"Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.
Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya.
"Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.
Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena.
"I-iya," jawabnya gugup.
Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.
Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua bicarakan. Mungkin di ruang makan itu hanya dirinya dan Elmer, yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menikmati makan malam mereka dalam diam.
Hujan di luar semakin deras dengan angin bertiup kencang. Namun, cuaca di luar tidak sedikit pun mempengaruhi keluarga milyader ini. Lena teringat akan rumahnya di Purworejo. Saat hujan seperti ini, pasti ada beberapa atap genteng yang bocor. Dan ia akan selalu menjerit ketakutan saat suara petir menyambar.
Saat-saat seperti itu, biasanya Arman akan menggodanya dengan suara bunyi-bunyian untuk menakuti adiknya. Apalagi jika listrik padam, maka Arman semakin senang menjahili Lena. Tiba-tiba saja matanya berkabut. Ada yang menusuk dalam relung hatinya.
"Vena … apakah jadi rencamu untuk mempunyai sebuah butik?" Tuan Dhanu tiba-tiba bertanya padanya yang seketika membuat ia terkejut dan gugup.
"I-iya. Gimana, Pi? Aku belum memikirkannya lagi." Wajah Lena pucat dengan pertanyaan Tuan Dhanu. Rasanya ia ingin berlari pergi dari meja makan, saat semua pasang mata menatapnya. Semua tertuju padanya, kecuali seseorang.
Elmer.
Pemuda itu masih saja tak acuh dan mengaduk minuman dengan sebuah pipet."Kamu bicarakan lagi dengan Kaindra nanti. Bukankah kamu ingin punya kesibukan, Nak?"
"Nanti kita bicarakan lagi, Pi. Lagipula itu masih sekedar wacana. Papi tenang saja," sahut Kaindra.
Lena menghela napas lega dengan jawaban pria itu. Bagaimana pun, ia tidak tahu sama sekali dengan rencana Vena tentang butik. Dan kemungkinan besar, Davin sendiri juga tidak mengetahuinya, karena kemarin Kakak sepupunya itu tidak menyebutkan sama sekali tentang rencana butik Vena.
"Baguslah, jika Papi memberikannya kesibukan. Jadi kerjaan dia ga cuma menghamburkan uang saja," sindir Electra dengan melirik sinis padanya.
"Tapi, sebuah butik juga menghabiskan biaya besar. Enak sekali jadi menantu di rumah ini," timpal Nyonya Merry terlihat sekali benci.
"Sudah-sudah. Kalau hanya untuk sebuah butik, dana yang dikeluarkan tidak seberapa. Kamu bisa memilikinya, Nak. Tinggal katakan saja pada Papi," ujar pria paruh baya itu tersenyum hangat.
Lena tersenyum dan mengangguk. Ia tidak tahu harus bicara apa.
Akhirnya acara makan malam yang begitu panjang dan melelahkan bagi Lena berakhir. Mereka semua meninggalkan meja makan. Begitupun dengan Lena. Namun, sesaat ia mulai teringat akan Kaindra yang tadi duduk disampingnya dan sekarang menghilang. Kemana laki-laki itu? Apakah sudah kembali ke kamar? Jika iya, apa yang akan ia lakukan?
Lena merasa gamang dan takut. Apa kebiasaan Vena saat berada dalam kamar bersama suaminya? Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya.Saat perasaan was-was seperti itu, tiba-tiba Kaindra muncul dari belakangnya dengan berdehem keras membuat Lena terlonjak kaget.
Setelah membuat kaget gadis itu Kaindra berjalan mendahului Lena dengan tak acuh menuju kamar dengan cepat hingga membuat gadis itu tertegun. Di luar hujan deras masih turun disertai petir yang menggelegar.
Merasa tidak ada pilihan, akhirnya Alena memutuskan masuk ke dalam kamar dengan gugup dan cemas. Terlihat Kaindra sedang melepas celana dan pakaiannya. Lena tertegun dan segera memutar tubuhnya mencari kesibukan dengan membenarkan letak sprei pada ranjang agat tidak melihat tubuh kakak iparnya.
Kaindra tak acuh pada Lena dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu menarik napas lega. Setidaknya Kai bersikap datar padanya untuk saat ini. Ia duduk di tepi ranjang dan tiba-tiba terlonjak kaget saat menyadari harus tidur di mana nanti. Ia bergidik ngeri saat membayangkan harus tidur satu ranjang dengan Kakak iparnya. Bagaimana jika nanti Kai mulai nakal seperti cerita novel dewasa yang pernah ia baca?
Bagaimana jika nanti Kakak iparnya itu meminta 'jatah' karena mengira ia adalah Vena?Gadis itu mulai panik. Ia berjalan mondar-mandir dengan kalut hingga tidak menyadari jika Kai sudah berdiri dihadapannya dan memperhatikan sikapnya.
Bug!
Tiba-tiba tidak sengaja, Lena menabrak tubuh Kaindra yang berdiri dengan dingin. Sepersekian detik mata mereka saling menatap, hingga kemudian Lena memalingkan wajahnya melihat Kai yang bertelanjang dada dan hanya memakai handuk, yang menutupi hanya bagian bawah pria itu.
"Kamu takut melihat tubuhku karena di Perancis sana banyak lelaki muda yang lebih sexy dariku?" Kaindra menatapnya tajam. Raut wajahnya dingin seperti gumpalan es.
"Ti-tidak." Lena tergagap dan mencoba membalas tatapannya. Namun, hatinya mencelos dan bergetar melihat manik mata Kai yang dingin dan dalam. Ia menundukkan kepala, lalu bersiap pergi untuk menghindar dari tatapan menusuk Kai.Namun, tiba-tiba Kai menarik lengan Lena kemudian mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat.Lena tersentak dan merintih karena merasa terkejut juga sakit."Le-lepaskan. Sakit ....""Siapa kamu?!" Suara Kai yang tajam mendesis membuat bulu kuduk Alena meremang.Gadis itu ketakutan setengah mati, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. "Aku istrimu, siapa lagi?" jawabnya dengan suara serak, seakan menantang.Kaindra tertawa sinis. Ia melepaskan cengkramannya kemudian membopong tubuh Lena dan melemparnya di ranjang dengan kasar. Lena terhempas. Ia menelan ludah saat melihat seringai mengerikan dari bibir tipis laki-laki itu."Siapa kamu!" Suara Kai bagaikan seorang algojo yan
Malam semakin pekat, hawa dingin mulai terasa menusuk. Hujan sudah mulai reda meski rintiknya masih bernyanyi sahdu di atas muka bumi.Alena masih meringkuk di pembaringan meski sedu sedannya telah berhenti dan akhirnya ketiduran karena lelah menangis.Kaindra memasuki kamar dan melihat gadis itu meringkuk masih dengan posisi saat ia tinggalkan tadi. Lelaki itu mendekatinya, menyibak sedikit rambut yang menutupi wajahnya.Keningnya berkerut karena wajah gadis yang tertidur ini sangat mirip dengan Vena, bahkan tanpa cela. Apa yang membuatnya mau berpura-pura menjadi istrinya, itu yang harus diketahui oleh Kai. Dan di mana Vena sesungguhnya berada, ia belum menemukan titik terang, meski sebenarnya ia tak peduli.'Apakah Vena sebenarnya memiliki kembaran? Tapi, dimana selama ini gadis itu berada? Jika benar, dia adalah kembaran Vena, kenapa Seno menyembunyikan nya selama ini?' lirih batin Kai sangat penasaran.Kai mengambil
Elmer tertawa datar, "dan kamu juga tahu, di rumah ini tidak akan pernah ada yang namanya mie instan, karena Mami melarangnya," sahutnya lagi dengan dingin.Lena tertegun lagi dan salah tingkah. Ternyata Davin tidak mengatakan tentang dilarangnya mie instan di rumah ini. Jika ia bersikap seperti ini, maka Elmer bisa curiga padanya. Mungkin lebih baik jika ia kembali ke kamar dan melupakan rasa laparnya."Tapi itu tidak berlaku untukku. Karena di kamarku banyak tersedia mie instan. Kamu bebas memakannya. Itupun ... jika kamu bersedia." Elmer menatap dalam manik mata Lena. Gadis itu gugup dan hanya terdiam tidak tahu harus menjawab apa."Well … terserah kalau kamu mau kelaparan juga kedinginan dengan tetap berdiri di sini." Kemudian Elmer beranjak pergi dari dapur. Sedangkan Lena merasa gamang harus mengikuti lelaki itu, atau kembali ke kamar dengan Kai yang tidur meringkuk di atas sofa.Seperti tidak ada pilihan lagi, akhirnya Lena men
Kaindra menggeliat dan menyipitkan mata saat sinar mentari masuk melalui celah tirai yang sedikit tersingkap. Ia mengusap mata dan berdecih lirih. Pandangannya beralih pada selimut yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tadi malam sama sekali tidak membawa selimut. Kemudian ia beringsut duduk dan memandang ranjang yang sudah kosong dan rapi. Kemana gadis itu?Kai berdiri dan beranjak masuk untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Saat keluar dan mengenakan jas-nya, gadis yang menyerupai istrinya itu tetap tak terlihat.Setelah rapi dan sempurna, ia turun ke bawah menuju meja makan. Di bawah hanya ada Elmer adiknya yang sedang menikmati roti panggang dan segelas orange jus.Kai duduk di depannya dan meminum segelas susu hangat. Mereka saling tak acuh dan tak peduli. Seperti ada jarak di antara mereka. Hingga lelaki itu menyelesaikan sarapannya, tidak juga ia melihat gadis itu."Reta, dimana Vena?" tanya Kai pada kepala pelayann
Laki-laki kekar dengan wajah garang itu mengangguk patuh."Baik, Tuan. Tapi Tuan muda Elmer selama ini masih baik-baik saja. Belum ada tanda-tanda darinya untuk melakukannya lagi.""Tapi kamu harus tetap waspada. Bisa sewaktu-waktu Elmer kambuh dan membahayakan orang lain. Anak itu …." Tuan Dhanu terdiam. Terlihat sekali wajah tuanya yang menampakkan kesedihan saat memikirkan putra bungsunya."Tuan tidak usah banyak berpikir. Saya yang akan membereskan semuanya, dengan tetap melindungi Tuan muda Elmer seperti biasanya." Jimmy mencoba menenangkan Tuannya."Semua salahku. Seandainya saat itu, aku tidak membawa Elmer kecil, mungkin ….""Semua sudah terjadi, Tuan. Dan Anda tidak bisa membalikkan keadaan. Yang perlu kita perhatikan saat ini adalah membuat Tuan Elmer tetap menjadi dirinya yang sekarang."Tuan Dhanu tersenyum hangat pada Jimmy. "Itu yang aku suka darimu. Pikiranmu terkadang melebihiku yang suda
Elmer menyeringai. "Aku suka gadis gigih seperti kamu. Tidak murahan seperti Kakakmu," ucapnya parau dengan terus mendekatinya dan menempatkan tubuh sispax nya tepat di atas Lena yang ketakutan."Aku mohon, Elmer ... jangan ganggu aku," lirih Lena dengan deraian air mata.Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. "Tidak akan ada yang tahu, jika kita melakukan sesuatu, Kakak ipar palsuku. Tapi ... oke, jika itu permintaanmu. Kali ini, aku akan pergi. Tapi aku tidak akan berjanji untuk lain kali." Suaranya mendesis membuat bulu kuduk Lena kembali meremang.Elmer akan beranjak pergi, saat dia menoleh kembali pada gadis itu. "Vena tidak pernah menyukai bunga. Apa yang kamu lakukan di taman tadi adalah suatu kebodohan," desisnya lagi dengan wajah datar dan dingin, kemudian meninggalkan Lena yang duduk terpekur di atas ranjang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.Ia bernapas lega setelah Elmer keluar dari kamar itu. Diusapnya kasar air mata yang melel
Davin terpekur di atas ranjang. Ia berbaring dengan posisi miring dengan jemari tangannya menggambar sesuatu pada kain sprei. Terdengar sebuah nyanyian senandung dari bibirnya. Matanya basah dengan wajahnya sendu."Ma … mama … pulang, ma …," gumaman lirih terdengar dari isakannya.Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncul Seno. Davin tergagap dan langsung menghapus air matanya. Namun, terlambat. Sang Ayah terlanjur mengetahui tangis putranya."Bangun!" perintah Seno dengan wajah murka.Davin bangun dari posisinya, lalu berdiri di depan Ayahnya dengan gugup. Pemuda itu gemetar ketakutan."Sudah berapa kali papa bilang? Kamu laki-laki. Kenapa cengeng seperti perempuan?!" teriak Seno gusar.Davin hanya diam tak menjawab. Bahkan kepalanya menunduk karena takut. Kakinya terasa lemas, karena tahu, sang Papa akan berbuat kasar lagi padanya."Angkat dagumu!" perintah Seno, tapi Davin tetap diam me
Pria itu terkejut dan mengerutkan kening. "Ma-maksudku ... aku baru malas untuk membawa mobil sendiri," ujar Lena cepat agar pria itu tidak curiga. "Ooh ... baik, Nyonya. Saya akan membereskan ini sebentar, apakah Anda mau menunggu?" tanya pria itu sopan dan Lena hanya mengangguk. Tidak berapa lama, mobil meluncur pergi dari kediaman keluarga Mahendra. Lena termenung menatap luar jendela. Beberapa kali pria itu meliriknya dari spion. Sejak awal, ia sudah merasa heran karena sang Nyonya rumah yang biasanya kemanapun pergi selalu membawa mobil sendiri, tapi pagi ini, ia meminta untuk mengantarnya. Dan juga penampilannya beda dari sebelumnya, yang selalu angkuh dengan dandanan mewah juga makeup tebal. Tapi pagi ini, istri Tuan Kai tampak sangat sederhana. "Kita mau kemana, Nyonya?" Pertanyaan pria itu membuyarkan lamunan Lena. "Eh ... aku mau ke rumah Papa. Kamu tahu jalannya 'kan?" Pria itu mengangguk dan segera