Mencintai orang yang salah? Aku? Kutahan tawaku, menutup mulut dengan telapak tangan saat memikirkan hal konyol seperti itu.
Namaku Masayu. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Terlebih aku dikenal cuek, dingin, tak berekspresi, dan terkesan kejam. Itulah yang membuat orang-orang akan berpikir dua kali sebelum mendekat. Alih-alih sapaan dan pujian, ejekan dan sindiran lebih akrab di telingaku. Tak masalah, kuanggap saja hal itu sebagai proses seleksi alam yang akan menunjukkan mana orang yang benar-benar tulus dan yang tidak sama sekali.
Jadi, masih ada yang berani main-main denganku? Rasanya tak mungkin.
***
“Kalau kamu, Yu? Kamu pernah punya cowok atau orang spesial, gitu? Cerita dong! Kan aku pengen tahu,” tanya Dini penasaran.
“Emmm ....” Kutelengkan kepala, melirik ke atas sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. “Entahlah. Kayaknya nggak ada.”
“Kok pake 'kayaknya' sih? Pasti ada dong? Coba ingat-ingat lagi,” perintah Dini yang belum puas dengan jawabanku.
“Coba kuingat ....”
Saat pulang sekolah beberapa tahun lalu...
“Bukkk!” Bahu kananku dihantam keras. Badanku sampai oleng dibuatnya.
“Kak Bayuuu!” teriaknya antusias, menghampiri seorang cowok tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Kuambil buku yang berserak akibat bertabrakan dengan siswi berseragam putih biru. Tanpa kusadari, ada orang lain yang ikut membantu. Diambilnya salah satu buku yang terpental paling jauh dan dikembalikannya buku itu padaku.
“Ini,” katanya dengan nada bersahabat, lengkap dengan wajah cerah dan senyum lebar.
Kuraih buku itu dengan senyum tipis lalu melangkah menjauh. Baru dua langkah, suara lantang nan familiar hadir memecah keheningan.
“Ayu! Kamu jemput aku? So sweet!” sapa kak Sinta, berlari mendekat lalu mencubit kedua pipiku penuh tenaga.
“Aaa! Kebiasaan deh,” protesku.
Suara dengusan orang di dekatku terlontar begitu saja. Sontak, kuhukum orang itu dengan tatapan tajam mematikan. Sang pelaku mengalihkan pandangan sambil mengelus leher belakangnya. Melihat itu, kak Sinta malah memperkenalkanku padanya.
“Bayu, kenalin ini adikku. Masayu namanya. Dia sekolah di SMP sebelah.”
“Oh! Hai! Aku Bayu, teman sekelasnya Sinta. Salam kenal ya, Ayu!” tanggapnya ramah.
Kuraih uluran tangannya tanpa ragu lalu menjabatnya dengan ekspresi datar khasku. Para cewek di sekitar pun riuh. Mereka begitu memuji cowok di hadapanku, juga menyebutku beruntung bisa berada di dekatnya. Hmm? Apa hebatnya? batinku yang tak tahu apa-apa waktu itu.
“Oh ya, Sin! Jaketku ada di rumahmu, kan? Aku ambil sekarang ya?”
“Oke! Kalau gitu, kamu ke rumah dulu aja sama Ayu. Aku masih mau ke ruang guru soalnya.” jawab kakakku enteng.
“Aku?” sahutku terkejut.
“Yuk!” Kak Bayu langsung menggandeng tanganku dengan sedikit menyeret agar aku mengikuti langkahnya. “Kita duluan, Sin!” pamitnya sambil melangkah lebar-lebar.
“Iya!” teriak kakakku.
Entah mimpi apa aku semalam, hingga aku harus berjalan berdua dengan cowok yang baru kukenal beberapa menit lalu. Sejenak pikiranku kosong seakan tersihir. Kucoba untuk melepaskan genggaman kak Bayu. Tapi dia malah menggandeng lenganku, memperpendek jarak diantara kita sambil terus berjalan.
“Ayu, jangan begitu! Bahaya tahu,” ujarnya memberi nasihat.
“Bahaya?! Aku udah lewat sini tiap hari. Dua kali sehari malah, berangkat sama pulang. Tahu?”
“Tetep aja, kamu itu cewek.”
Hidungku mendengus. “Baru kali ini ada yang nganggep aku cewek.”
“Hahaha! Ayu! Ayu! Lucu juga ya kamu.”
***
Bel tanda jam perkuliahan dimulai berbunyi. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk menerima materi hari ini. Beberapa teman maju ke depan untuk memulai presentasi mereka. Proyektor sudah dinyalakan, laptop sudah disambungkan, dan seluruh mahasiswa sudah memasuki ruangan. Seseorang tiba-tiba berdiri di depan tempat dudukku. Aku yang sedang asyik membaca buku, tak menghiraukan hal itu. “Mbak, mbak,” panggilnya kemudian. Tak merasa dipanggil, aku tetap fokus membaca buku. Tak lama kemudian, orang di hadapanku kembali memanggil tanpa sebutan nama sembari menepuk pelan bahuku. “Mbak,” sebutnya lebih lantang. Kudongakkan kepala lalu menatapnya lekat tanpa suara. Nana, orang yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba membeku. Matanya bergetar saat pandangan kami bertemu. Dengan segenap tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Nana mengatakan sebuah permintaan. “Aku boleh pinjam bukunya, nggak?” katanya sambil tersenyum selebar mung
Aku tiba di rumah sekaligus warung tempat ibu mencari nafkah, setelah kuseberangi jalanan di depan kampus. Dari kejauhan kak Sinta sudah memelototiku, mengambil ancang-ancang untuk menyerangku dengan omelannya. “Sin, ibu mau antar ini. Kamu jaga warung sebentar, ya?” kata ibu, siap meninggalkan tempat dengan bungkusan di tangan. “Eeeh ... Biar aku aja!” sahutku segera, mengambil alih bungkusan yang dibawa ibu. “Kamu nggak capek? Makan dulu sana,” kata ibu. “Nggak perlu. Aku antar ini dulu. Deket kok!” “Tunggu!” Kak Sinta memeriksa alamat yang tertera dalam kertas yang kubawa. “Ini kan ... Jangan-jangan, kamu masih mau ketemu–“ Kak Sinta tak menyelesaikan ucapannya. “Aku cuma mau bantu ibu anter pesanan kok!” balasku membela diri. Kucium telapak tangan ibu dan berpamitan padanya sebelum pergi menuju tempat tujuan dengan mengendarai sepeda motor. Sebuah rumah bercat putih berhiaskan kursi dan meja kayu di depan teras, tampak tak
“Kembalikan! Kembalian sekarang! Ini tasnya Dini! Jangan macam-macam kau, Pencuri!” Tak ada angin, tak ada hujan, seseorang datang dan menyebutku sebagai pencuri. Dari belakang, ditariknya tas bahu berwana pink yang bertengger di bahu kiriku. Sekuat tenaga, kupertahankan tas itu agar tak terlepas dari genggamanku. Geram akan kelakuannya, aku tak punya pilihan lain selain melawannya. “Aaw! Sakiiit!” Orang itu langsung terjatuh setelah kutendang sekali tanpa menoleh. “Ka-kamu?!” ucap si penuduh terbata-bata saat melihat wajahku. Mataku terbelalak kala mengenali orang yang sedang mengerang kesakitan itu. Aji?! Seribu kali berpikir, aku tetap tak mengerti penyebab dia bertindak demikian. Jelas-jelas, Aji tidak sedang bercanda tadi. Dia tidak mengenaliku?! Waaah! Padahal baru saja kita ketemu di ruang ujian dengan pakaian dan tas yang sama. Daya ingatnya memang payah nih orang, simpulku dalam hati. “Ma-maaf! Dari belakang
Malam menjelang. Kupandangi layar ponsel untuk waktu yang lama, menunggu kabar dari seseorang. Setelah Dini melarangku untuk datang ke kosnya tadi siang, ia belum menghubungiku juga sampai sekarang. Pesan-pesan yang kukirim pun tak kunjung direspon olehnya.Empat jam lalu, “Udah siap semuanya, Din? Hati-hati di jalan, ya!”Tiga jam lalu, “Keretanya udah berangkat?”Dua jam lalu, “Udah sampai mana, Din? Semoga lancar sampai tujuan, ya!”Satu jam lalu, “Din, udah sampai rumah?”Kekhawatiran menghinggapi hati dan pikiranku. Khawatir akan adanya bahaya yang menimpa teman terdekatku. Aku tak bisa hanya menunggu. Maka kusentuh layar ponselku, memeriksa setiap aplikasi media sosial yang kupunya untuk mengetahui kabar terbaru tentang Dini. Geser, geser, geser, mata dan tangan bersinergi untuk mencari. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu.“Home sweet home! Setelah sekian lama, akhirnya
Masa liburan berlangsung. Meski begitu, tak banyak perubahan dalam rutinitasku. Tak ada tempat wisata, tak ada juga kawan bercengkrama. Hari-hari kuhabiskan sepenuhnya di rumah. Pagi sampai sore kubantu ibu dan kakak di warung. Malamnya, kunikmati waktu luangku sejenak menonton acara televisi lalu bersiap untuk tidur. Tinggal beberapa hari lagi, batinku, menghitung hari dalam kalender yang sudah kutandai. Kubaringkan badan di atas kasur lalu menutupinya dengan selimut. Kupejamkan mata sambil mengucap doa dan harapan, hingga akhirnya aku tertidur. *** “Halo, Kak! Akhirnya diangkat juga. Apa kabar?” “Mmm ... Ayu,” jawab kak Bayu terdengar lesu. “Kakak kenapa? Lagi sakit?” “Enggak. Kamu nggak usah khawatir. Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa? Kelas dua SMA, ya?” “Iya. Aku udah kelas du–“ “Belajar yang giat ya! Sebentar lagi, kamu udah ujian. Aku juga ... udah
“Halo?” Tak ada jawaban. Panggilan telepon itu diputus setelah kujawab. Ini kali kedua nomor tersebut mematikan teleponnya setelah mendengar suaraku. Kecurigaan mulai muncul di dalam otakku. Faktor kesengajaan bisa jadi penyebab di balik semua itu. “Siapa sih? Nggak jelas banget.” *** “Yu!” Kepalaku bergerak mencari sumber suara. Ternyata bukan namaku yang dipanggil olehnya. Orang itu tengah menyapa seseorang yang tak sengaja ditemuinya di salah satu lapak penjual dekat sekolahku. Seketika itu mataku membulat, mengenali orang yang disapa barusan. Kak Bayu?! Dia ... Tapi .... Tak habis pikir aku dibuatnya, saat mengetahui kak Bayu berada di tempat itu. Padahal baru semalam, ia melarangku untuk menghubunginya lagi dan sepakat untuk fokus pada pendidikan masing-masing. Tapi sekarang, ia masih sempat-sempatnya berkeliaran di sini. Masih punya waktu luang rupanya. Aku kira, udah nggak sempet p
“Ayu ...,“ panggilnya lembut. Ditatapnya mataku lekat-lekat. Didekatkannya wajahnya perlahan.Tunggu! Dia mau apa? “Aku mau mengenalmu lebih dekat,” bisiknya di telingaku.Mataku terbelalak mendengarnya. Sekujur badanku kaku karena itu. Apa?! Orang di dekatku mendengus sambil tersenyum melihat responku. Dia bahkan tak sungkan lagi menggodaku. “Gemes,” ungkapnya kegirangan sambil mencubit sebelah pipiku. Tak ingin dipermainkan, maka kuperingatkan ia dengan tatapan tajam dan ekspresi geram. Aji pun gentar. Dijauhkannya segera tangannya dari pipiku, berdehem lalu mengalihkan pandangan ke sebarang arah.Kurapikan tas berisi oleh-oleh pemberian Dini. “Aku harus pulang.”“Aaa!” Aji merangkul lenganku erat sambil berteriak. Kepalanya ditumpukannya di atas lenganku seenaknya sendiri.“Ji, lepas,” perintahku, “lepas selagi kuberi tahu baik-baik,&r
Kududuk di pinggiran tempat tidur sambil merentangkan kedua tangan ke udara. Tak ingin bermalas-malasan, segera kurapikan seprai yang membungkus kasur, bantal, guling, juga selimut. “Nggak perlu ke pasar, Yu! Bahan-bahan sudah diantar penjualnya semalam,” ujar ibu sesaat setelah kubuka pintu kamarku. “Sip!” Kutunjukkan senyum terbaikku padanya. “Habis ini aku ke taman ya, Bu!” “Iya, hati-hati!” Aku siap untuk pergi. Kugunakan pakaian nyaman nan hangat, mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca di luar ruangan. Pemandangan pagi buta menyambutku saat kubuka pintu rumahku. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara yang berhembus pun dingin rasanya. Letak rumah yang strategis membuatku cepat sampai ke tempat tujuan. Hatiku senang, langkah kakiku makin ringan. Suasana di taman masih sepi, belum ada orang yang berlalu lalang di sana. Aku makin kegirangan sebab bisa berkeliling dengan nyaman. Kutarik napas dalam-dalam sebelum memulai pemanasan.