Empat tahun kemudian."Ah … terimakasih. Ini bagus sekali. Tidak menyangka bertemu dengan orang Indonesia yang menjadi seniman jalanan." Seorang gadis tertawa senang melihat hasil lukisan dengan latar menara Eiffel.Gadis itu menyodorkan selembar uang kertas euro, namun ditolak oleh pria itu. "Tidak. Terimakasih. Itu untuk kenang-kenangan kamu saja," balasnya datar tanpa senyum."Oke, tampan. Siapa namamu? Kelak kita akan ketemu di Indonesia."Pria itu hanya diam sambil sibuk membereskan peralatan gambarnya lalu pergi sengan tak acuh membuat dua gadis yang baru saja di lukisnya termangu.Ia berjalan dengan menenteng kotak peralatan gambar menuju ke sebuah apartemen. Ia masuk ke sebuah lift dan naik ke dalam.Tidak berapa lama, ia membuka sebuah pintu dan yang terhidu hidungnya pertama adalah bau telur goreng."Pas sekali Tuan pulang saat makan siang," teriak Randy."Apa kamu tidak bisa memasak selain telur?" ketusnya sambil menyeduh secangkir cappucino.Randy tertawa kecil dan menghi
Langit sepekat jelaga dengan suara guntur yang menggelegar. Sesosok pria berlari terseok dibawah guyuran air hujan yang sangat deras. Ia berhenti berlari dengan badan membungkuk dan napas terengah. Berkali, diusapnya dengan kasar wajah dan kepala yang basah oleh air hujan.Bahkan air matanya yang luruh dengan deras tak terlihat karena tersamar oleh derasnya air yang turun dari langit siang itu.Dari arah belakang, sebuah mobil meluncur dengan kecepatan tinggi dan berhenti tepat dihadapan lelaki muda yang akhirnya memutuskan meluruhkan tubuhnya di tanah. Pintu mobil terbuka dan keluarlah seorang gadis cantik nan seksi. Ia menghampiri lelaki itu dengan menarik kasar lengannya."Bangun, Angga! Jangan jadi pengecut!" teriaknya di antara desau angin dan suara air yang seperti tumpah dari langit.Lelaki muda itu menatapnya dengan nanar. Matanya yang merah dengan wajah sendu, membuat si wanita semakin muak."Jika kau tetap se
Malam yang cerah dengan kemerlip bintang menghiasi angkasa. Terlihat dua orang pria sedang duduk santai di pinggir kolam renang dengan menyesap minuman masing-masing."Sudah hampir satu minggu, istrimu menghilang. Tidakkah kamu merasa cemas, Nak?" Sorot hangat itu menatap Kaindra sambil menyesap teh hangat.Terdengar desahan kasar dari pria yang duduk berhadapan dengan sang Ayah itu. "Aku sudah melaporkan pada pihak berwajib, Pi. Dan aku juga sudah mencarinya. Tapi, Vena seperti hilang ditelan bumi."Tuan Mehendra terkekeh, "bagaimana bisa seorang gadis bisa hilang ditelan bumi?""Mungkin saja ada makhluk halus yang menculiknya. Siapa tahu 'kan?" sahut Kai tak acuh.
Alena memandang rumah berwarna biru laut dengan pekarangan luas dihadapannya. Dia baru saja turun dari becak yang mengantarnya dari stasiun.Tampak senyum di wajahnya yang manis dan teduh. Mengingat kenangan masa kecilnya di rumah ini. Sudah dua tahun, ia tidak pulang. Dan tiga hari yang lalu, Ayahnya menyuruh pulang karena ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan.Selama ini, Alena merantau bekerja di luar pulau. Ia ikut keluarga bibinya di Kalimantan, dan bekerja menjadi staff administrasi sebuah perusahaan tambang batu bara.Gadis itu membuka pagar hitam yang tidak terlalu tinggi dan memasuki pekarangan."Lena ... kok nggak telepon dulu kalau sudah sampai, 'kan bisa dijemput Ayah?"Seorang wanita setengah baya muncul dari pintu dan menghampirinya dengan tergopoh.Gadis muda itu tersenyum dan segera memeluk sang wanita."Nggak jauh juga jarak stasiun ke rumah, Bu. Tadi begitu sampai bandar
Mobil Kijang biru tua yang dikemudikan Lek Dirman merayap menembus malam pekat dan kabut yang dingin keluar dari kota Purworejo menuju arah timur.Pak Bima sudah bertekad akan pergi sejauh mungkin agar Seno tidak bisa menemukan mereka. Terutama Alena, gadis itu harus disembunyikan.Di bagian bangku jok belakang, Alena dan Ibunya duduk meringkuk berpelukan. Sedang Arman duduk sendiri di bangku tengah dengan pandangan kosong melihat pemandangan luar yang gelap dan penuh kabut.Pukul tiga pagi kendaraan mereka memasuki kota Yogyakarta. Masuk kota ini, jalan sudah mulai ada aktifitas meski masih pagi buta.Bima memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil membeli sarapan nasi gudeg. Mereka duduk berjejer sambil menikmati suasana jalan raya yang masih lengang.Tidak ada tawa maupun senda gurau antara mereka. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kesedihan karena harus meninggalkan rumah yang sud
Orang-orang mulai berdatangan dan menolong mereka dengan melepas ikatan tangan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian ambulans datang membawa Arman juga Ibunya. Sedangkan Dirman tetap berada di sana menunggu mobil derek tiba untuk menarik mobil tua itu. Bagaimanapun, sawah itu milik orang lain dan keluarga Bima harus bertanggungjawab dengan kerusakan yang terjadi.Marini, ibu Lena histeris memanggil-manggil putrinya saat sadar, hingga para perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk menenangkannya. Sedang Arman harus menjalani operasi tangan kirinya yang patah akibat di tendang dengan keras berkali-kali.Bima mengusap rambut Marini--istrinya dengan sendu. Wanita itu diam tertidur karena pengaruh suntikan dari perawat. Pria itu menyeka sisa lelehan air mata di pipi istrinya."Bu ... bagaimana caraku untuk menyelamatkan Lena? Kenapa nasib keluarga kita jadi seperti ini? Kita sudah kehilangan Vena, bahkan sebelum dia gena
"Kenapa malah bengong?" Pertanyaan Davin membuat gadis itu tersentak. Ia segera menundukkan wajahnya.Lelaki muda itu terkekeh kecil, "kamu masih takut? Baiklah kita keluar dari sini."Davin menarik tangan Alena dan menggandengnya keluar dari gudang itu. Sampai di luar ternyata sudah malam. Beberapa orang yang menghajar keluarganya tadi pagi tampak berjaga di luar. Lena beringsut bersembunyi dibalik punggung Davin."Kenapa kalian menempatkannya di gudang busuk itu?" hardik Davin."Perintah Tuan besar," ucap si brewok, salah satu pengawal.Davin mendesah kasar lalu membimbing tangan Lena yang masih ketakutan melihat mereka.Mereka menundukkan kepala ketika Davin dan Alena melewatinya.Salah seorang membukakan pintu sebuah mobil mewah warna hitam metalik untuk mereka berdua."Kamu suka makan apa, Lena?" tanya Davin tiba-tiba dan membuat gadis itu gelagapan."M-m ... apa aja, Kak."
"Ajak dia masuk ke dalam kamar Vena dan ajarkan semua kebiasaan anak itu selama ini," perintah Seno pada Davin."Baik, Pa. Ayo Lena," ajak Davin dengan segera masuk ke dalam sebuah kamar.Lagi-lagi gadis itu dibuat takjub dengan isi kamar Vena, saudara kembarnya. Kamar ini besar, tiga kali lebih besar dari kamarnya dan juga sangat mewah. Kamar bernuansa abu muda ini menambah kesan pemiliknya adalah seorang gadis bercita rasa tinggi.Davin membuka almari baju serta sepatu milik Vena. Ia menjelaskan satu-persatu baju dan sepatu yang disukai Vena dan menyuruh Lena untuk mencoba memakainya.Awalnya Lena ragu untuk mencoba baju milik kembarannya, karena semua baju miliknya sexy dengan lekuk tubuh menggoda. Namun Davin mencoba terus dan berusaha meyakinkannya.Lena keluar dari kamar mandi dengan malu, menggunakan sebuah dres selutut yang menampilkan lekuk tubuh. Davin tertegun melihatnya. Lena benar-benar sempurna sebagai seorang wanita, ti