Share

4

Bagian 4

            “Ven, aku minta maaf. Sumpah demi Allah, aku tidak bermaksud untuk ngomong begitu ke kamu. Aku khilaf, Ven!”

          Glek! Demi Allah, katanya. Bayangkan, dia rela menggadaikan nama Tuhan demi menyelamatkan diri. Suamiku, di mana dirimu yang dahulu kukenal? Mengapa dalam semalam saja kamu bisa berubah sedrastis ini? Inikah wujud asli yang selama kita saling kenal susah payah kau sembunyikan?

“Cukup, Mas! Kamu bermaksud begitu pun aku tidak apa-apa, kok! Semuanya sudah jelas. Mulai dari sikap Ibun yang selama ini hanya palsu, kakak dan adikmu yang kukira baik pun ikut-ikutan mencaci makiku lewat status W*, dan sifat aslimu yang kasar pun akhirnya juga ikut terkuak!”

          Mas Zaki sontak melepaskan pelukan eratnya. Pria itu pindah ke hadapanku. Menggenggam kedua tangan ini sambil menatap dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bergidik. Apalagi alasan yang mau dia katakan?

          “Mbak Lala dan Anita salah apa denganmu, Ven? Mereka tidak tahu apa-apa. Mengapa kamu sangkut pautkan dengan masalah ini?” Suara Mas Zaki bergetar. Seperti mau menangis.

          “Kamu baca sendiri saja status mereka apa! Mengataiku as*, sok solehah, modus! Ya Allah, Mas, omong kosong kalau mereka tidak tahu! Kamu pasti sudah memberi tahu Ibun kalau aku yang membalas pesan itu, kan? Karena kamu takut membuat ibunmu marah!” bentakku dengan lutut yang lemas kembali. Tak bisa rasanya aku terus-terusan berteriak begini. Bukan Venda jika menyelesaikan masalah dengan urat. Namun, instingku yang reflek bekerja. Aku ogah untuk diinjak-injak lagi. Terlebih bila oleh Mas Zaki dan keluarganya.

          “Ya Allah, Ven. Itu bukan untukmu! Aku bisa jamin itu bukan untukmu, Sayang. Demi Allah, aku tidak memberi tahu pada Ibun kalau kamu yang balas. Ibun tahunya aku, Ven. Aku mohon, kamu jangan ceraikan aku. Aku nggak bisa hidup kalau tanpa kamu. Demi Allah aku nggak bisa!” Mas Zaki berurai air mata. Dia tiba-tiba sesegukan. Bahu bidangnya langsung berguncang. Pria tinggi itu pun memelukku erat, seerat simpul perkawinan yang dulunya pernah mengikat hati kami. Namun, sekarang berbeda. Perlahan telah kulepas ikatan itu. Ingin kularung segala perasaan yang pernah ada ke samudera luas dan melupakannya.

          “Tidak. Tidak bisa. Hatiku sakit sekali dengan ucapanmu semalam. Ucapanmu sangat kasar dan di luar nalar. Bahkan belum ada satu dokter pun yang kita temui untuk mencari tahu sebab mengapa aku belum juga kunjung hamil. Bisa saja kamu yang mandul, seperti kakakmu yang mulutnya kasar seperti rombengan!”

          Sebenarnya, tak ingin aku mengucapkan kalimat ini. Kata-kata yang selalu kuhindari adalah mencela Mas Zaki apalagi keluarga besarnya. Akan tetapi, sekali lagi sabarku ada batasnya. Kalau dia bisa mengataiku mandul, mengapa aku tak bisa membalikkan kata-kata itu padanya? Lupakah dia bahwa Mbak Lala sendiri sudah menikah tiga tahun lamanya dan belum juga dikaruniai buah hati? Apakah suamiku lupa berkaca?

          “Aku tahu! Aku tahu itu, Ven. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang mandul, bukan kamu!” Mas Zaki semakin tersedu-sedu. Tangisnya terdengar begitu pilu. Habis sudah pundakku dijadikannya sandaran untuk mencucurkan air mata. Namun, sayang. Hatiku serasa telah mati membeku. Tak sedikit pun kutaruh iba padanya.

          “Kenapa tidak mau bercerai saja? Kamu bisa cari yang lebih baik dariku.”

          “Tidak, Ven. Kamu yang terbaik! Tolong aku, Sayang. Jangan tinggalkan aku!” Mas Zaki melorot. Dia memeluk kakiku dan menciumi betis ini dengan mulut serta hidungnya yang basah. Aku langsung menepisnya. Memaksa agar dia melepaskan tarikan itu. Akan tetapi, Mas Zaki bersikukuh untuk terus mencium kakiku.

          “Kamu tidak boleh pergi, Ven. Apa pun akan kulakukan supaya kamu tetap menjadi istriku. Aku akan memperbaiki semuanya. Tolong kasih aku kesempatan kedua. Tolong!” Lolongan lirihnya malah membuat hatiku tercabik-cabik. Kecewaku telah menganga lebar lebih dari lubang hasil pengeboman. Dia tak tahu bila kata-katanya mampu membuatku patah bagai arang yang rapuh. Jahat kamu, Mas. Kamu hancurkan perasaanku, lalu kamu mohon untuk memperbaikinya. Tidak semudah itu bagiku untuk menerima permohonan kembalimu.

          “Keluarlah dari rumah ini. Rumah ini kita beli atas namaku. Akan kubayar uang yang telah kamu keluarkan kemarin-kemarin untuk rumah ini. Kuganti semuanya!” Teriakanku tak membuat Mas Zaki bergeming. Nyatanya, dia terus menggigil tergugu sambil memagut kedua betisku. Aku gerah. Mengapa seorang lelaki harus memohon dengan cara serendah ini? Di mana kehebatannya yang sanggup membuatku bergetar saat dia marah kemarin sore?

          “Tidak, Ven. Aku tidak mau. Aku sayang padamu. Aku lebih baik mati saja supaya kamu puas!”

          Mati saja kamu, pikirku. Omong kosong! Bisanya hanya menggertak sambal saja. Nyatanya, pria itu masih saja menangis dan tak beranjak sedikit pun dari jongkoknya. Kalau memang berniat mati, bukankah seharusnya dia mengambil benda-benda tajam di dapur sana?

          “Venda, ayolah. Maafkan aku, Ven.”

          Aku diam. Buat apa menjawab. Sebentar lagi akan kutelepon satpam. Supaya dia diusir dari sini. Lihat saja, aku bisa nekat!

          “Kamu tidak mau memaafkanku, Ven? Tidak mau?” tanyanya sambil mendongak ke arahku.

          “Tidak. Kenapa memangnya? Silakan bunuh dirimu sesuai apa yang kamu ucapkan tadi!” kataku acuh tak acuh.

          Mas Zaki malah mencebik. Bangkit dari jongkoknya dan merogoh saku celana pendek yang dia kenakan. Dari sana keluarlah ponsel miliknya yang menjadi awal petaka pertengkaran kami. Lelaki itu terlihat mengusap dan memencet layar ponselnya dengan gerakan cepat. Tak lama, terdengar suara tut yang sengaja dia loudspeaker. Siapa lagi yang dia telepon? Banyak sekali tingkah suamiku! Banyak drama!

          “Halo, Nak. Ada apa?” Lembut sekali suara itu menyapa. Aku kaget. Syok. Itu adalah suara Ibun. Halus sekali kedengarannya. Seperti tak habis terjadi apa-apa. Astaga, drama macam apa ini?

          “Ibun … tolong Zaki, Bun. Tolong. Venda salah paham sama Zaki. Venda mau meninggalkan Zaki. Dia minta cerai. Tolong, Bun. Tolong bilang kalau Ibun nggak marah sama kita. Bilang kalau yang tadi sore hanya salah paham aja. Ibun bikin status bukan buat kita kan, Bun? Mbak Lala sama Nita juga bukan buat status untuk Venda kan, Bun?”

          “Astaghfirullah! Kenapa dengan Venda, Zak? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Ya Allah, status? Status apa? Status Ibun yang kemarin? Demi Allah, itu bukan untuk kamu dan Venda. Itu untuk Kiky. Tante Anna cerita kalau dia lagi ada masalah besar sama Tante Anna dan Om Jodi-mu. Gara-gara ngebelain suaminya yang narkoba itu. Ibun yang salah, kenapa Ibun bikin status segala. Ya Allah, kenapa bisa nyangkanya untuk kalian segala? Memangnya kalian salah apa sama Ibun?” Suara itu terdengar sangat dramatis. Bahkan, di ujung omongan, Ibun terdengar terisak-isak.

          “Dia ngiranya Ibun marah gara-gara nggak kupinjamkan uang dua juta itu, Bun,” sahut Mas Zaki dengan suara lemah.

          “Ya Allah, Ibun nggak sejahat itu! Ngapain Ibun marah segala? Ibun ngerti keuangan kalian pasti sedang sulit. Ini tengah bulan, gajimu pasti sisa sedikit lagi, kan? Ibun yang salah. Sudah tidak tahu diri karena minta-minta uang padamu terus. Ibun minta maaf ya, Zak. Ibun menyesal karena sudah membuat kalian bertengkar. Ya Allah, Ibun ke sana, ya? Ibun ingin ketemu Venda dan minta maaf.”

          Sedikit pun aku tak percaya dengan ucapan dua beranak ini. Semakin mereka beralasan, semakin kuat naluriku mengatakan bahwa keduanya tengah bersandiwara. Astaghfirullah, makhluk apa yang tengah kuhadapi ini? Ularkah mereka? Mengapa kelicikannya begitu berbisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status