Bagian 5
“Ven … kamu dengar kan, ucapan Ibun?” Mas Zaki bertanya dengan mata yang masih berlinang dan bibir gemetar. Pria itu mengacungkan ponselnya ke arahku, tetapi aku bergeming. Diam saja sembari bersedekap acuh tak acuh. Tak akan aku percaya lagi. Sudah cukup. Aku tak sebodoh yang kalian pikir.
“Zak, Ibun ke sana, ya? Ibun bawa mbakmu sekalian. Supaya semuanya jelas. Ibun nggak mau Venda salah paham. Ibun inginnya kalian akur sampai maut memisahkan.”
Omong kosong! Statusmu jelas-jelas ingin menghancurkan rumah tangga kami. Mengapa tiba-tiba jadi berlagak pilon dan bersikap selayaknya malaikat begini?
“Iya, Bun. Zaki dan Venda tunggu di rumah. Ibun sama Mbak Lala hati-hati, ya. Maaf, jadi malah merepotkan.” Mas Zaki menjawab ibunnya dengan suara yang parau. Pria itu lembut sekali. Seakan telah melupakan seperti apa kasarnya bentakan kepadaku kemarin. Hebat! Sangat hebat sekali. Aku sepertinya harus belajar berakting pada keluarga mereka.
“Iya, Nak. Coba tanya Venda. Dia ingin Ibun bawakan apa? Markisa di belakang rumah kita baru panen. Buahnya banyak dan segar-segar. Ibun bawakan, ya?”
Dia pikir, harga diriku bisa dibeli dengan markisa? Mohon maaf! Makan saja kamu sendirian markisa itu. Kalau perlu dengan kebun-kebunnya sekalian. Aku tak sudi!
“Ven, kamu mau?” bisik Mas Zaki sambil mendekat dengan wajah memelas ke arahku.
Aku terus diam mematung. Menatapnya tajam dengan hati yang masih terasa ngilu. Tak kuduga, bahwa aku bisa sependendam ini. Mengapa sulit sekali bagiku untuk berdamai dengan mereka?
“Terserah saja, Bun. Venda masih marah padaku. Dia masih belum mau berbicara.” Mas Zaki dengan nada yang putus asa menyahut kata-kata Ibun lewat telepon. Jelas saja aku masih marah. Entah sampai kapan aku bisa memaafkanmu, Mas. Sepertinya kata maaf itu telah sirna dari kamus kehidupanku.
“Ya Allah. Sabar ya, Zak. Tunggu sebentar. Ibun akan ke sana. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Mas Zaki lalu menutup sambungan telepon. Dia menatapku sekilas dengan wajah yang sangat sedih. Sorot matanya penuh dengan kemelasan. Akan tetapi, sama sekali tak membuatku iba. Aku pun heran mengapa hatiku bisa sekeras ini.
“Ven, masih marah?” tanyanya. Lelaki itu mengulurkan tangan padaku. Mencoba untuk meraih lenganku yang masih bersedekap di depan dada. Kutolak uluran itu dengan mundur beberapa langkah darinya.
“Jangan sentuh aku!” desisku sakit hati.
Bahu Mas Zaki melorot. Mukanya makin sayu. Matanya menatapku sendu. Pria bertubuh tinggi yang semakin gagah apabila mengenakan seragam sekuritinya tersebut kini terlihat begitu lemah. Tak pernah dia bertingkah begini. Dia pikir, aktingnya akan membuatku berbalik memaafkannya? Tak semudah itu.
“Ven, kita makan dulu, yuk? Sudah semakin siang. Nanti maagmu kambuh,” lirihnya. Dia nekat mendekat lagi padaku. Namun, aku terus berjalan mundur hingga sampai ke depan pintu kamar.
“Makan? Makan saja kamu sendiri!” kataku geram.
“Kamu belum masak nasi, Ven. Nasi semalam sudah habis. Lauk juga belum ada. Baiknya kita bergerak dulu, yuk. Aku akan bantu kamu masak.”
Aku memicingkan mata. Bantu masak? Tumben! Setahun kami menikah, mana pernah Mas Zaki menyentuh dapur. Tahunya hanya makan saja. Basa-basi menanyakan apakah aku perlu bantuan atau tidak saja mana pernah. Aku sekarang mulai paham, bahwa keberadaanku di rumah ini hanyalah sebagai babunya saja. Bangun pagi-pagi sudah harus masak dan menyiapkan pakaian kerjanya. Kemudian lanjut bekerja melayani kustomer meskipun hanya via daring. Uang keuntungan bukan kubelikan alat solek atau perhiasan sesuai keinginan, melainkan beli token, sembako, dan sesekali mentraktirnya rokok. Oh, bodohnya aku selama ini. Sudah berjuang mati-matian pun, masih dibilang mandul juga. Dicaci maki mertua dan ipar pula. Lawak!
“Masak saja sendiri. Aku tidak perlu makan makanan rumah ini lagi! Silakan kuasai isi rumah ini, kalau pada akhirnya kamu tak mau angkat kaki dari sini!”
Blam! Pintu kubanting dari luar setelah aku berhasil meninggalkan Mas Zaki di kamar sendirian. Namun, saat aku ingat dengan dompet dan ponsel yang masih tertinggal di dalam, buru-buru aku masuk lagi. Mas Zaki terbelalak saat aku masuk. Pria itu ternyata sudah membuka ponselnya dengan muka yang tegang. Lihatlah! Dia pasti baru saja mengirim pesan kepada ibunnya untuk kongkalikong. Terserah saja. Tidak mempan!
“Ven,” panggilnya sambil memasukan ponsel lagi ke dalam saku celana.
Aku tak peduli. Kuterobos Mas Zaki dan segera menyambar dompet maupun ponselku yang kusimpan dalam laci nakas. Sekalian kunci motor juga kuambil dari dalam sana. Biar saja aku belum mandi dan masih pakai piyama. Aku ingin pergi!
“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya pria itu sambil mencegatku.
“Bersenang-senang! Lepaskan! Jangan sentuh-sentuh aku!” Kutepis tangan Mas Zaki kasar. Lelaki itu terkesiap dan mundur dari pijakannya. Kalau kamu bisa membentak-bentakku, aku pun juga bisa, Mas!
***
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Tak kupedulikan lagi apa yang akan dilakukan Mas Zaki di dalam rumah sana. Terserah dia. Kalau pun memang ingin bunuh diri seperti yang dia ucapkan tadi, aku tidak masalah. Lebih cepat lebih baik. Agar aku tak perlu repot-repot mengurus berkas perceraian ke pengadilan segala.
Sepanjang perjalanan menuju warung sarapan yang berada sekitar lima kilometer dari gerbang masuk perumahan, yang berkelebat di kepalaku hanya kata cerai saja. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan memikirkan hal buruk itu di umur pernikahan yang sangat belia ini. Kukira, rumah tangga kami akan bahagia selama-lamanya. Namun, kenyataannya ekspektasiku saja yang kelewat tinggi. Mas Zaki yang kukenal secara tak sengaja karena sering ke bank untuk keperluan setor tunai, kupikir adalah sosok lelaki baik-baik. Terlebih melihat wajahnya yang teduh. Ternyata oh, ternyata … aku hanya diprank saja oleh muka tanpa dosanya. Dia sama saja dengan pria-pria bajingan lain di luar sana. Bedanya, Mas Zaki pintar berakting. Pandai membodohi perempuan lugu sepertiku. Dia tetapi lupa, bahwa tak selamanya katak akan jatuh di lubang yang sama, kecuali katak itu tolol. Sayangnya aku bukanlah orang yang tolol seperti yang dia duga. Aku bisa membaca bahwa dia tengah merencanakan sesuatu atas diriku saat ini.
Sengaja aku makan di tempat yang agak jauh dari rumah untuk menenangkan diri. Sesampainya di warung makan yang khusus menjual sarapan pagi, aku sedikit menyesal. Sebab, halaman parkirnya yang tak terlalu luas itu sudah penuh dengan kendaraan. Baik roda empat maupun roda dua. Aku makin insecure saat sadar bahwa aku hanya mengenakan stelan piyama katun lengan panjang polos berwarna abu-abu. Belum cuci muka dan gosok gigi pula. Astaga!
Mau tak mau aku turun dari motor dengan perasaan bimbang. Cepat kubuka dompetku dan mencoba mencari permen dari dalam sana. Untungnya ada. Cepat kukunyah permen rasa mint tersebut agar napasku segar seketika. Tak lupa kupatut wajah di depan kaca spion. Memeriksa takut-takut ada belek di mata. Alhamdulillah, tak ada. Syukurlah. Semoga tidak ada orang yang kukenal sedang makan di warung ini, batinku.
Masuk ke warung, aku langsung ke bagian etalase di mana penjual dan beberapa pelayannya sedang sibuk menyiapkan hidangan yang dipesan oleh pelanggan. Mereka kewalahan. Saking ramainya pengunjung. Nyaliku langsung menciut. Namun, perut telanjur lapar. Ya, sudahlah. Akhirnya aku nekat pesan juga, meski tak begitu yakin apakah ada kursi yang masih tersisa atau tidak. Pesananku simpel saja. Bubur ayam dan segelas teh panas.
Selesai memesan, aku langsung berkelana mencari kursi yang masih tersisa. Alhamdulillah, ada satu meja di pojokan sana yang kosong. Dua kursi yang saling hadap tersedia. Aku langsung mempercepat langkah dan duduk di sana. Sial, seseorang dari belakangku memanggil.
“Boleh saya duduk di sini, Mbak?”
Aku yang kaget langsung menoleh ke sumber suara. Aku makin syok saat mata ini saling bersirobok dengan mata pria yang memanggilku barusan. Wajahnya … begitu familiar. Terlebih suaranya. Lututku menjadi lunglai seketika. Apalagi ketika menyadari bahwa penampilanku cukup buruk untuk berjumpa dengan seseorang di masa lalu yang kini terlihat begitu menyilaukan.
“Venda? Ini kamu, kan? Kurus sekali?” Lelaki berkaus polo warna putih dan celana golf pendek warna biru dongker itu sampai menyipitkan matanya. Aku rasanya ingin tenggelam saja dari muka bumi ini tatkala dia berhasil mengenaliku. Kenapa aku harus sesial ini, sih?
Bagian 6 “Alrik?” lirihku dengan gerak tubuh yang canggung. “Sudah lama sekali!” Lelaki itu berseru dengan binar mata yang tak percaya. Kenapa harus bertemu dengan dia di saat begini, sih? Bikin moodku semakin payah saja! “Iya, sudah lama. Silakan duduk.” Tawarku kagok. Pria berkulit putih bersih dengan tubuh yang atletis itu pun mengangguk. Senyumannya tampak lebar sekali, hingga geligi rapinya terlihat. Mau tak mau, aku yang belum mandi dan bau asem ini harus duduk berhadapan dengan seorang pria klimis metroseksual yang bahkan harumnya bisa tercium dari jarak beberapa meter. Astaga, betapa doublenya kesialanku hari ini. “Kenapa tidak pernah muncul di grup SMP? Aku cari-cari namamu pun tidak ada d
BAGIAN 7 Main rapi, Ven, main cantik! Jangan gegabah, jangan grasa-grusu. Santai, tenang, jangan mudah tersulut emosi. Begitulah kalimat-kalimat afirmasi positif yang kuucap dalam batin. Melawan orang munafik berkepala dua, haruslah hati-hati. Aku tidak boleh salah langkah. Sedikit saja terpeleset, akulah yang jadi mangsa mereka. “Aku di luar,” sahutku santai pada Ibun meski hati ini seperti sedang dikruwes-kruwes dengan garpu. Awas kau nenek lampir. Suatu hari nanti, pasti akan kena batunya juga. “Di luar mana, Sayang? Pulang ke rumah suamimu dulu, ya? kita harus bicarakan baik-baik semuanya—” Agak panas hatiku, la
BAGIAN 8 “Venda, Ibun minta maaf, Nak! Ibun yang salah. Kamu jangan mendiamkan kami begini seolah masalah kita tidak bisa diperbaiki!” Aku yang baru saja tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ditarik pelan tanganku oleh Ibun. Perempuan paruh baya yang masih terlihat aura kecantikannya itu ternyata menyusulku dari belakang. Kutengok lagi ke depan sana, ada Mas Zaki yang mencoba menahan Mbak Lala supaya tidak mendekat ke arah kami. Mbak Lala yang berapi-api. Dia seakan ingin meledak melihat kelakuanku. Kenapa juga dia yang kebakaran jenggot? “Bun, sudahlah! Ayo, kita pulang! Venda nggak bisa menghargai Ibun!” pekik Mbak Lala sambil sekuat tenaga berusaha menepis genggaman erat di tangannya. Mas
BAGIAN 9POV AUTHOR “Keterlaluan Venda! Bisa-bisanya dia sekasar itu! Di mana rasa takut dan patuhnya? Siapa yang sudah merasukinya sampai berubah begini?” Zaki sibuk bertanya-tanya dengan gumaman ketika dia keluar dari kamar. Pipinya terasa begitu perih usai ditampar oleh sang istri untuk pertama kalinya. Venda yang selama ini dipandangnya sebagai wanita lugu, ternyata diam-diam menyimpan kebuasan. Zaki tentu terperanjat dan kaget. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Dia mulai resah sekarang. Jangan-jangan, Venda akan berani meninggalkannya kelak? Dia tak yakin apakah bisa hidup apabila tanpa wanita royal pemurah itu. Sedangkan, tuntutan hidupnya sangat tinggi. Lebih tepatnya, tuntutan dari Ibun. Pria berkulit eksotis dengan tampang yang lumayan itu berjalan gusar menuju teras. Dia
BAGIAN 10POV AUTHOR Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda. [Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.] Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?&nb
BAGIAN 11 “Maafkan kami, Ven. Ampuni kesalahanku dan Ibun. Aku mohon.” Mas Zaki terus memohon. Bahkan matanya kulihat kini melinangkan air mata yang tak sedikit. Dua tangan kekarnya memagut pelan lututku. Membuatku semakin gerah dengan sandiwara tak bermutu mereka. “Cukup! Hentikan tingkah konyol ini!” Aku menjerit. Habis sudah sabarku. Ibun dan Mas Zaki akhirnya kompak berdiri. Keduanya sama-sama menghapus air mata dengan jemari, lalu menatapku dengan ekspresi yang takut-takut. “Mas, Bun, sudahlah. Hentikan tangisan kalian berdua. Kita anggap semua masalah ini selesai,” kataku sambil menahan gejolak di dalam
BAGIAN 12 Seharian itu, aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Entah itu memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Kerjaanku hanya leyeh-leyeh di atas kasur sembari memainkan ponsel. Sengaja hari ini aku tidak membuka orderan jamu tradisional, padahal beberapa pelangganku sejak tadi sudah bolak-balik bertanya apakah ada jamu yang ready atau tidak. Semuanya kujawab tidak ada. Kukatakan bahwa hari ini jadwalnya kang jamu libur. Ternyata, nikmat sekali hidup bersantai ria. Tak perlu memperhatikan rumah tangga dan mengurusi segenap tetek bengek dagangan. Toko online-ku tutup. Proses orderan di market place pun kupending. Biasanya, aku paling anti bermalas-malasan seperti ini. Waktu bagiku adalah segalanya. Namun, itu kemarin. Tidak berlaku dengan hari ini. Inginnya aku membuang waktu percuma saja. Mau me
BAGIAN 13 Jelang sore itu juga, aku segera membuang segala pikiran negatif yang melanda usai memblokir Anita. Cukup beberapa menit untuk menenangkan diri, aku pun tak ingin membuang banyak waktu lagi. Cepat bergerak menuju dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil seluruh sisa stok empon-emponan serta rempah daun yang sudah kubungkus dengan kertas koran. Saat aku sedang memisahkan satu per satu rimpang, tiba-tiba pikiranku melayang kembali. Teringat akan ucapan Anita via WhatsApp tadi. Aku pun langsung menghitung-hitung, berapa bahan yang harus kukeluarkan untuk membuatkan pesanannya. Untuk membuat empat liter jamu kunir asem, setidaknya aku membutuhkan setidaknya 1 kilogram kunyit, 250 gram jahe merah, 200 gram kencur, 2 bung