Orang-orang mulai berdatangan dan menolong mereka dengan melepas ikatan tangan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian ambulans datang membawa Arman juga Ibunya. Sedangkan Dirman tetap berada di sana menunggu mobil derek tiba untuk menarik mobil tua itu. Bagaimanapun, sawah itu milik orang lain dan keluarga Bima harus bertanggungjawab dengan kerusakan yang terjadi.
Marini, ibu Lena histeris memanggil-manggil putrinya saat sadar, hingga para perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk menenangkannya. Sedang Arman harus menjalani operasi tangan kirinya yang patah akibat di tendang dengan keras berkali-kali.
Bima mengusap rambut Marini--istrinya dengan sendu. Wanita itu diam tertidur karena pengaruh suntikan dari perawat. Pria itu menyeka sisa lelehan air mata di pipi istrinya.
"Bu ... bagaimana caraku untuk menyelamatkan Lena? Kenapa nasib keluarga kita jadi seperti ini? Kita sudah kehilangan Vena, bahkan sebelum dia genap dua tahun. Dan sekarang ...." Pria paruh baya itu tergugu. Ia berusaha keras menutup mulut, agar suara isakannya tak terdengar.
Apakah ini karma atas perbuatannya di masa lalu? Laki-laki paruh baya itu menangis tersedu di samping sang istri yang masih terpejam.
***Pening di kepala dan bau pengap seketika menyergap saat Alena membuka mata. Sesaat pandangan terasa kabur dan dia merasa mual. Gadis itu mengerjap beberapa kali.
Ia mengedarkan pandang dan berada dalam ruangan mirip gudang yang kotor dan pengap, hanya dengan penerangan lampu kecil sekitar lima watt. Entah dimana ia berada sekarang.
Dengan berusaha mencoba berdiri dan berpegangan pada dinding serta melihat sekeliling, ia berharap menemukan celah untuk melarikan diri. Namun, nihil. Ruangan itu hanya mempunyai satu pintu yang dikunci dari luar.
Alena merasa putus asa dan duduk bersimpuh di atas sebuah kardus usang. Entah bagaimana keluarganya sekarang. Keadaan Mas Arman yang terakhir dilihatnya terluka parah penuh darah di bagian wajah. Gadis itu menutup wajahnya dan menangis terisak.
Sesaat setelah kepergian Om Seno malam itu, akhirnya sebuah rahasia yang disimpan rapat keluarganya diceritakan pada Lena.
"Ketika kalian lahir, kakakmu Vena sudah menunjukkan gejala kurang sehat. Usia dua bulan, ia sering mengalami kejang dan opname di rumah sakit. Keadaan itu sampai kalian umur hampir dua tahun. Ayah yang saat itu hanya pegawai pabrik dengan upah tidak seberapa harus mencari pinjaman ke rentenir untuk biaya berobat Vena.
Keadaan ayah saat itu, rupanya dimanfaatkan oleh Mas Seno. Dia datang dan membayar lunas hutang ayah, membayar seluruh biaya rumah sakit Vena, dan memberi sebidang tanah yang sekarang kita tempati ini. Tapi, ternyata dibalik itu semua, Mas Seno menginginkan Vena sebagai putrinya. Dengan dalih membawa Vena berobat ke kota besar agar cepat sembuh, dia memaksa kami untuk menandatangani surat adopsi Vena." Getar suara Bima, diiringi isak tangis sang istri.
"Lalu kenapa kalian semua menyembunyikan tentang kembaran Lena, Yah?" sanggah Alena merasa tidak terima telah dibohongi.
"Karena Om Seno yang meminta. Sejak saat itu, kalian sudah putus ikatan dari saudara kembar. Saat itu juga, kami tidak tahu bagaimana tumbuh kembang Vena selanjutnya. Mas Seno memutus kontak dan tidak ingin kami ketahui keberadaannya.
Hingga sekitar satu minggu yang lalu, Seno datang kemari mencari Vena. Dia bilang Vena minggat dan suaminya marah besar. Jika Vena tidak segera ditemukan, maka Mas Seno dan Davin putranya terancam dibunuh."
Alena menghela napas berat. Penjelasan Ayahnya malam itu membuatnya sedih dan marah. Sedih karena selama ini keluarganya telah menutup rapat fakta bahwa ternyata ia dulu terlahir kembar. Marah karena saudara kandung satu-satunya Pak Bima tega memisahkan mereka.
Seperti apa Avena dan bagaimana ia menjalani kehidupannya selama ini, membuat Lena semakin penasaran. Dan di mana ia berada sekarang? Apakah benar, Vena pergi dari rumah suaminya. Jika benar apa motifnya?
Semua pertanyaan itu semakin membuat kepalanya terasa semakin berdentum sakit. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan takut ketika pintu gudang itu terbuka dengan suara berderit.
Seorang pemuda tampan, berkulit putih bersih seperti artis berdiri di hadapannya. Sesaat Alena terpesona oleh pemuda itu.
Si pemuda berdehem dan tertawa ketika melihat Alena memandangnya dengan tertegun dan salah tingkah saat ketahuan."Kamu sudah makan? Maaf kalau merasa tidak nyaman dengan tempat ini. Sebentar lagi kita keluar dari sini," ucap pemuda itu dengan lembut sambil berjongkok di depan Alena.
"Ka-kamu siapa?"
"Aku Davin, kakak sepupumu." Lelaki muda itu menyeka air mata di pipinya dengan lembut.
Lena terpaku dengan wajah gamang. Apakah ini Kakak sepupu yang dibicarakan Om Seno tempo hari? Tapi, sepertinya ia pemuda yang baik dan lembut dengan tatapan matanya yang hangat. Sangat berbeda sekali dengan Ayahnya.
"Kenapa malah bengong?" Pertanyaan Davin membuat gadis itu tersentak. Ia segera menundukkan wajahnya.Lelaki muda itu terkekeh kecil, "kamu masih takut? Baiklah kita keluar dari sini."Davin menarik tangan Alena dan menggandengnya keluar dari gudang itu. Sampai di luar ternyata sudah malam. Beberapa orang yang menghajar keluarganya tadi pagi tampak berjaga di luar. Lena beringsut bersembunyi dibalik punggung Davin."Kenapa kalian menempatkannya di gudang busuk itu?" hardik Davin."Perintah Tuan besar," ucap si brewok, salah satu pengawal.Davin mendesah kasar lalu membimbing tangan Lena yang masih ketakutan melihat mereka.Mereka menundukkan kepala ketika Davin dan Alena melewatinya.Salah seorang membukakan pintu sebuah mobil mewah warna hitam metalik untuk mereka berdua."Kamu suka makan apa, Lena?" tanya Davin tiba-tiba dan membuat gadis itu gelagapan."M-m ... apa aja, Kak."
"Ajak dia masuk ke dalam kamar Vena dan ajarkan semua kebiasaan anak itu selama ini," perintah Seno pada Davin."Baik, Pa. Ayo Lena," ajak Davin dengan segera masuk ke dalam sebuah kamar.Lagi-lagi gadis itu dibuat takjub dengan isi kamar Vena, saudara kembarnya. Kamar ini besar, tiga kali lebih besar dari kamarnya dan juga sangat mewah. Kamar bernuansa abu muda ini menambah kesan pemiliknya adalah seorang gadis bercita rasa tinggi.Davin membuka almari baju serta sepatu milik Vena. Ia menjelaskan satu-persatu baju dan sepatu yang disukai Vena dan menyuruh Lena untuk mencoba memakainya.Awalnya Lena ragu untuk mencoba baju milik kembarannya, karena semua baju miliknya sexy dengan lekuk tubuh menggoda. Namun Davin mencoba terus dan berusaha meyakinkannya.Lena keluar dari kamar mandi dengan malu, menggunakan sebuah dres selutut yang menampilkan lekuk tubuh. Davin tertegun melihatnya. Lena benar-benar sempurna sebagai seorang wanita, ti
Mobil sedan hitam mewah memasuki sebuah gerbang dengan beberapa penjaga, lalu meluncur masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang besar dan sangat mewah.Sekali lagi Lena dibuat takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah mengin
Sore kelabu dengan awan berarak hitam menggumpal pekat. Angin bertiup agak kencang, petir menyambar terdengar dari kejauhan.Lena terpekur di atas sofa kamar memandang rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Kamar yang mewah ini baginya bagai sebuah ruangan kosong tanpa ruh. Semuanya hampa.Apa yang akan dilakukannya saat suami Kakaknya nanti datang? Bagaimana jika laki-laki yang dipanggil 'Kai' itu meminta kewajibannya sebagai seorang istri?Arghhh ... rasanya kepala Lena ingin pecah. Seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran. Lalu sekarang ia harus dihadapkan pada kenyataan berpura-pura harus menjadi Avena. Dan bodohnya lagi, ia mau dan tidak bisa menolak.Tapi, ia tidak punya pilihan, karena nasib keluarganya ada di tangan Om Seno. Berkali laki-laki paruh baya berkepala setengah botak itu mengancam akan membuat keluarganya menderita jika tidak mau menuruti keinginannya.Gadis itu mengusap air matanya saat ada yang meng
"Putraku tersayang sudah pulang? Kemarilah cepat, duduk dan makan," ujar Nyonya Merry dengan riang."Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya."Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena."I-iya," jawabnya gugup.Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua b
"Ti-tidak." Lena tergagap dan mencoba membalas tatapannya. Namun, hatinya mencelos dan bergetar melihat manik mata Kai yang dingin dan dalam. Ia menundukkan kepala, lalu bersiap pergi untuk menghindar dari tatapan menusuk Kai.Namun, tiba-tiba Kai menarik lengan Lena kemudian mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat.Lena tersentak dan merintih karena merasa terkejut juga sakit."Le-lepaskan. Sakit ....""Siapa kamu?!" Suara Kai yang tajam mendesis membuat bulu kuduk Alena meremang.Gadis itu ketakutan setengah mati, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. "Aku istrimu, siapa lagi?" jawabnya dengan suara serak, seakan menantang.Kaindra tertawa sinis. Ia melepaskan cengkramannya kemudian membopong tubuh Lena dan melemparnya di ranjang dengan kasar. Lena terhempas. Ia menelan ludah saat melihat seringai mengerikan dari bibir tipis laki-laki itu."Siapa kamu!" Suara Kai bagaikan seorang algojo yan
Malam semakin pekat, hawa dingin mulai terasa menusuk. Hujan sudah mulai reda meski rintiknya masih bernyanyi sahdu di atas muka bumi.Alena masih meringkuk di pembaringan meski sedu sedannya telah berhenti dan akhirnya ketiduran karena lelah menangis.Kaindra memasuki kamar dan melihat gadis itu meringkuk masih dengan posisi saat ia tinggalkan tadi. Lelaki itu mendekatinya, menyibak sedikit rambut yang menutupi wajahnya.Keningnya berkerut karena wajah gadis yang tertidur ini sangat mirip dengan Vena, bahkan tanpa cela. Apa yang membuatnya mau berpura-pura menjadi istrinya, itu yang harus diketahui oleh Kai. Dan di mana Vena sesungguhnya berada, ia belum menemukan titik terang, meski sebenarnya ia tak peduli.'Apakah Vena sebenarnya memiliki kembaran? Tapi, dimana selama ini gadis itu berada? Jika benar, dia adalah kembaran Vena, kenapa Seno menyembunyikan nya selama ini?' lirih batin Kai sangat penasaran.Kai mengambil
Elmer tertawa datar, "dan kamu juga tahu, di rumah ini tidak akan pernah ada yang namanya mie instan, karena Mami melarangnya," sahutnya lagi dengan dingin.Lena tertegun lagi dan salah tingkah. Ternyata Davin tidak mengatakan tentang dilarangnya mie instan di rumah ini. Jika ia bersikap seperti ini, maka Elmer bisa curiga padanya. Mungkin lebih baik jika ia kembali ke kamar dan melupakan rasa laparnya."Tapi itu tidak berlaku untukku. Karena di kamarku banyak tersedia mie instan. Kamu bebas memakannya. Itupun ... jika kamu bersedia." Elmer menatap dalam manik mata Lena. Gadis itu gugup dan hanya terdiam tidak tahu harus menjawab apa."Well … terserah kalau kamu mau kelaparan juga kedinginan dengan tetap berdiri di sini." Kemudian Elmer beranjak pergi dari dapur. Sedangkan Lena merasa gamang harus mengikuti lelaki itu, atau kembali ke kamar dengan Kai yang tidur meringkuk di atas sofa.Seperti tidak ada pilihan lagi, akhirnya Lena men