BAGIAN 10
POV AUTHOR
Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda.
[Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.]
Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?
&nb
BAGIAN 11 “Maafkan kami, Ven. Ampuni kesalahanku dan Ibun. Aku mohon.” Mas Zaki terus memohon. Bahkan matanya kulihat kini melinangkan air mata yang tak sedikit. Dua tangan kekarnya memagut pelan lututku. Membuatku semakin gerah dengan sandiwara tak bermutu mereka. “Cukup! Hentikan tingkah konyol ini!” Aku menjerit. Habis sudah sabarku. Ibun dan Mas Zaki akhirnya kompak berdiri. Keduanya sama-sama menghapus air mata dengan jemari, lalu menatapku dengan ekspresi yang takut-takut. “Mas, Bun, sudahlah. Hentikan tangisan kalian berdua. Kita anggap semua masalah ini selesai,” kataku sambil menahan gejolak di dalam
BAGIAN 12 Seharian itu, aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Entah itu memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Kerjaanku hanya leyeh-leyeh di atas kasur sembari memainkan ponsel. Sengaja hari ini aku tidak membuka orderan jamu tradisional, padahal beberapa pelangganku sejak tadi sudah bolak-balik bertanya apakah ada jamu yang ready atau tidak. Semuanya kujawab tidak ada. Kukatakan bahwa hari ini jadwalnya kang jamu libur. Ternyata, nikmat sekali hidup bersantai ria. Tak perlu memperhatikan rumah tangga dan mengurusi segenap tetek bengek dagangan. Toko online-ku tutup. Proses orderan di market place pun kupending. Biasanya, aku paling anti bermalas-malasan seperti ini. Waktu bagiku adalah segalanya. Namun, itu kemarin. Tidak berlaku dengan hari ini. Inginnya aku membuang waktu percuma saja. Mau me
BAGIAN 13 Jelang sore itu juga, aku segera membuang segala pikiran negatif yang melanda usai memblokir Anita. Cukup beberapa menit untuk menenangkan diri, aku pun tak ingin membuang banyak waktu lagi. Cepat bergerak menuju dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil seluruh sisa stok empon-emponan serta rempah daun yang sudah kubungkus dengan kertas koran. Saat aku sedang memisahkan satu per satu rimpang, tiba-tiba pikiranku melayang kembali. Teringat akan ucapan Anita via WhatsApp tadi. Aku pun langsung menghitung-hitung, berapa bahan yang harus kukeluarkan untuk membuatkan pesanannya. Untuk membuat empat liter jamu kunir asem, setidaknya aku membutuhkan setidaknya 1 kilogram kunyit, 250 gram jahe merah, 200 gram kencur, 2 bung
BAGIAN 14 Pagi-pagi sekali aku bangun untuk berangkat ke pasar membeli bahan baku pembuatan jamu tradisional maupun masker organik. Pukul setengah lima pagi usai salat Subuh aku pergi sendirian dengan mengendarai motor bututku. Mas Zaki? Dia masih ngorok di peraduan. Tak mau peduli dengan apa yang kulakukan sepagi buta ini. Aku sudah tak masalah lagi. Toh, sebentar lagi benalu itu akan kuenyahkan dari sini. Lihat saja. Dia pikir, aku akan diam saat melihat tingkah laku busuknya? Total ada lima buah plastik belanjaan yang kutumpuk jadi satu dalam karung putih. Susah payah aku mengemudi motor dengan bawaan yang kusimpan pada injakan depan. Hal ini bukanlah barang baru bagiku. Namun, hari ini terasa semakin sakit saja. Baru kusadari, ternyata selama ini aku terlalu bodoh. Mudah sekali dimanfaatkan lelaki. Hanya diam
BAGIAN 15 Tak sampai lima belas menit lamanya, Alrik dengan mobil mini cooper kuning cerahnya tiba di depan rumahku. Mobil mewah itu dia parkirkan di bahu jalan, pas di depan pagar beton rumahku. Aku yang telah duduk menanti kedatangannya di depan teras, seketika bangkit untuk menyambut pria yang baru saja keluar dari dalam kendaraan. Sosok Alrik pagi ini begitu berbeda dengan kemarin saat kami berjumpa di warung sarapan. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang hitam yang dia singsingkan hingga siku. Celana bahan berwarna senada begitu pas di kaki jenjangnya. Belum lagi kacamata Rayban hitam mahal yang kini dia lepas dan sematkan di tengah kerah bajunya. Aku sampai harus menundukkan pandangan untuk sesaat demi mengusir sebuah perasaan aneh di dada.&
Bagian 16 Pagi itu, aku akhirnya dibawa Alrik ke kantor pengacara miliknya di bilangan Setia Budi. Bangunan dua lantai yang kini dicat serba putih tersebut terlihat sudah ramai parkirannya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Aku langsung dilanda canggung. Terlebih, mataku sembab karena habis menangis. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi pipi sebelum kami berdua turun dari dalam mobilnya. “Ven, kamu udah nggak apa-apa, kan?” tanya Alrik dengan nada lembut. Aku mengangguk pelan. Menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Alrik malu-malu. “Iya, Rik,” sahutku pelan. Alrik tersenyum manis. Dia mengangguk pelan, lantas mematikan mesin mobilnya. “Kita turun dulu, ya. Kamu ke kantorku aja dulu.
Bagian 17 Tak kusangka, hari ini menjadi awal langkah yang begitu mendebarkan. Untuk kali pertama, aku harus berurusan dengan kantor polisi dan rumah sakit untuk tindakan visum. Adrenalinku seakan meningkat pada setiap menitnya. Bukan main perasaanku kalut. Bahkan, hingga sore menjelang petang, aku baru bisa pulang bersama Alrik setelah menyelesaikan proses pelaporan hingga pemeriksaan polisi. Ada ketenangan yang setidaknya kini menyelinap di dada. Polisi berjanji, bahwa kasus ini akan segera diproses. Setidaknya, dalam 1 hingga 2 kali 24 jam, terlapor yang tak lain adalah suamiku sendiri bakal dipanggil untuk dimintai keterangan. Tak main-main kasus yang kami berdua buat. Tindak penganiayaan. Bukan hanya aku yang menjadi korban sekaligus pelapor, tetapi Alrik juga. Dalam hati aku memohon pada Allah agar Mas Zaki segera dibekuk ke kantor polisi. Biar dia tahu,
BAGIAN 18 Kami tiba di halaman rumah Alrik yang bangunannya tak banyak berubah seperti belasan tahun silam. Bangunan dua lantai bermodel klasik dengan cat putih itu terlihat begitu asri sekaligus sejuk karena tanaman hias yang mendominasi. Banyak pot-pot anggrek digantung di depan teras maupun menempel di dindingnya. Aneka warna anggrek tersebut. Ada yang putih, merah muda, magenta, maupun hitam. Tak hanya bunga eksotis khas Indonesia itu yang dipelihara di depan rumah Alrik. Terdapat pula pot-pot besar berisi tanaman antorium maupun keladi hias yang daunnya besar-besar. Suasana senja kali ini begitu membuat jiwaku tenang sebab melihat ragam tanaman hijau yang bahkan lebih terawat dari diriku sendiri. “Ayo masuk, Ven,” ucap Alrik setelah membuka kunci pintu rumahnya.&n