"Ajak dia masuk ke dalam kamar Vena dan ajarkan semua kebiasaan anak itu selama ini," perintah Seno pada Davin.
"Baik, Pa. Ayo Lena," ajak Davin dengan segera masuk ke dalam sebuah kamar.
Lagi-lagi gadis itu dibuat takjub dengan isi kamar Vena, saudara kembarnya. Kamar ini besar, tiga kali lebih besar dari kamarnya dan juga sangat mewah. Kamar bernuansa abu muda ini menambah kesan pemiliknya adalah seorang gadis bercita rasa tinggi.
Davin membuka almari baju serta sepatu milik Vena. Ia menjelaskan satu-persatu baju dan sepatu yang disukai Vena dan menyuruh Lena untuk mencoba memakainya.
Awalnya Lena ragu untuk mencoba baju milik kembarannya, karena semua baju miliknya sexy dengan lekuk tubuh menggoda. Namun Davin mencoba terus dan berusaha meyakinkannya.
Lena keluar dari kamar mandi dengan malu, menggunakan sebuah dres selutut yang menampilkan lekuk tubuh. Davin tertegun melihatnya. Lena benar-benar sempurna sebagai seorang wanita, tidak kalah dengan kakaknya, Avena.
Cantik dan anggun."Ah, bagus. Sekarang coba pakai high heels itu dan coba berjalan," ujar Davin yang tersadar dirinya sudah terpesona pada Adik sepupunya.
Gadis itu mencoba semua baju dan sepatu milik Kakaknya. Dan satu yang membuat Lena terhenyak, ketika Davin juga mengajarkan padanya untuk bersikap angkuh pada semua orang, karena Avena yang sebenarnya adalah pribadi yang angkuh dan mau menang sendiri.
"Tapi, aku ga bisa kalau harus seperti itu, Kak." Lena duduk di sisi pembaringan dengan sedih. Ia tidak menyangka perbedaan sifat dan karakter mereka berdua sangat berbeda jauh.
"Jika kamu bersikap baik dan lembut seperti ini, maka mereka akan tahu bahwa kamu bukan Vena. Anak itu agak kasar selama ini," ujar Davin memberi pengertian.
Lena terdiam karena tidak tahu harus mulai dari mana untuk pura-pura menjadi kembarannya. Mulai dari cara berdandan dan berpakaian pun, ia sudah merasa tak nyaman dan risih. Ia tidak biasa memakai make-up, karena memang kesehariannya hanya memoles sekedar bedak tabur dan lipstik natural. Bagaimana ia bisa berdandan jika pekerjaannya dikelilingi oleh para lelaki pekerja kasar di tambang. Alih-alih mendapat pujian, malah bisa saja ia dianggap murahan.
"Angkat dagu dengan angkuh dan selalu tersenyum sinis pada semua orang. Sering keluarkan kata-kata menyakitkan jika hati tidak berkenan."
"Seperti itu Vena selama ini?" Lena tertegun lama karena sangat tidak menyangka.
Davin mengangguk dan menatap Lena lembut. Ia mengerti perasaan adik sepupunya itu. Tapi ia terpaksa mengatakannya karena memang perilaku Vena selama ini seperti itu.
"Dia juga sangat menyukai uang dan senang berfoya-foya. Jadilah menjadi dia untuk sementara ini. Setelah ini, akan aku beritahu siapa saja orang-orang yang tinggal di rumah Kaindra."
Kemudian Davin menjelaskan karakter dan sifat orang-orang di rumah besar Tuan Dhanu Mahendra, ayah Kaindra.
"Ingat, Lena. Vena selalu tersenyum angkuh dan suka meremehkan orang. Dia juga senang memaki jika ada hal yang tidak berkenan di hatinya. Itu sebabnya, para pelayan di sini sungkan padanya, begitu pula orang-orang di rumah itu."
"Jadi, tadi para pelayan mengira bahwa aku ini Vena, makanya mereka takut ketika melihatku?"
"Iya. Karena tidak ada satu pun yang tahu sebenarnya. Dan kita harus menutup rapat, sampai Vena yang asli ditemukan, jika tidak ingin kita mati sia-sia di tangan Kaindra."
"Apakah Kakak iparku itu begitu menakutkan?" tanya Lenna dengan wajah cemas.
Davin menatapnya hangat. "Aku tidak begitu mengenal Kaindra. Yang aku tahu, ia pria dingin dan tidak banyak bicara. Tapi …." Pemuda itu menjeda kalimatnya.
"Tapi apa, Kak?"
"Nanti kamu akan bisa menilai sendiri karakter dia jika sudah bertemu."
Davin memalingkan wajah, seperti menghindari tatapan ragu dari Lena. Wajahnya menyiratkan sebuah rahasia yang tidak ingin diungkapkan pada Adik sepupunya."Berhati-hatilah terhadap Nyonya Merry, Electra dan Reta. Mereka suka mencari-cari kesalahan Vena selama ini," lanjutnya lagi dengan tersenyum miris
"Jika Kaindra tahu jika aku bukan Vena, apa yang harus aku lakukan, Kak?"
Davin tampak terdiam dan seperti berpikir.
"Jangan sampai tahu. Jika tahu, bukan hanya nyawamu menjadi taruhannya, tapi kita semua," sahut pria itu dengan wajah serius.Lena meneguk ludah, getir. Laki-laki macam apa Kakak iparnya ini? Bagaimana saudaranya bisa menikahi pria itu?"Bersihkan dirimu, lalu istirahatlah. Besok masih banyak yang perlu kamu pelajari."
Davin berdiri dan mengusap lembut kepala Lena, lalu meninggalkannya di kamar itu sendiri. Gadis itu memejamkan mata dalam duduknya. Kepalanya mendadak terasa pening mendengar semua penjelasan Kakak sepupunya.Sanggupkah ia menjadi peran pengganti?Lena berdiri dan menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower yang mengguyur sekujur tubuhnya, tanpa melepas satu pun pakaiannya. Ia menangis. Menangis tanpa suara, kemudian tubuhnya luruh di lantai dengan air deras masih mengguyur.
Nasib seperti apa yang akan menantinya nanti di keluarga Tuan Dhanu? Bisakah ia membohongi Kakak iparnya dan meyakinkan pria itu bahwa ia Vena?
Bagaimana keadaan keluarganya? Mas Arman, Ibu, Ayah dan Lek Dirman?Tubuhnya terguncang hebat karena tangis. Ingin sekali ia berteriak kencang meluapakan emosi yang sudah merajai hati dan jiwanya sejak kemarin. Namun, perasaan takut membuatnya tidak bisa berkutik. Dan ia sangat membencinya. Benci kenapa ia jadi seorang wanita yang lemah. Benci kenapa ia mempunyai nyali yang ciut dan tidak bisa melawan ketidakadilan dari Seno, pamannya.
Setelah puas menangis, Lena keluar kamar mandi dan memakai baju tidur milik Kakaknya. Wajahnya yang letih dan matanya yang sembab semakin membuat ia merana. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan kamar.
Beberapa foto Vena tertempel di dinding dan di atas nakas. Gadis yang sangat cantik dan sexy, dengan balutan pakaian yang mewah dan berkelas. Lenna mengambil sebuah bingkai foto dan memandang lama wajah kembarannya. Wajah mereka memang mirip, tapi Vena jauh lebih cantik dengan segala dandanan berkelasnya. Alis yang tebal seperti dirinya, bibir tipis yang terlihat manis saat tersenyum, serta manik mata hitam pekat menjadi ciri khas mereka.
Lena menghela napas panjang."Jika apa yang aku lakukan ini bisa membuat Om Seno senang dan mau melepaskan keluargaku, maka aku akan melakukannya dengan ikhlas, Tuhan …," gumam Lena tulus dengan mata mengembun hangat.
Mobil sedan hitam mewah memasuki sebuah gerbang dengan beberapa penjaga, lalu meluncur masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang besar dan sangat mewah.Sekali lagi Lena dibuat takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah mengin
Sore kelabu dengan awan berarak hitam menggumpal pekat. Angin bertiup agak kencang, petir menyambar terdengar dari kejauhan.Lena terpekur di atas sofa kamar memandang rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Kamar yang mewah ini baginya bagai sebuah ruangan kosong tanpa ruh. Semuanya hampa.Apa yang akan dilakukannya saat suami Kakaknya nanti datang? Bagaimana jika laki-laki yang dipanggil 'Kai' itu meminta kewajibannya sebagai seorang istri?Arghhh ... rasanya kepala Lena ingin pecah. Seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran. Lalu sekarang ia harus dihadapkan pada kenyataan berpura-pura harus menjadi Avena. Dan bodohnya lagi, ia mau dan tidak bisa menolak.Tapi, ia tidak punya pilihan, karena nasib keluarganya ada di tangan Om Seno. Berkali laki-laki paruh baya berkepala setengah botak itu mengancam akan membuat keluarganya menderita jika tidak mau menuruti keinginannya.Gadis itu mengusap air matanya saat ada yang meng
"Putraku tersayang sudah pulang? Kemarilah cepat, duduk dan makan," ujar Nyonya Merry dengan riang."Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya."Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena."I-iya," jawabnya gugup.Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua b
"Ti-tidak." Lena tergagap dan mencoba membalas tatapannya. Namun, hatinya mencelos dan bergetar melihat manik mata Kai yang dingin dan dalam. Ia menundukkan kepala, lalu bersiap pergi untuk menghindar dari tatapan menusuk Kai.Namun, tiba-tiba Kai menarik lengan Lena kemudian mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat.Lena tersentak dan merintih karena merasa terkejut juga sakit."Le-lepaskan. Sakit ....""Siapa kamu?!" Suara Kai yang tajam mendesis membuat bulu kuduk Alena meremang.Gadis itu ketakutan setengah mati, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. "Aku istrimu, siapa lagi?" jawabnya dengan suara serak, seakan menantang.Kaindra tertawa sinis. Ia melepaskan cengkramannya kemudian membopong tubuh Lena dan melemparnya di ranjang dengan kasar. Lena terhempas. Ia menelan ludah saat melihat seringai mengerikan dari bibir tipis laki-laki itu."Siapa kamu!" Suara Kai bagaikan seorang algojo yan
Malam semakin pekat, hawa dingin mulai terasa menusuk. Hujan sudah mulai reda meski rintiknya masih bernyanyi sahdu di atas muka bumi.Alena masih meringkuk di pembaringan meski sedu sedannya telah berhenti dan akhirnya ketiduran karena lelah menangis.Kaindra memasuki kamar dan melihat gadis itu meringkuk masih dengan posisi saat ia tinggalkan tadi. Lelaki itu mendekatinya, menyibak sedikit rambut yang menutupi wajahnya.Keningnya berkerut karena wajah gadis yang tertidur ini sangat mirip dengan Vena, bahkan tanpa cela. Apa yang membuatnya mau berpura-pura menjadi istrinya, itu yang harus diketahui oleh Kai. Dan di mana Vena sesungguhnya berada, ia belum menemukan titik terang, meski sebenarnya ia tak peduli.'Apakah Vena sebenarnya memiliki kembaran? Tapi, dimana selama ini gadis itu berada? Jika benar, dia adalah kembaran Vena, kenapa Seno menyembunyikan nya selama ini?' lirih batin Kai sangat penasaran.Kai mengambil
Elmer tertawa datar, "dan kamu juga tahu, di rumah ini tidak akan pernah ada yang namanya mie instan, karena Mami melarangnya," sahutnya lagi dengan dingin.Lena tertegun lagi dan salah tingkah. Ternyata Davin tidak mengatakan tentang dilarangnya mie instan di rumah ini. Jika ia bersikap seperti ini, maka Elmer bisa curiga padanya. Mungkin lebih baik jika ia kembali ke kamar dan melupakan rasa laparnya."Tapi itu tidak berlaku untukku. Karena di kamarku banyak tersedia mie instan. Kamu bebas memakannya. Itupun ... jika kamu bersedia." Elmer menatap dalam manik mata Lena. Gadis itu gugup dan hanya terdiam tidak tahu harus menjawab apa."Well … terserah kalau kamu mau kelaparan juga kedinginan dengan tetap berdiri di sini." Kemudian Elmer beranjak pergi dari dapur. Sedangkan Lena merasa gamang harus mengikuti lelaki itu, atau kembali ke kamar dengan Kai yang tidur meringkuk di atas sofa.Seperti tidak ada pilihan lagi, akhirnya Lena men
Kaindra menggeliat dan menyipitkan mata saat sinar mentari masuk melalui celah tirai yang sedikit tersingkap. Ia mengusap mata dan berdecih lirih. Pandangannya beralih pada selimut yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tadi malam sama sekali tidak membawa selimut. Kemudian ia beringsut duduk dan memandang ranjang yang sudah kosong dan rapi. Kemana gadis itu?Kai berdiri dan beranjak masuk untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Saat keluar dan mengenakan jas-nya, gadis yang menyerupai istrinya itu tetap tak terlihat.Setelah rapi dan sempurna, ia turun ke bawah menuju meja makan. Di bawah hanya ada Elmer adiknya yang sedang menikmati roti panggang dan segelas orange jus.Kai duduk di depannya dan meminum segelas susu hangat. Mereka saling tak acuh dan tak peduli. Seperti ada jarak di antara mereka. Hingga lelaki itu menyelesaikan sarapannya, tidak juga ia melihat gadis itu."Reta, dimana Vena?" tanya Kai pada kepala pelayann
Laki-laki kekar dengan wajah garang itu mengangguk patuh."Baik, Tuan. Tapi Tuan muda Elmer selama ini masih baik-baik saja. Belum ada tanda-tanda darinya untuk melakukannya lagi.""Tapi kamu harus tetap waspada. Bisa sewaktu-waktu Elmer kambuh dan membahayakan orang lain. Anak itu …." Tuan Dhanu terdiam. Terlihat sekali wajah tuanya yang menampakkan kesedihan saat memikirkan putra bungsunya."Tuan tidak usah banyak berpikir. Saya yang akan membereskan semuanya, dengan tetap melindungi Tuan muda Elmer seperti biasanya." Jimmy mencoba menenangkan Tuannya."Semua salahku. Seandainya saat itu, aku tidak membawa Elmer kecil, mungkin ….""Semua sudah terjadi, Tuan. Dan Anda tidak bisa membalikkan keadaan. Yang perlu kita perhatikan saat ini adalah membuat Tuan Elmer tetap menjadi dirinya yang sekarang."Tuan Dhanu tersenyum hangat pada Jimmy. "Itu yang aku suka darimu. Pikiranmu terkadang melebihiku yang suda