisa mati perlahan. Anak itu aset bagi keluarga kita, karena ia perayu ulung. Kalian lihat bukan, bagaimana Dhanu sahabatku itu sangat menyayangi Vena? Tinggal satu langkah lagi, kita bisa merebut aset Mehendra. Tapi, kenapa anak itu malah menghilang!" 

Tercipta keheningan di ruangan itu. Yang terdengar hanya suara detak  jam dinding serta tarikan napas Seno yang berat. Jemarinya memijat kening yang terasa pening karena memikirkan Vena. Namun, tiba-tiba pria itu tersentak seperti mengingat sesuatu.

"Kenapa aku bisa melupakan Adikku?" gumamnya, tapi terdengar jelas oleh Davin dan Jalu.

"Apa maksud Anda, Tuan?"

"Adikku Bima, ayah Vena. Bukankah mereka kembar." Seno masih saja menggumam. Tapi, tiba-tiba ia terbahak dengan suara keras hingga berdiri membuat dua pria dihadapannya tertegun.

"Bodohnya aku bisa melupakan kembaran Vena." Ia berhenti tertawa dan menatap Jalu dengan bersemangat. "Untuk sementara kita bisa mengganti peran Vena dengan gadis lain. Bersiaplah untuk pergi ke Purworejo, Jalu," perintahnya dengan mata berkilat.

"Apa maksud Papa?" Davin yang dari tadi hanya diam dan menunduk, mendongak menatap sang Ayah.

"Ah, maaf, Nak. Papa tidak pernah bilang jika Adikmu itu terlahir kembar. Kita harus memanfaatkan gadis itu untuk masuk ke dalam rumah Mahendra, menggantikan Vena sementara waktu. Anak itu harus bisa menjadi Vena dan menyelesaikan tugas yang belum rampung. Tugas Vena untuk merebut aset penting Mahendra." Suara Seno terdengar mendesis dengan seringai tipis di bibirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status