BAGIAN 15
Tak sampai lima belas menit lamanya, Alrik dengan mobil mini cooper kuning cerahnya tiba di depan rumahku. Mobil mewah itu dia parkirkan di bahu jalan, pas di depan pagar beton rumahku. Aku yang telah duduk menanti kedatangannya di depan teras, seketika bangkit untuk menyambut pria yang baru saja keluar dari dalam kendaraan.
Sosok Alrik pagi ini begitu berbeda dengan kemarin saat kami berjumpa di warung sarapan. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang hitam yang dia singsingkan hingga siku. Celana bahan berwarna senada begitu pas di kaki jenjangnya. Belum lagi kacamata Rayban hitam mahal yang kini dia lepas dan sematkan di tengah kerah bajunya. Aku sampai harus menundukkan pandangan untuk sesaat demi mengusir sebuah perasaan aneh di dada.
&
Bagian 16 Pagi itu, aku akhirnya dibawa Alrik ke kantor pengacara miliknya di bilangan Setia Budi. Bangunan dua lantai yang kini dicat serba putih tersebut terlihat sudah ramai parkirannya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Aku langsung dilanda canggung. Terlebih, mataku sembab karena habis menangis. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi pipi sebelum kami berdua turun dari dalam mobilnya. “Ven, kamu udah nggak apa-apa, kan?” tanya Alrik dengan nada lembut. Aku mengangguk pelan. Menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Alrik malu-malu. “Iya, Rik,” sahutku pelan. Alrik tersenyum manis. Dia mengangguk pelan, lantas mematikan mesin mobilnya. “Kita turun dulu, ya. Kamu ke kantorku aja dulu.
Bagian 17 Tak kusangka, hari ini menjadi awal langkah yang begitu mendebarkan. Untuk kali pertama, aku harus berurusan dengan kantor polisi dan rumah sakit untuk tindakan visum. Adrenalinku seakan meningkat pada setiap menitnya. Bukan main perasaanku kalut. Bahkan, hingga sore menjelang petang, aku baru bisa pulang bersama Alrik setelah menyelesaikan proses pelaporan hingga pemeriksaan polisi. Ada ketenangan yang setidaknya kini menyelinap di dada. Polisi berjanji, bahwa kasus ini akan segera diproses. Setidaknya, dalam 1 hingga 2 kali 24 jam, terlapor yang tak lain adalah suamiku sendiri bakal dipanggil untuk dimintai keterangan. Tak main-main kasus yang kami berdua buat. Tindak penganiayaan. Bukan hanya aku yang menjadi korban sekaligus pelapor, tetapi Alrik juga. Dalam hati aku memohon pada Allah agar Mas Zaki segera dibekuk ke kantor polisi. Biar dia tahu,
BAGIAN 18 Kami tiba di halaman rumah Alrik yang bangunannya tak banyak berubah seperti belasan tahun silam. Bangunan dua lantai bermodel klasik dengan cat putih itu terlihat begitu asri sekaligus sejuk karena tanaman hias yang mendominasi. Banyak pot-pot anggrek digantung di depan teras maupun menempel di dindingnya. Aneka warna anggrek tersebut. Ada yang putih, merah muda, magenta, maupun hitam. Tak hanya bunga eksotis khas Indonesia itu yang dipelihara di depan rumah Alrik. Terdapat pula pot-pot besar berisi tanaman antorium maupun keladi hias yang daunnya besar-besar. Suasana senja kali ini begitu membuat jiwaku tenang sebab melihat ragam tanaman hijau yang bahkan lebih terawat dari diriku sendiri. “Ayo masuk, Ven,” ucap Alrik setelah membuka kunci pintu rumahnya.&n
BAGIAN 19 “Jadi … hari Minggu kemarin aku tidak sengaja jumpa dengan Alrik di warung sarapan Bu Nunung dekat kantornya Alrik, Mi. Dia lalu mentraktirku dan memberikan kartu namanya. Aku pun menghubungi Alrik untuk mengucapkan terima kasih. Alrik jadi tahu kalau aku berdagang jamu karena melihat katalog di akun bisnis WA-ku. Dia pun memesan jamu ke aku dan pagi tadi dia ambil ke rumah. Namun ….” Tenggorokanku rasanya tercekat. Sesak sekali bila mengingat detik-detik di mana Mas Zaki tiba-tiba hadir dengan kemarahan yang membabi buta. Rasa benciku pun kian membumbung tinggi bila teringat akan wajah pria jahat tersebut. “Namun apa, Ven?” desak Mami tak sabaran. “Suamiku tiba-
BAGIAN 20 Alrik betul-betul membelikanku beragam perlengkapan. Tak hanya celana dalam dan pembalut saja, tetapi sikat gigi, odol, pembersih wajah, bedak tabur, body lotion, pelembab bibir, dan parfum. Padahal, selain dua item yang kubutuhkan tersebut, tak ada yang kupinta satu pun. Untungya, yang dia belikan semua bisa kupakai. Bukan merek yang menimbulkan alergi di tubuhku. Astaga Alrik! Cowok itu betul-betul bikin aku tambah tak enak hati saja. Tahu bagaimana cara Alrik memberikan barang-barang itu? Dengan santainya dia mengetuk pintu kamar Mami setelah aku selesai mandi dan bertukar pakaian. Mami yang menerima bungkusan tersebut. Agak heran saat anak lelakinya berpesan kalau itu adalah toiletries untukku. Reaksi Mami? Agak heboh.&nb
BAGIAN 21POV AUTHORJALANG YANG MALANG “Pak polisi, izinkan saya menelepon satu orang lagi! Saya tidak akan memberikan keterangan sebelum ada yang mendampingi saya,” mohon Zaki sambil bercucuran air mata. Sedang kedua tangannya diborgol ke belakang oleh para polisi yang menangkap sekaligus menggelandangnya ke kantor polisi setengah jam lalu.Zaki sungguh tak menyangka jika dirinya yang baru saja tiba di rumah, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan empat orang berseragam preman. Empat pria bertubuh tegap itu segera menunjukkan surat perintah menangkapan, lalu memasukan Zaki ke mobil. Rumahnya pun tak ayal jadi sasaran pemeriksaan polisi. Zaki syok berat. Venda yang dia kira lugu, nyatanya senekat ini melapor ke polisi.“Enak saja kamu bilang tidak mau memberikan keterangan! Memangnya, kamu ini siapa? Jelas-jelas bukti dan saksi memberatka
Bagian 22 “Mami, Alrik, maaf tadi aku harus marah-marah,” ucapku tak enak hati kepada si tuan rumah usai menerima telepon dari Mas Zaki. “Nggak apa-apa, Ven! Mami gemas banget dengarnya. Apa kelakuan suamimu memang seperti itu dari dulu? Ya, ampun!” Mami malah gregetan. Wajahnya tampak menahan geram. Tentu saja. Siapa pun yang mendengarkan rengekan Mas Zaki di telepon tadi, pasti muak dan geram bukan kepalang. Betul-betul pria tak tahu malu. “Baru ketahuan belangnya, Mi. Dulu nggak gitu,” sahutku lemas. “Syukurlah, Ven. Itu tandanya Tuhan sayang sama kamu. Mungkin jodoh kalian hanya sebentar. Kamu harus kuat.” Alrik berkata-kata dengan bijak. Pria itu langsung menyambar segelas air putih yang
Bagian 23 [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?] Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku. [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.] Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara. [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik