Share

6

Bagian 6

          “Alrik?” lirihku dengan gerak tubuh yang canggung.

          “Sudah lama sekali!” Lelaki itu berseru dengan binar mata yang tak percaya. Kenapa harus bertemu dengan dia di saat begini, sih? Bikin moodku semakin payah saja!

          “Iya, sudah lama. Silakan duduk.” Tawarku kagok. Pria berkulit putih bersih dengan tubuh yang atletis itu pun mengangguk. Senyumannya tampak lebar sekali, hingga geligi rapinya terlihat. Mau tak mau, aku yang belum mandi dan bau asem ini harus duduk berhadapan dengan seorang pria klimis metroseksual yang bahkan harumnya bisa tercium dari jarak beberapa meter. Astaga, betapa doublenya kesialanku hari ini.

          “Kenapa tidak pernah muncul di grup SMP? Aku cari-cari namamu pun tidak ada di sana. Kamu nggak gabung?” Alrik, seorang anak gedongan yang kedapatan apes bisa berpacaran denganku saat kami masih kelas 8 dulu, ternyata masih sama seperti masa remajanya. Ramah, murah senyum, dan tidak anti dengan orang-orang ‘terbuang’ sepertiku. Bahkan hingga aku belum juga bisa mengejar ketertinggalan dari teman-teman lain yang sudah sukses, dia masih saja ramah padaku. Bukan karena aku cinta monyet yang dia tembak hanya karena kami satu grup paduan suara dulu. Namun, itu karena sifat manusiawinya yang kulihat semakin terasah.

          “Aku tidak gabung,” ucapku pelan dengan membuka mulut kecil-kecil supaya aroma napasku tak tercium.

          “Aku masukin, ya? Teman sebangkumu yang jadi adminnya. Masa kalian tidak pernah kontak-kontakan?” Yang Alrik maksud pasti Dwiva. Perempuan yang kudengar telah menjadi dokter umum itu sudah sekian lama hilang kontak denganku. Aku juga sengaja tak menambahkannya sebagai teman di media sosial manapun. Iya, aku minder. Sengaja menjauh dari circle SMP yang rata-rata adalah anak orang berduit. Aku hanya beruntung saja bisa masuk SMP favorit itu. Hanya bermodal nilai di atas rata-rata doang. Iya, aku dulu memang sepintar itu. Sayangnya, kepintaranku berhenti berkembang saat menginjak bangku SMA. Entahlah kenapa bisa begitu. Mungkin karena kematian almarhum Mama yang membuatku menjadi pesimis menatap dunia yang sungguh keras ini.

          “Ntar aja,” kilahku dengan senyum tak enak hati.

          “Ayolah. Biar reuni nanti kita ngumpul. Hanya kamu yang tidak nongol di grup itu. Aku bahkan hampi ingat dengan satu angkatan kita di SMP dulu. Grupnya asyik kok. Membaur.” Alrik begitu antusias. Pria yang baru kutemui beberapa menit itu langsung mengalir begitu saja. Dia memang masih seperti yang dulu, meskipun saat naik ke kelas 9 aku memutuskan jalinan kasih dengannya. Alasannya? Karena Alrik itu anak mami. Apa-apa sama maminya. Aku malu sekali karena jadi bahan ledekan anak-anak kelas. Eh, nggak tahunya, sekarang dia bertumbuh menjadi pria yang sangat gagah. Yang lebih membelalakkan mata adalah kunci mobil berlambang kepak sayap dengan tulisan ‘mini’ di tengahnya. Oh, sudah pakai Mini Cooper, pikirku. Beda sekali dengan aku yang masih memakai Honda Beat keluaran tahun 2010. Sungguh ironis.

          “Hehehe.” Aku hanya tertawa kecil. Memasang muka kikuk dan mulai tak betah duduk berlama-lama dengan cowok ini. Aku malu. Luar biasa malunya.

          “Eh, aku sampai lupa menanyakan kabarmu saking asiknya ngobrolin grup. Gimana kabarmu, Venda? Sejak lulus SMP kita tidak pernah ketemu lagi. Masih tinggal di Gang Mentimun?”

          Dengan perasaan yang seperti menahan luka, aku pun menjawab, “Kabarku biasa saja. Rumah di Gang Mentimun sudah lama dijual sejak mamaku meninggal.” Senyumku getir. Pertanyaan sederhana Alrik entah mengapa malah membangkitkan memori masa lalu yang begitu pahit.

          “Innalillahi. Aku tidak tahu itu. Turut berduka cita, Ven. Jadi, kamu tinggal di mana sekarang?”

          “Di perumahan Ananta. Sama suami,” sahutku. Kutegaskan kata suami di akhir kalimat agar Alrik mengerti bahwa aku telah menikah. Lelaki itu sontak terkejut. Wajahnya berubah. Apakah dia tak menyangka bahwa aku telah menikah?

          “Sudah punya anak?” tanyanya lagi.

          Aku menggelengkan kepala. “Belum. Baru setahun menikah.”

          Alrik tersenyum kecil. Ekspresinya seperti tak enak hati saat mendengar jawabanku. “Semoga disegerakan,” ucapnya lembut.

          Tidak. Aku sebentar lagi menjadi janda, jadi sebaiknya kamu simpan saja doamu itu, Rik. Begitulah ucapku dalam hati. Namun, aku hanya menyahut kalimat Alrik dengan anggukan saja.

          “Kamu sendiri?” Aku memberanikan diri untuk bertanya balik padanya. Semoga bau mulutku tidak membuat Alrik pingsan setelah ini.

          “Alhamdulillah belum. Masih betah menjomlo. Jomlo karatan,” ucapnya sambil tertawa renyah.

          What? Jomlo karatan? Seriusan? Ah, sepertinya tidak mungkin. Lelaki tampan begini apalagi berasal dari kalangan kaya raya, mana mungkin masih jomlo. Aku yang melarat ini saja ada yang mau, kok. Ya, meskipun yang mau ternyata kelakuannya seperti dakjal.

          “Jangan gitulah. Mungkin belum jumpa jodohnya,” kataku membesarkan hatinya.

          “Maybe.” Alrik mengendikkan bahu bidangnya. Menatap nanar dengan muka yang seperti sedang merenung. Apakah ucapanku telah menyakiti perasaannya? Buru-buru aku mengalihkan pembicaraan.

          “Sibuk apa sekarang, Rik? Apa kabar mamimu?”

          “Sibuk kerja aja. Kebetulan kantorku nggak jauh dari sini. Mami kabarnya baik. Lagi senang merawat anggrek. Biasalah, sudah tua. Nggak ada kegiatan.”

          “Oh, kantormu dekat sini? Di mana itu? Mamimu pengen cucu kali.” Aku tertawa kecil. Namun, kupikir itu lawakan yang garing. Sedangkan aku sendiri punya momongan saja belum. Sok-sokan bilang maminya Alrik pengen cucu segala. Mendadak aku jadi malu sendiri.

          “Ruko dekat perempatan itu. Hadap-hadapan sama toko alat tulis. Kamu dulu aja yang ngasih cucu buat papamu. Akunya cari istri dulu aja.” Alrik senyum kecil. Sepertinya candaanku tidak menyakiti hatinya. Untung saja.

          “Oh, kamu kerja di toko elektronik itu ya, Rik?” Seketika aku mengingat bahwa di depan toko alat tulis ada sebuah toko elektronik yang agak sepi. Bangunan rukonya bagus dan halaman parkirnya cukup luas. Sayang, yang beli tidak seberapa. Kasihan juga Alrik, pikirku. Meskipun bawa Mini Cooper, ternyata dia hanya pegawai toko elektronik. Apa dia tidak kuliah, ya? Ah, tapi nggak mungkin. Apa dia yang punya tokonya?

          “Bukan. Toko itu udah pindah. Aku baru nempatin seminggu ini.”

          Aku manggut-manggut. Pikiranku ternyata sempit sekali. Seketika mukaku langsung panas karena malu. Bodoh sekali pertanyaanku. Mana mungkin si anak mami ini kerja di toko elektronik! Argh, cari topik lain saja. Biar tidak ketahuan bodohnya.

          Tak lama, makanan pesanan kami akhirnya datang juga. Ternyata Alrik memesan nasi kuning dengan lauk irisan semur daging sapi yang menggoda selera. Lelaki itu juga memesan minuman yang sama denganku, teh hangat.

          “Terima kasih ya, Mbak,” ucap Alrik pada si mbak-mbak pelayan warung dengan sangat sopan. Mbak-mbak berambut pendek itu langsung tersenyum semringah dengan wajar yang berseri-seri. Siapa yang tak senang diucapkan terima kasih oleh cowok good looking begitu? Pasti si mbaknya langsung senang seharian, pikirku.

          “Sama-sama, Mas,” sahut mbaknya sambil berlalu dengan gerak yang kemayu.

          “Ayo, makan, Ven.” Alrik lalu senyum ke arahku. Lelaki itu mulai meraih sendoknya dan aku pun mengikuti gerakannya.

          Kami berdua pun makan tanpa bersuara lagi. Fokus ke hidangan masing-masing. Dalam diam, sebenarnya aku masih menyimpan banyak tanya seputar Alrik yang selama ini sudah kulupakan. Di mana pria itu sekarang tinggal? Apakah dia masih menempati rumah lamanya yang berada di daerah Gading Indah yang tak jauh dari sekolah kami dulu? Apa yang menyebabkan dia masih menjomlo di usia kami yang sudah memasuki angka 27 ini? Namun, semuanya hanya kupendam saja. Mungkin lain waktu ketika kami bertemu kembali, aku bisa menanyakan segala pertanyaan itu.

          Tiba-tiba, ponsel Alrik berdering. Lelaki itu langsung merogoh kocek celana pendeknya dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Ponsel keluaran terbaru dengan harga fantastis itu membuat mataku seketika membeliak untuk setengah detik. Wow, semakin tajir lelaki ini, pikirku. Aku makin merasa kerdil saja di hadapan Alrik. Kuralat pikiranku semula yang berharap akan bertemu lagi dengannya di lain waktu dan menanyakan segala penasaranku terhadapnya. Semoga aku tak pernah lagi berjumpa dengan Alrik, pikirku. Perjumpaan hanya akan membuat keminderanku bertambah pesat sebab melihat suksesnya Alrik yang berbanding terbalik dengan hidupku yang sangat biasa saja.

          “Halo, Vin. Aku lagi sarapan. Gimana?” Alrik terdengar sangat berwibawa. Pria itu langsung memasang wajah serius saat mengangkat telepon dari temannya.

          “Oke, aku segera ke sana. Suruh mereka untuk tunggu sebentar. Suguhkan kopi dan ajak ngobrol di lobi.” Entah mengapa, mendengar ucapan Alrik membuatku mendadak mengira bahwa dia adalah seorang CEO atau sejenisnya. Makin jiper, itulah yang kurasa. Sepertinya Alrik sedang berbicara dengan bawahannya dan dia tengah ditunggu oleh klien penting. Astaga, sekaya ini masih mau saja makan di warung sarapan yang didatangi oleh orang miskin sepertiku. Apa Alrik tidak alergi?

          “Oke.” Alrik lalu mematikan ponselnya dan menaruh kembali dalam kocek. Aku yang sempat terpana melihat Alrik berbicara di telepon, buru-buru menyantap buburku dan berpura-pura seperti tak baru saja menatapnya heran. Lewat ekor mata, kulihat lelaki itu mengeluarkan dompet dan menarik sesuatu dari sana.

          “Venda, aku pulang duluan, ya. Ini kartu namaku. Kamu bisa hubungi aku di nomor ponsel yang tertera. Siapa tahu, kamu ingin dimasukan ke grup alumni,” ucap Alrik terburu-buru sambil meyodorkan kartu nama yang bahkan terbalik itu. Kuterima kartu itu dan aku langsung mengangguk-angguk ke arahnya.

          “Hati-hati, Rik,” sahutku seraya melambaikan tangan padanya.

          Pria itu langsung bangkit dan berjalan cepat. Saat kutoleh, tubuhnya telah melesat ke meja kasir sana dan menaruh uang begitu saja kepada kasir, kemudian berlari menuju parkiran. Alrik pun hilang dari pandanganku.

          Aku yang penasaran, langsung membalik kartu nama yang diberikan Alrik tadi. Syok. Itulah yang kurasakan saat pertama kali membaca nama beserta gelar yang tertera di katu itu. Dalvano Alrik Sebastian, S.H.,M.H. Juga tertulis di sana nama perusahaan yang dia pimpin, yaitu Dalvano and Partners Law Firm.

          “Oh, pengacara,” gumamku sambil meratapi nasib diri sendiri yang sangat menyedihkan. Dunia oh, dunia. Saat teman-temanku sudah sukses di usia muda, mengapa aku masih begini-begini saja?

          Ponselku yang tersimpan di saku baju piyama, tiba-tiba bergetar. Aku yang termenung dalam kesedihan pun mendadak kaget. Cepat kurogoh saku dan kulihat nama yang tertera di layar. Ibun. Emosiku langsung bangkti lagi setelah tertidur beberapa saat. Mau apalagi orang ini, pikirku?

          “Venda sayang, anak mantuku yang paling Ibun sayang. Di mana kamu, Ven? Ibun sudah mau sampai di rumahmu, Nak.”

          Mendengar kalimat Ibun via telepon, mendadak membuat perutku teraduk-aduk. Bubur yang semula sudah masuk ke lambung, serasa mau keluar lagi. Jijik! Sungguh menjijikan. Apakah pertanyaannya perlu untuk kujawab? Rasanya, ponsel ini ingin kubanting saja supaya tak lagi mendengarkan celoteh palsu dari perempuan tua munafik itu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status