Share

8. Kediaman keluarga Mahendra

Mobil sedan hitam mewah memasuki sebuah gerbang dengan beberapa penjaga, lalu meluncur masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang besar dan sangat mewah.

Sekali lagi Lena dibuat  takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan  bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.

Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.

Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.

Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.

Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah menginjak hampir enam puluh tahun.

Ia tersenyum ramah pada Seno dan melirik Lena dengan sinis.

"Maafkan keterlambatan saya membawa Avena pulang, Nyonya. Anak tidak tahu diri ini ternyata telah berlibur ke Perancis tanpa mengabari siapa pun. Ayo Vena, minta maaf pada Mami mertuamu," perintah Tuan Seno melirik gadis itu.

Gadis itu  berusaha menekan kegugupannya dengan tersenyum sinis kepada sang Nyonya rumah. "Aku pulang, Mami."

"Baguslah kalau kamu tahu jalan pulang. Paling tidak Papimu tidak stres memikirkan saat kamu minggat," ketus wanita itu.

"Oh, ya," jawab Lena dengan datar.

Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ucapannya pada Nyonya rumah itu berbeda sekali dengan hatinya. Tapi, ia terpaksa menjalankan skenario dan semua ucapan serta tindakannya telah diajarkan oleh Davin.

Vena tidak pernah cocok dengan keluarga suaminya. Ia terpaksa menikah dengan Kaindra karena permintaan Tuan Mahendra, Ayah Kaindra.

"Kalau begitu, aku akan masuk ke dalam kamar," ujar Lena sama persis seperti yang diajarkan Davin. Bahkan pemuda itu juga menggambar denah rumah dan menunjukkan semua fungsi ruang di rumah mewah itu. 

Lena meninggalkan  Seno dan Ibu mertuanya yang meliriknya dengan berdecih sinis.

Setelah ruang tamu, harus melewati ruang keluarga, kemudian ada tangga, naik ke atas dan ambil sisi koridor yang kanan, masuk kamar yang paling ujung. Itu pesan berulang dari Davin.

Kaki Lena melangkah dengan gemetar. Saat ia hampir sampai di ujung koridor, sebuah kamar terbuka dan keluar seorang gadis cantik mengenakan tank top dan celana hotpants.

"Sudah pulang rupanya Kakak ipar tercinta," sindirnya sambil bersandar pada dinding.

'Ini pasti Electra, adik ipar Vena.' Batin Lena sambil menatapnya angkuh.

"Rindukah kamu padaku?"

Gadis itu tertawa sumbang.

"Sangat merindukanmu, Kakak. Hingga setiap hari aku menangis tersedu-sedu," sarkas Electra dengan wajah mengejek.

"Baguslah. Ternyata keluarga ini sangat merindukanku, hingga aku juga tidak betah pergi terlalu lama. Dan kini ... aku kembali, adik iparku tersayang." Lena mendekati Electra dan berbisik lirih di telinganya, "musuh besarmu telah kembali."

Electra menegang, ia menatap marah pada Kakak iparnya. Sedangkan Lena tertawa puas dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Electra yang kesal.

Ia bersandar pada pintu setelah menutupnya rapat. Ia luruh di lantai dan menangis dengan menutup mulutnya.

Sungguh ... seumur hidup belum pernah ia bersikap seperti ini pada orang. Semua kalimat yang keluar dari bibirnya sangat bertentangan dengan hatinya dan  semua sudah diajarkan oleh Davin, seolah pemuda itu sudah tahu siapa saja yang akan dihadapi oleh Lena saat masuk ke dalam istana Tuan  Dhanu Mahendra.

Ia menyeka bulir-bulir hangat yang membasahi pipinya. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Sekali lagi pemandangan mewah dan berkelas yang terpampang di hadapannya. Sebuah ruang kamar yang luas dengan ranjang berukuran king, terletak di tengah ruangan.

Lenna beringsut dari duduknya, berjalan mengitari seluruh ruang kamar. Ada beberapa foto Kaindra yang membuatnya terpesona. Laki-laki dewasa yang matang dan juga sangat tampan. Tatapan tajam matanya yang dingin, serta rahang yang kuat, bibir tipis, beberapa bulu rambut halus bercambang tipis semakin membuat wajahnya tampak eksotik.

Dari sekian foto Kaindra yang tertempel di dinding, Lena tidak menemukan satu pun foto dari kembarannya. Ia mengerutkan kening. Bahkan foto pernikahan yang seharusnya menjadi ikon utama di dinding ruang, tidak ada sama sekali.

Setelah puas mengamati foto Kakak iparnya, ia menuju balkon dan membuka pintu geser kaca. Seketika angin panas menerpa wajahnya. Sungguh udara panas kota metropolitan, berbanding terbalik dengan udara sejuk di kotanya.

Lena termenung, sebuah kerinduan menyeruak tanpa aba-aba memenuhi hatinya.

 Ia ingin pulang. Ia rindu. Namun, tak berdaya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan muda masuk dengan membawa sebuah nampan.

"Ini makan siang Anda, Nyonya."

"Tapi aku tidak minta makan siang," jawab Lena heran.

"Bukankah setiap siang, Anda selalu meminta ini? Saya hanya menjalankan perintah Anda sebelumnya." 

Lena tertegun. Sesaat ia lupa dengan sandiwaranya sendiri.

"Ya sudah, kamu boleh pergi."

Tanpa disuruh dua kali, si pelayan keluar dari kamar. Terlihat sekali wajahnya yang masam, tidak suka pada Lena.

Gadis itu menghela napas panjang. Bahkan para pelayan saja membencimu, Ven ….

Lenna mengamati makan siang saudaranya. Hanya segelas orange jus dan sepotong roti. Ia memakan roti itu dan meringis saat merasakan rasa hambar. Lalu diminumnya orange jus di depannya dan ia meringis lagi karena tidak ada rasa manis gula dalam jus itu. 

"Kamu diet ketat rupanya," gumam Lenna sambil menggelengkan kepala. 

Ia mengitari lagi ruang kamar Kaindra, kemudian membuka almari baju. Di sisi kiri terdapat baju-baju Vena, sedang di sisi kanan baju milik suaminya. Semua tertata rapi dan harum. Tidak ada lagi yang istemewa lagi di kamar itu kecuali hanya kemewahan. Almari penyimpanan semua sepatu milik Vena juga masih tertata rapi dan apik.

Ia mulai bosan berada di kamar ini. Ingin sekali keluar dan berjalan-jalan, tapi ia takut membuat kesalahan. Satu-satunya jalan untuk mengusir bosan adalah berdiri di balkon dan menatap taman yang menjadi satu dengan kebun di bawahnya. Aneka bunga menghiasai taman itu. Ada sebuah kolam renang yang cukup besar di sisi jalan setapak sebelum masuk ke dalam taman. Semua tampak asri dan indah. Pemandangan ini persis seperti drama televisi yang sering ia tonton. 

Lena mengulum senyum, karena tidak pernah menyangka bisa berada di atas balkon rumah mewah dan menikmati pemandangan indah di bawahnya.

Tanpa Lena tahu, ada sepasang mata sedang mengawasinya dari balkon sebuah kamar yang tidak jauh dari kamar Kaindra.

Matanya menyorot tajam pada Lena dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seringai muncul dari bibir tipisnya saat melihat Lena yang sedang tersenyum. Ia mengetuk-ngetuk jemari tangannya pada sebuah pembatas balkon, dengan masih menatap tajam pada gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status