BAGIAN 18
Kami tiba di halaman rumah Alrik yang bangunannya tak banyak berubah seperti belasan tahun silam. Bangunan dua lantai bermodel klasik dengan cat putih itu terlihat begitu asri sekaligus sejuk karena tanaman hias yang mendominasi. Banyak pot-pot anggrek digantung di depan teras maupun menempel di dindingnya. Aneka warna anggrek tersebut. Ada yang putih, merah muda, magenta, maupun hitam. Tak hanya bunga eksotis khas Indonesia itu yang dipelihara di depan rumah Alrik. Terdapat pula pot-pot besar berisi tanaman antorium maupun keladi hias yang daunnya besar-besar. Suasana senja kali ini begitu membuat jiwaku tenang sebab melihat ragam tanaman hijau yang bahkan lebih terawat dari diriku sendiri.
“Ayo masuk, Ven,” ucap Alrik setelah membuka kunci pintu rumahnya.
&n
BAGIAN 19 “Jadi … hari Minggu kemarin aku tidak sengaja jumpa dengan Alrik di warung sarapan Bu Nunung dekat kantornya Alrik, Mi. Dia lalu mentraktirku dan memberikan kartu namanya. Aku pun menghubungi Alrik untuk mengucapkan terima kasih. Alrik jadi tahu kalau aku berdagang jamu karena melihat katalog di akun bisnis WA-ku. Dia pun memesan jamu ke aku dan pagi tadi dia ambil ke rumah. Namun ….” Tenggorokanku rasanya tercekat. Sesak sekali bila mengingat detik-detik di mana Mas Zaki tiba-tiba hadir dengan kemarahan yang membabi buta. Rasa benciku pun kian membumbung tinggi bila teringat akan wajah pria jahat tersebut. “Namun apa, Ven?” desak Mami tak sabaran. “Suamiku tiba-
BAGIAN 20 Alrik betul-betul membelikanku beragam perlengkapan. Tak hanya celana dalam dan pembalut saja, tetapi sikat gigi, odol, pembersih wajah, bedak tabur, body lotion, pelembab bibir, dan parfum. Padahal, selain dua item yang kubutuhkan tersebut, tak ada yang kupinta satu pun. Untungya, yang dia belikan semua bisa kupakai. Bukan merek yang menimbulkan alergi di tubuhku. Astaga Alrik! Cowok itu betul-betul bikin aku tambah tak enak hati saja. Tahu bagaimana cara Alrik memberikan barang-barang itu? Dengan santainya dia mengetuk pintu kamar Mami setelah aku selesai mandi dan bertukar pakaian. Mami yang menerima bungkusan tersebut. Agak heran saat anak lelakinya berpesan kalau itu adalah toiletries untukku. Reaksi Mami? Agak heboh.&nb
BAGIAN 21POV AUTHORJALANG YANG MALANG “Pak polisi, izinkan saya menelepon satu orang lagi! Saya tidak akan memberikan keterangan sebelum ada yang mendampingi saya,” mohon Zaki sambil bercucuran air mata. Sedang kedua tangannya diborgol ke belakang oleh para polisi yang menangkap sekaligus menggelandangnya ke kantor polisi setengah jam lalu.Zaki sungguh tak menyangka jika dirinya yang baru saja tiba di rumah, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan empat orang berseragam preman. Empat pria bertubuh tegap itu segera menunjukkan surat perintah menangkapan, lalu memasukan Zaki ke mobil. Rumahnya pun tak ayal jadi sasaran pemeriksaan polisi. Zaki syok berat. Venda yang dia kira lugu, nyatanya senekat ini melapor ke polisi.“Enak saja kamu bilang tidak mau memberikan keterangan! Memangnya, kamu ini siapa? Jelas-jelas bukti dan saksi memberatka
Bagian 22 “Mami, Alrik, maaf tadi aku harus marah-marah,” ucapku tak enak hati kepada si tuan rumah usai menerima telepon dari Mas Zaki. “Nggak apa-apa, Ven! Mami gemas banget dengarnya. Apa kelakuan suamimu memang seperti itu dari dulu? Ya, ampun!” Mami malah gregetan. Wajahnya tampak menahan geram. Tentu saja. Siapa pun yang mendengarkan rengekan Mas Zaki di telepon tadi, pasti muak dan geram bukan kepalang. Betul-betul pria tak tahu malu. “Baru ketahuan belangnya, Mi. Dulu nggak gitu,” sahutku lemas. “Syukurlah, Ven. Itu tandanya Tuhan sayang sama kamu. Mungkin jodoh kalian hanya sebentar. Kamu harus kuat.” Alrik berkata-kata dengan bijak. Pria itu langsung menyambar segelas air putih yang
Bagian 23 [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?] Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku. [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.] Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara. [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik
BAGIAN 24 “Venda, apa kata mertuamu? Sudah selesai neleponnya?” Mami yang masih menantikan kami di meja makan, bertanya sambil bangkit dari tempat duduk. Raut wajah perempuan paruh baya dengan kulit putih dan dagu lancip tersebut tampak risau sepertinya. Aku tahu, pasti beliau ikut kalut memikirkan masalahku. “Sudah, Mi. Aku sudah beri tahu kalau anaknya sedang diperiksa oleh polisi. Begitu juga dengan iparku yang nomor satu.” Aku kembali duduk di kursi. Meraih piringku yang masih setengah isinya dan kembali makan dengan lahap. Aku tak boleh menyisakan masakan Mami, pikirku. Beliau sudah lelah menyiapkan semuanya, meskipun saat masak Mami juga pasti tak menduga bahwa aku akan datang ke sini dengan membawa masalah yang segudang.&n
BAGIAN 25 Mami mendandaniku dengan spesial malam ini. Demi mengajak jalan keluar, beliau rela mengeluarkan pakaian terbaik dari lemari besarnya di kamar. Aku segan bukan main. Setelah dipinjamkan piyama, sekarang Mami memaksaku untuk mengenakan sebuah dress selutut motif abstrak dengan warna cerah. Kombinasi antara merah muda, hijau mint, dan kuning pastel. Seperti warna minyak yang dicurah ke air. Saat melihat merek yang tertempel di belakang kerang, semakin takjub diriku. Ini baju butik karya desainer wanita ternama Indonesia. Ya ampun, beban sekali saat harus mengenakannya. “Mi, nggak apa-apa?” tanyaku gugup. “Lho, kenapa emangnya? Pakai aja, Ven. Muat kok, ini. Badan kita kan, beti. Beda tipis.” Mami t
Bagian 26 “Eh, nggak!” Aku pun akhirnya meluncurkan sangkalan kepada Alrik. “Oh, syukurlah.” Jawaban singkat Alrik bernada beda. Dia juga sepertinya sama grogi denganku bila kutelisik dari warna suaranya. Entahlah. Semoga hanya perasaanku saja. Namun, bila memang kami sama-sama grogi dan apa yang kami grogikan ternyata beralasan, artinya aku harus menyiapkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada. “Ah, apa yang harus digrogiin, sih? Emangnya Papi itu makan orang? Makin tua Papi itu makin wise, lho. Orangnya selalu bersahabat pada siapa pun. Tenang aja, Venda. Papi nggak gigit orang. Dia pasti senang kalau tahu ternyata kamu masih tinggal di dekat-dekat sini.” Mami langsung merangkul tubuhku. Beliau menepuk-nepuk lembut lengan kananku. Huhft, semoga apa yan