Malam yang cerah dengan kemerlip bintang menghiasi angkasa. Terlihat dua orang pria sedang duduk santai di pinggir kolam renang dengan menyesap minuman masing-masing.
"Sudah hampir satu minggu, istrimu menghilang. Tidakkah kamu merasa cemas, Nak?" Sorot hangat itu menatap Kaindra sambil menyesap teh hangat.
Terdengar desahan kasar dari pria yang duduk berhadapan dengan sang Ayah itu. "Aku sudah melaporkan pada pihak berwajib, Pi. Dan aku juga sudah mencarinya. Tapi, Vena seperti hilang ditelan bumi."
Tuan Mehendra terkekeh, "bagaimana bisa seorang gadis bisa hilang ditelan bumi?"
"Mungkin saja ada makhluk halus yang menculiknya. Siapa tahu 'kan?" sahut Kai tak acuh.
Lagi, terdengar tawa keras dari pria paruh baya itu. Lalu tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menatap putranya dengan serius. "Bagaimana jika ternyata, Vena diculik?"
Kai yang sedang menyesap coklat panas, tersedak karena terkejut. "Diculik? Siapa yang berani menculik Vena, Pi? Dan sampai sekarang juga tidak ada yang meminta tebusan pada kita," kilahnya dengan tertawa hambar.
"Dan aku yakin, penculiknya tidak akan kuat menghadapi dia, satu hari saja," lanjut Kai.
"Kita tidak tahu, Nak. Misteri apa yang ada dibalik menghilangnya istrimu itu. Ini sangat aneh, karena kita semua tahu bagaimana karakter Vena. Ia bukan tipe wanita yang gampang pergi dari rumah jika marah atau ada masalah. Gadis itu akan lebih memilih pergi shopping atau bersenang-senang dengan temannya daripada pergi dan hilang seperti ini."
"Yeah. Papi sangat tahu sifat dan karakternya. Tapi, Papi masih saja menyayangi dan memanjakannya," sindir Kai tanpa menatap sang Ayah.
Ucapan lelaki muda itu membuat mata tuanya berkabut. Ia menatap putranya yang sedang sibuk memainkan ponselnya dengan sendu. Ia tahu, kesalahan terbesarnya adalah menikahkan putra sulungnya itu dengan Avena, putri kedua Seno. Namun, saat itu ia memang tidak bisa berkutik dan berbuat apa-apa selain menikahkan mereka. Hati pria paruh baya itu terasa sesak karena tahu, putra sulungnya tidak pernah mencintai gadis itu.
Tuan Mahendra menghembuskan napas perlahan. Ia memejamkan mata sesaat dan dalam hatinya berjanji akan menyelesaikan semua pekerjaan yang terkait dengan masa lalunya, agar Kaindra putra sulungnya bisa bahagia.
Kedua tangan Tuan Mahendra mengepal tanpa ia sadari. Hatinya mencelos ketika teringat dengan Seno. Orang yang dahulu pernah sangat ia percaya dan menganggapnya sebagai sahabat sejati, ternyata tak ubahnya seperti rubah tua yang licik.
Laki-laki itu memanfaatkan kesalahan dan dosa masa lalunya sebagai kelemahan fatal seorang Dhanu. Seno mengirim Vena--putri bungsunya untuk menjadi menantu di rumahnya. Namun, semua itu hanya kedok Seno untuk merebut harta dan kekuasaan yang ia miliki selama ini. Dan Dhanu harus mengorbankan putranya sendiri agar keluarga dan dunia tidak tahu akan dosa besarnya.
Dosa besar yang telah mengantarkan Elmer, sang putra bungsu menjadi pemuda yang 'sakit'. Dan sialnya, Seno menggunakan semua itu untuk mengancamnya agar menuruti semua permintaan dengan menikahkan putra-putri mereka. Tuan Dhanu menggeram pelan.
***
Sebuah asbak terbuat dari keramik mahal melayang menghantam lantai dengan suaranya yang nyaring. Seno menggeram dengan wajah murka. Dua orang pria berdiri dengan diam dan wajah menunduk dihadapannya.
"Bagaimana kalian tidak bisa menemukan anak itu? Tidak mungkin Vena bisa hidup tanpa uang." Napasnya sedikit tersengal karena ia benar-benar kesal dan marah.
"Saya sudah memeriksa jadwal penerbangan semua bandara untuk mengetahui apakah Nona Vena keluar dari kota ini dan hasilnya nihil, Tuan." Jalu mendongak menatap majikannya.
"Dimana anak itu," geramnya frustasi.
Seno beralih pada putranya yang sejak tadi hanya diam menunduk.
"Apa kamu sudah mencari ke semua tempat, Davin? Semua teman dan tempat favoritnya."
"Sudah, Pa. Tapi nihil. Tidak ada jejak sama sekali dari Vena."
Seno mengusap wajahnya kasar, lalu menghempaskan punggungnya ke bangku kerjanya. Ia memejamkan mata dan mencoba berpikir keras mencari dimana keberadaan gadis itu.
"Tuan … ini sudah lebih dari lima hari menghilangnya Nona. Lalu apa yang harus kita katakan pada keluarga Mahendra?" ujar Jalu gusar.
"Itu yang dari tadi aku pikirkan. Dengan menghilangnya Vena, maka aku tidak bisa menekan lagi Dhanu. Hutang perusahaan semakin besar. Tanpa Vena, kita bisa mati perlahan. Anak itu aset bagi keluarga kita, karena ia perayu ulung. Kalian lihat bukan, bagaimana Dhanu sahabatku itu sangat menyayangi Vena? Tinggal satu langkah lagi, kita bisa merebut aset Mehendra. Tapi, kenapa anak itu malah menghilang!"
Tercipta keheningan di ruangan itu. Yang terdengar hanya suara detak jam dinding serta tarikan napas Seno yang berat. Jemarinya memijat kening yang terasa pening karena memikirkan Vena. Namun, tiba-tiba pria itu tersentak seperti mengingat sesuatu.
"Kenapa aku bisa melupakan Adikku?" gumamnya, tapi terdengar jelas oleh Davin dan Jalu.
"Apa maksud Anda, Tuan?"
"Adikku Bima, ayah Vena. Bukankah mereka kembar." Seno masih saja menggumam. Tapi, tiba-tiba ia terbahak dengan suara keras hingga berdiri membuat dua pria dihadapannya tertegun.
"Bodohnya aku bisa melupakan kembaran Vena." Ia berhenti tertawa dan menatap Jalu dengan bersemangat. "Untuk sementara kita bisa mengganti peran Vena dengan gadis lain. Bersiaplah untuk pergi ke Purworejo, Jalu," perintahnya dengan mata berkilat.
"Apa maksud Papa?" Davin yang dari tadi hanya diam dan menunduk, mendongak menatap sang Ayah.
"Ah, maaf, Nak. Papa tidak pernah bilang jika Adikmu itu terlahir kembar. Kita harus memanfaatkan gadis itu untuk masuk ke dalam rumah Mahendra, menggantikan Vena sementara waktu. Anak itu harus bisa menjadi Vena dan menyelesaikan tugas yang belum rampung. Tugas Vena untuk merebut aset penting Mahendra." Suara Seno terdengar mendesis dengan seringai tipis di bibirnya.
Alena memandang rumah berwarna biru laut dengan pekarangan luas dihadapannya. Dia baru saja turun dari becak yang mengantarnya dari stasiun.Tampak senyum di wajahnya yang manis dan teduh. Mengingat kenangan masa kecilnya di rumah ini. Sudah dua tahun, ia tidak pulang. Dan tiga hari yang lalu, Ayahnya menyuruh pulang karena ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan.Selama ini, Alena merantau bekerja di luar pulau. Ia ikut keluarga bibinya di Kalimantan, dan bekerja menjadi staff administrasi sebuah perusahaan tambang batu bara.Gadis itu membuka pagar hitam yang tidak terlalu tinggi dan memasuki pekarangan."Lena ... kok nggak telepon dulu kalau sudah sampai, 'kan bisa dijemput Ayah?"Seorang wanita setengah baya muncul dari pintu dan menghampirinya dengan tergopoh.Gadis muda itu tersenyum dan segera memeluk sang wanita."Nggak jauh juga jarak stasiun ke rumah, Bu. Tadi begitu sampai bandar
Mobil Kijang biru tua yang dikemudikan Lek Dirman merayap menembus malam pekat dan kabut yang dingin keluar dari kota Purworejo menuju arah timur.Pak Bima sudah bertekad akan pergi sejauh mungkin agar Seno tidak bisa menemukan mereka. Terutama Alena, gadis itu harus disembunyikan.Di bagian bangku jok belakang, Alena dan Ibunya duduk meringkuk berpelukan. Sedang Arman duduk sendiri di bangku tengah dengan pandangan kosong melihat pemandangan luar yang gelap dan penuh kabut.Pukul tiga pagi kendaraan mereka memasuki kota Yogyakarta. Masuk kota ini, jalan sudah mulai ada aktifitas meski masih pagi buta.Bima memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil membeli sarapan nasi gudeg. Mereka duduk berjejer sambil menikmati suasana jalan raya yang masih lengang.Tidak ada tawa maupun senda gurau antara mereka. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kesedihan karena harus meninggalkan rumah yang sud
Orang-orang mulai berdatangan dan menolong mereka dengan melepas ikatan tangan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian ambulans datang membawa Arman juga Ibunya. Sedangkan Dirman tetap berada di sana menunggu mobil derek tiba untuk menarik mobil tua itu. Bagaimanapun, sawah itu milik orang lain dan keluarga Bima harus bertanggungjawab dengan kerusakan yang terjadi.Marini, ibu Lena histeris memanggil-manggil putrinya saat sadar, hingga para perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk menenangkannya. Sedang Arman harus menjalani operasi tangan kirinya yang patah akibat di tendang dengan keras berkali-kali.Bima mengusap rambut Marini--istrinya dengan sendu. Wanita itu diam tertidur karena pengaruh suntikan dari perawat. Pria itu menyeka sisa lelehan air mata di pipi istrinya."Bu ... bagaimana caraku untuk menyelamatkan Lena? Kenapa nasib keluarga kita jadi seperti ini? Kita sudah kehilangan Vena, bahkan sebelum dia gena
"Kenapa malah bengong?" Pertanyaan Davin membuat gadis itu tersentak. Ia segera menundukkan wajahnya.Lelaki muda itu terkekeh kecil, "kamu masih takut? Baiklah kita keluar dari sini."Davin menarik tangan Alena dan menggandengnya keluar dari gudang itu. Sampai di luar ternyata sudah malam. Beberapa orang yang menghajar keluarganya tadi pagi tampak berjaga di luar. Lena beringsut bersembunyi dibalik punggung Davin."Kenapa kalian menempatkannya di gudang busuk itu?" hardik Davin."Perintah Tuan besar," ucap si brewok, salah satu pengawal.Davin mendesah kasar lalu membimbing tangan Lena yang masih ketakutan melihat mereka.Mereka menundukkan kepala ketika Davin dan Alena melewatinya.Salah seorang membukakan pintu sebuah mobil mewah warna hitam metalik untuk mereka berdua."Kamu suka makan apa, Lena?" tanya Davin tiba-tiba dan membuat gadis itu gelagapan."M-m ... apa aja, Kak."
"Ajak dia masuk ke dalam kamar Vena dan ajarkan semua kebiasaan anak itu selama ini," perintah Seno pada Davin."Baik, Pa. Ayo Lena," ajak Davin dengan segera masuk ke dalam sebuah kamar.Lagi-lagi gadis itu dibuat takjub dengan isi kamar Vena, saudara kembarnya. Kamar ini besar, tiga kali lebih besar dari kamarnya dan juga sangat mewah. Kamar bernuansa abu muda ini menambah kesan pemiliknya adalah seorang gadis bercita rasa tinggi.Davin membuka almari baju serta sepatu milik Vena. Ia menjelaskan satu-persatu baju dan sepatu yang disukai Vena dan menyuruh Lena untuk mencoba memakainya.Awalnya Lena ragu untuk mencoba baju milik kembarannya, karena semua baju miliknya sexy dengan lekuk tubuh menggoda. Namun Davin mencoba terus dan berusaha meyakinkannya.Lena keluar dari kamar mandi dengan malu, menggunakan sebuah dres selutut yang menampilkan lekuk tubuh. Davin tertegun melihatnya. Lena benar-benar sempurna sebagai seorang wanita, ti
Mobil sedan hitam mewah memasuki sebuah gerbang dengan beberapa penjaga, lalu meluncur masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang besar dan sangat mewah.Sekali lagi Lena dibuat takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah mengin
Sore kelabu dengan awan berarak hitam menggumpal pekat. Angin bertiup agak kencang, petir menyambar terdengar dari kejauhan.Lena terpekur di atas sofa kamar memandang rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Kamar yang mewah ini baginya bagai sebuah ruangan kosong tanpa ruh. Semuanya hampa.Apa yang akan dilakukannya saat suami Kakaknya nanti datang? Bagaimana jika laki-laki yang dipanggil 'Kai' itu meminta kewajibannya sebagai seorang istri?Arghhh ... rasanya kepala Lena ingin pecah. Seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran. Lalu sekarang ia harus dihadapkan pada kenyataan berpura-pura harus menjadi Avena. Dan bodohnya lagi, ia mau dan tidak bisa menolak.Tapi, ia tidak punya pilihan, karena nasib keluarganya ada di tangan Om Seno. Berkali laki-laki paruh baya berkepala setengah botak itu mengancam akan membuat keluarganya menderita jika tidak mau menuruti keinginannya.Gadis itu mengusap air matanya saat ada yang meng
"Putraku tersayang sudah pulang? Kemarilah cepat, duduk dan makan," ujar Nyonya Merry dengan riang."Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya."Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena."I-iya," jawabnya gugup.Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua b