Bagian 3
Tanganku semakin tremor usai menampar wajah Mas Zaki. Pria itu terhenyak dan bergeming selepas mendapatkan pukulan dariku. Untuk beberapa detik, kami saling membisu dengan perasaan masing-masing. Aku dengan ketakutan dan hati yang makin sakit, Mas Zaki dengan entah apa yang dia sembunyikan dalam kalbunya. Yang jelas, pria itu seperti tersentak tak percaya dengan sikapku yang begitu agresif kali ini.
Mas Zaki akhirnya pergi meninggalkanku sendirian di kamar lagi. Kali ini lebih lama. Setelah berjam-jam, dia bahkan tak masuk meski suara isak tangisku terdengar keras dari dalam sini. Entah ke mana perginya suamiku. Bahkan dia tak mengucapkan sepatah kata pun saat berlalu. Marahkah dia dengan tamparanku tadi?
Memang, aku rasanya sedikit menyesal karena telah melakukannya pada Mas Zaki. Namun, seharusnya sebagai laki-laki Mas Zakilah yang meminta maaf sebab ucapannya sudah begitu keterlaluan. Habis-habisan aku dikata-katai olehnya hanya karena kesalahan Ibun yang jelas-jelas memulai pertengkaran terlebih dulu. Memangnya, siapa yang rela dikatai mandul oleh suami sendiri?
Semalaman itu aku hanya meringkuk sedih dengan mata yang bengkak. Kekesalanku luar biasa memuncak. Sakit hatiku apalagi. Kuhabiskan malam dengan menangis dan menangis. Tak ada Mas Zaki di sampingku. Tak ada juga chat minta maaf darinya. Malahan, saat aku membuka story W******p di tengah malam buta, status dari Mbak Lala muncul. Isinya sindiran yang jelas sekali ditujukan padaku.
[Nggak nyangka oh, nggak nyangka. Kupikir solehah, ternyata as* juga!]
Aku hanya bisa beristighfar. Astaghfirullah. As* katanya? Apakah dia harus mengataiku binatang segala hanya karena masalah yang dia sendiri mungkin tak tahu jelas akar penyebabnya.
Gatal tanganku ingin membalas status itu, tetapi kutahan sebab takutnya dia akan mengelak bila kutanyai. Dia pasti akan berkilah bahwa aku telah ke-GR-an karena menyangka status itu buatku. Namun, mengapa dia menuliskan sumpah serapah bertepatan dengan saat aku bertengkar dengan Mas Zaki?
Ketika kugeser lagi ke status yang lainnya, ternyata ada pula status dari Anita yang malah sudah diposting sekitar tiga puluh menit lalu. Isinya setali tiga uang. Mirip-mirip walau tak sekasar Mbak Lala.
[Sabar. Semua akan terkuak pada waktunya. Apa kubilang. Yang kelihatannya sok tulus, ternyata selama ini cuma modus.]
Sambil menahan sesak di dada, aku pun hanya bisa meneteskan air mata. Kuingat-ingat kembali, dari segi mananya aku terlihat sok solehah, sok tulus, dan selama ini hanya modus? Dari sisi mananya?! Apakah karena aku bersikap baik kepada mereka, malah dibilang sok tulus? Hanya karena aku membalas tak bisa memberikan uang dua juta pada Ibun, lantas mereka bebas mengataiku as* dan modus?
Ya Allah, kejamnya ipar-parku. Kukira baik, ternyata hanya intrik. Kupikir peduli, ternyata bisanya mencaci maki tanpa konfirmasi. Baiklah Mas Zaki. Mungkin, akan usai rumah tangga ini hanya karena dua juta yang tak bisa kubagi. Padahal, aku tahu pasti bila uangmu di ATM hanyalah tinggal berapa puluh ribu saja setelah dipakai untuk membayar rumah dan beli bensin kendaraan. Tak apa. Mungkin dari sini, akan ada hikmah besar yang bisa kupetik.
***
Pagi-pagi sekali aku bangun dalam keadaan kepala pening dan mata yang bengkak. Aku kaget ketika melihat sosok Mas Zaki sedang terlelap di samping. Lelaki itu sedang tidur dan tiba-tiba menggeliat ketika aku turun dari ranjang.
“Venda, kamu sudah bangun?” Mas Zaki terbangun dari tidurnya. Lelaki itu mengucek-ngucek mata dan melempar pandang ke arahku sembari menyipitkan mata. Aku hanya diam. Berlalu begitu saja menuju lemari pakaian yang berada di depan sana.
Mas Zaki tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang. Seperti tak berdosa dia melakukannya. Pelukan itu makin erat tatkalah aku menepis tangannya dari pinggang.
“Aku minta maaf,” ucapnya manis dengan suara pelan.
Semudah itu? Setelah apa yang dia dan keluarganya lakukan padaku? Oh, Tuhan. Apakah aku memang bukan seorang wanita yang patut dihargai perasaannya?
“Tidak perlu. Kamu tidak salah. Aku akan pergi dari rumah ini,” sahutku sinis.
“Ini rumahmu, Ven. Rumah kita berdua. Tidak ada yang boleh pergi dari sini. Aku minta maaf karena sudah membuatmu sakit hati. Kita berbaikan, ya? Anggap saja masalah semalam tidak pernah terjadi.”
Kutelan liur yang terasa begitu pahit di kerongkongan. Semudah itu dia berucap. Seperti tak ada beban sedikit pun baginya.
Maaf, Mas. Kupikir, inilah kali pertama dan terakhir kalian bisa menginjakku. Aku memang tampak lemah di matamu. Namun, semua kulakukan hanya semata-mata karena aku mencintai dan menghormati. Kali ini tak bisa lagi. Bagaikan gelas pecah, mustahil untuk kembali bersatu seutuh masa lalu. Hubungan kita telah hancur. Sehancur hatiku kala kau katai mandul.
“Perempuan mandul tidak akan bisa membahagiakanmu. Membiayaiku pun akan membuat baktimu luntur pada Ibun. Baiknya kita pisah saja!”
Bagian 4 “Ven, aku minta maaf. Sumpah demi Allah, aku tidak bermaksud untuk ngomong begitu ke kamu. Aku khilaf, Ven!” Glek! Demi Allah, katanya. Bayangkan, dia rela menggadaikan nama Tuhan demi menyelamatkan diri. Suamiku, di mana dirimu yang dahulu kukenal? Mengapa dalam semalam saja kamu bisa berubah sedrastis ini? Inikah wujud asli yang selama kita saling kenal susah payah kau sembunyikan? “Cukup, Mas! Kamu bermaksud begitu pun aku tidak apa-apa, kok! Semuanya sudah jelas. Mulai dari sikap Ibun yang selama ini hanya palsu, kakak dan adikmu yang kukira baik pun ikut-ikutan mencaci makiku lewat status WA, dan sifat aslimu yang kasar pun akhirnya juga ikut terkuak!” Mas Zaki sontak melepaskan pelukan era
Bagian 5 “Ven … kamu dengar kan, ucapan Ibun?” Mas Zaki bertanya dengan mata yang masih berlinang dan bibir gemetar. Pria itu mengacungkan ponselnya ke arahku, tetapi aku bergeming. Diam saja sembari bersedekap acuh tak acuh. Tak akan aku percaya lagi. Sudah cukup. Aku tak sebodoh yang kalian pikir. “Zak, Ibun ke sana, ya? Ibun bawa mbakmu sekalian. Supaya semuanya jelas. Ibun nggak mau Venda salah paham. Ibun inginnya kalian akur sampai maut memisahkan.” Omong kosong! Statusmu jelas-jelas ingin menghancurkan rumah tangga kami. Mengapa tiba-tiba jadi berlagak pilon dan bersikap selayaknya malaikat begini? “Iya, Bun. Zaki dan Venda tunggu di rumah. Ibun sama Mbak Lala hati-hati, ya. Maaf, jad
Bagian 6 “Alrik?” lirihku dengan gerak tubuh yang canggung. “Sudah lama sekali!” Lelaki itu berseru dengan binar mata yang tak percaya. Kenapa harus bertemu dengan dia di saat begini, sih? Bikin moodku semakin payah saja! “Iya, sudah lama. Silakan duduk.” Tawarku kagok. Pria berkulit putih bersih dengan tubuh yang atletis itu pun mengangguk. Senyumannya tampak lebar sekali, hingga geligi rapinya terlihat. Mau tak mau, aku yang belum mandi dan bau asem ini harus duduk berhadapan dengan seorang pria klimis metroseksual yang bahkan harumnya bisa tercium dari jarak beberapa meter. Astaga, betapa doublenya kesialanku hari ini. “Kenapa tidak pernah muncul di grup SMP? Aku cari-cari namamu pun tidak ada d
BAGIAN 7 Main rapi, Ven, main cantik! Jangan gegabah, jangan grasa-grusu. Santai, tenang, jangan mudah tersulut emosi. Begitulah kalimat-kalimat afirmasi positif yang kuucap dalam batin. Melawan orang munafik berkepala dua, haruslah hati-hati. Aku tidak boleh salah langkah. Sedikit saja terpeleset, akulah yang jadi mangsa mereka. “Aku di luar,” sahutku santai pada Ibun meski hati ini seperti sedang dikruwes-kruwes dengan garpu. Awas kau nenek lampir. Suatu hari nanti, pasti akan kena batunya juga. “Di luar mana, Sayang? Pulang ke rumah suamimu dulu, ya? kita harus bicarakan baik-baik semuanya—” Agak panas hatiku, la
BAGIAN 8 “Venda, Ibun minta maaf, Nak! Ibun yang salah. Kamu jangan mendiamkan kami begini seolah masalah kita tidak bisa diperbaiki!” Aku yang baru saja tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ditarik pelan tanganku oleh Ibun. Perempuan paruh baya yang masih terlihat aura kecantikannya itu ternyata menyusulku dari belakang. Kutengok lagi ke depan sana, ada Mas Zaki yang mencoba menahan Mbak Lala supaya tidak mendekat ke arah kami. Mbak Lala yang berapi-api. Dia seakan ingin meledak melihat kelakuanku. Kenapa juga dia yang kebakaran jenggot? “Bun, sudahlah! Ayo, kita pulang! Venda nggak bisa menghargai Ibun!” pekik Mbak Lala sambil sekuat tenaga berusaha menepis genggaman erat di tangannya. Mas
BAGIAN 9POV AUTHOR “Keterlaluan Venda! Bisa-bisanya dia sekasar itu! Di mana rasa takut dan patuhnya? Siapa yang sudah merasukinya sampai berubah begini?” Zaki sibuk bertanya-tanya dengan gumaman ketika dia keluar dari kamar. Pipinya terasa begitu perih usai ditampar oleh sang istri untuk pertama kalinya. Venda yang selama ini dipandangnya sebagai wanita lugu, ternyata diam-diam menyimpan kebuasan. Zaki tentu terperanjat dan kaget. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Dia mulai resah sekarang. Jangan-jangan, Venda akan berani meninggalkannya kelak? Dia tak yakin apakah bisa hidup apabila tanpa wanita royal pemurah itu. Sedangkan, tuntutan hidupnya sangat tinggi. Lebih tepatnya, tuntutan dari Ibun. Pria berkulit eksotis dengan tampang yang lumayan itu berjalan gusar menuju teras. Dia
BAGIAN 10POV AUTHOR Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda. [Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.] Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?&nb
BAGIAN 11 “Maafkan kami, Ven. Ampuni kesalahanku dan Ibun. Aku mohon.” Mas Zaki terus memohon. Bahkan matanya kulihat kini melinangkan air mata yang tak sedikit. Dua tangan kekarnya memagut pelan lututku. Membuatku semakin gerah dengan sandiwara tak bermutu mereka. “Cukup! Hentikan tingkah konyol ini!” Aku menjerit. Habis sudah sabarku. Ibun dan Mas Zaki akhirnya kompak berdiri. Keduanya sama-sama menghapus air mata dengan jemari, lalu menatapku dengan ekspresi yang takut-takut. “Mas, Bun, sudahlah. Hentikan tangisan kalian berdua. Kita anggap semua masalah ini selesai,” kataku sambil menahan gejolak di dalam