Share

Bab 1 – Kurang Terkenal

Bel tanda jam perkuliahan dimulai berbunyi. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk menerima materi hari ini. Beberapa teman maju ke depan untuk memulai presentasi mereka. Proyektor sudah dinyalakan, laptop sudah disambungkan, dan seluruh mahasiswa sudah memasuki ruangan.

Seseorang tiba-tiba berdiri di depan tempat dudukku. Aku yang sedang asyik membaca buku, tak menghiraukan hal itu.

“Mbak, mbak,” panggilnya kemudian.

Tak merasa dipanggil, aku tetap fokus membaca buku. Tak lama kemudian, orang di hadapanku kembali memanggil tanpa sebutan nama sembari menepuk pelan bahuku.

“Mbak,” sebutnya lebih lantang.

Kudongakkan kepala lalu menatapnya lekat tanpa suara. Nana, orang yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba membeku. Matanya bergetar saat pandangan kami bertemu. Dengan segenap tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Nana mengatakan sebuah permintaan.

“Aku boleh pinjam bukunya, nggak?” katanya sambil tersenyum selebar mungkin.

Belum kujawab, Nana menyatukan kedua telapak tangannya di depanku. Dia memohon sambil memejamkan mata, menambah kesan bahwa ia sedang putus asa.

“Pliiis! Sebentaaar aja buat presentasi. Setelah itu langsung aku kembaliin. Janji! Boleh, ya?”

Melihat itu, kuhela napas panjang lalu menutup buku yang kupegang rapat-rapat. Kuletakkan buku itu di atas telapak tangannya, mengizinkan Nana untuk meminjamnya sebentar. Nana terlihat bahagia sekaligus lega. Ia pun berulang kali berterima kasih padaku sebelum kembali ke tempat duduknya.

Dia membuatku terlihat buruk saja, batinku, menganggap perlakuan Nana terlalu berlebihan.

Benar saja. Akibat melihat adegan barusan, seisi kelas memandangiku dengan tatapan dan ekspresi aneh. Pesan yang kutangkap dari ekspresi tersebut adalah mereka menyalahkanku, sebab bersikap terlalu keras pada Nana. Anehnya, mereka dengan mudahnya menaruh simpati pada Nana yang merasa ketakutan meski tak kuapa-apakan.

Sang dosen memasuki ruangan. Presentasi Nana dan kelompoknya dimulai setelah dosen memeriksa kehadiran. Perkuliahan berjalan lancar dan cukup menantang untuk menahan lapar dan kantuk, sebab terjadwal di jam makan siang.

“Ada pertanyaan lagi?” tanya dosen di menit-menit akhir.

Hening. Makin banyak mahasiswa yang memijat pelipis dan kelopak mata, tak tahan lagi melawan rasa kantuk yang makin menyiksa. Beberapa dari mereka terus-terusan menguap. Sampai akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bel tanda berakhirnya perkuliahan berbunyi. Kelas berakhir, sang dosen mengucapkan salam lalu meninggalkan tempat.

“Ini Na, bukunya.”

“Oh, iya.” Nana menerima buku yang diserahkan teman sekelompoknya sambil tersenyum. “Eh, tadi aku pinjam ke siapa ya?” katanya spontan.

Apa?! Jangan bilang ..., batinku yang sudah merasa tak enak.

Beberapa saat kemudian...

“Na! Nana! Nana!” berulang kali kusebut nama itu, memanggil seseorang yang telah meminjam bukuku tadi.

Orang yang dipanggil tak kunjung merespon. Ia malah asyik mengobrol dengan teman lain. Aku tak menyerah. Kubuntuti dia sampai depan pintu kelas, lalu kutepuk bahunya agar ia menoleh. Nana tampak kebingungan. Dia hanya terdiam dan memandangku dengan tatapan kosong seperti orang linglung.

“Na! Bukuku,” Kubuka telapak tangan lebar-lebar, menagih janjinya untuk mengembalikan buku itu setelah presentasi usai.

Nana masih membeku. Sedangkan teman yang berjalan bersamanya menanyakan sesuatu yang membuatku jengkel. “Kamu kenal dia, Na?” tanyanya tanpa beban. Lebih parahnya Nana menggeleng. Ia malah menyebutku telah salah orang lalu pergi begitu saja.

Dia hilang ingatan, apa? Secepat itu?

***

“Butuh bantuan?” tanya kak Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

Kuhembuskan napas berat, merasa kedatangannya tak berada di waktu yang tepat. Kulangkahkan kaki untuk mengejar seseorang yang sedari tadi sengaja mengabaikanku. Namun kak Bayu buru-buru menghadangku.

“Eit, tunggu sini. Serahkan padaku!” katanya enteng, merasa yakin bisa menyelesaikan masalahku.

***

“Butuh bantuan?” Kalimat itu berhasil membuatku tersentak.

“Kamu ngelamun, Yu?” Dini terbahak melihat ekspresi terkejutku. “Akhirnya ya, aku bisa ngagetin seorang Ayu. Hahaha!” serunya penuh kemenangan sambil menggelayuti bahuku.

“Puas?” sahutku dingin. Kujauhkan tangan Dini lalu bergegas untuk mengambil bukuku kembali. “Maaf Din, aku harus ngejar Nana sekarang.”

“Tenang,” kata Dini, menahan kepergianku dengan jabatan tangannya. “Aku tahu ke mana perginya Nana,” tambahnya yakin.

“Ke mana?” tanyaku.

"Ikut aku!" jawab Dini, menyeretku menuju suatu tempat.

“Loh–“ sahutku heran, saat Dini menuntunku ke arah jalan yang berbeda dengan jalan yang diambil Nana.

“Udah ikut aja.”

Aku dan Dini tiba di kantin kampus. Keramaian pengunjung sudah terlihat dari luar. Mengetahui itu, Dini tak gentar. Dia nekat menerobos kerumunan sambil menggandengku erat. Mau tak mau aku mengikuti langkahnya meskipun bahu dan lenganku harus terus bersenggolan dengan orang-orang yang berlalu lalang.

“Nana beneran ke sini kan, Din?” tanyaku, mulai meragukan informasi yang diberikan Dini.

“Iya. Bentar lagi juga, Nana sampai. Percaya aja deh sama aku,” jawab Dini tanpa ragu. Disusurinya setiap sudut dalam ruangan dengan pandangannya. Dia pun celingukan beberapa kali, mencari keberadaan seseorang yang kuanggap itu Nana. Setelah lama mencari, akhirnya Dini memanggil seseorang dari kejauhan. “Ji!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

“Ni!” jawab orang yang dipanggil, membalas lambaian tangan Dini.

Ji? pikirku heran kala Dini mencari Aji bukannya Nana.

Aji segera menghampiri Dini setelah dipanggil. Mereka berdua pun melakukan tos dengan akrabnya. Sementara aku hanya diam, berdiri di belakang Dini dengan tangan yang masih digenggam bak tawanan.

“Kalau ada traktiran aja, cepet!” omel Aji.

Traktiran? batinku tak tahu menahu.

Dini meringis. “Mumpung ada gratisan. Lumayan!”

“Dasar pejuang gratisan!” ejek Aji penuh canda. Didongakkannya kepala tinggi-tinggi, mengintip rupaku di balik badan Dini. "Ngomong-ngomong lu ajak siapa, Ni? Saudara? Temen baru? Kok nggak pernah lihat?" tanya Aji, menanyakan identitasku pada Dini.

Mata Dini terbelalak mendengar pertanyaan Aji. “Ji? Kamu nggak tahu?!”

Aji menggeleng. Dini menepuk dahi karenanya. Ternyata Aji belum mengenalku. Sekedar mengetahui namaku pun tidak. Padahal, selama tiga semester kita berada dalam jurusan yang sama. Bahkan, tak jarang juga kita satu kelas.

“Ini Masayu! Teman seangkatan kita! Baru kemarin kita sekelas sama dia. Kamu lupa?!” jelas Dini.

“Oh ya?” jawab Aji, tak menyangka sebelumnya. Deheman keluar dari tenggorokannya. Sebuah alasan ia lontarkan untuk menutupi rasa malunya. “Ya ... lu tahu sendiri, Ni! Urusan gue banyak. Wajar aja kalau lupa.” Tak tahu apa-apa, Yadi yang baru datang diseret dalam perbincangan.

“Di!” Aji memegang bahu Yadi yang melintas untuk menghentikan langkahnya. “Lu kenal dia?” tanyanya tiba-tiba, menunjukku dengan tangannya.

Orang yang ditodong pertanyaan hanya terdiam, tak bersuara. Melihat respon tersebut, Aji menunjukkan senyumnya. Tak hanya Yadi, Aji juga menanyai beberapa teman lain di sana. Mereka pun memberi respon yang tak jauh berbeda. Sebagian dari mereka menggeleng, sebagian lainnya tak menjawab seperti Yadi.

“Jangan salahin gue, Ni! Buktinya... nggak hanya gue kan, yang nggak kenal?” ucap Aji membela diri.

Ya. Memang aku nggak terkenal. Kenapa? Ada masalah? gerutuku dalam hati.

Dini tak berkutik. Sedangkan Aji makin banyak berbicara setelah memenangkan perdebatan. Dia bahkan melontarkan saran memerintah bak seorang senior yang berkuasa.

“Ternyata jadi ketua angkatan itu susah ya, Ni! Mahasiswa seangkatan jumlahnya banyak, sedangkan gue cuma satu orang. Jangankan hafal nama mereka satu per satu. Bedain wajah mereka aja susahnya minta ampun. Belum lagi urusan organisasi. Anggota gue banyak, gimana bisa hafal? Makanya kalau mau gue kenal itu, sering-sering aktif kegiatan organisasi. Atau ... sering-seringin ikut acara kumpul-kumpul. Tiap malem gue nongkrong di kafe sebelah kok, bareng temen-temen lain juga. Belajar bareng, ngerjain tugas bareng, atau sekedar ngobrol santai dan ngopi bareng. Adik-adik tingkat aja, banyak yang ikut. Kalau hanya ngandelin ketemu di kelas sih, nggak akan cukup. Mana bisa gue kenal? Apalagi akrab. Susah.”

Tak tahan dengan ucapan Aji, kucoba melepaskan genggaman tangan Dini agar bisa pergi. Tak kupedulikan lagi keberadaan Nana yang membawa bukuku tadi. Sayangnya Dini menyadari pergerakanku. Dia berbisik, menyuruhku untuk menunggunya sebentar. Nyatanya, dia tak kunjung selesai beradu mulut dengan Aji.

“Din, aku harus pulang sekarang. Aku harus bantu ibu di warung,” ucapku agar Dini mau melepaskanku.

“Sebentar aja, Yu! Kamu harus sering-sering ikut acara begini tau, biar lebih dikenal.” Dini malah memberi jawaban menohok.

Seseorang datang lalu menepuk bahu Aji dari belakang. “Aji! Maaf ya, aku lama datangnya. Aku masih kebagian jatah, kan?”

“Nana!” Wajah Aji langsung cerah seketika saat melihat rupa Nana. “Jelas dong! Kamu kan, udah masuk daftar undangan. Daftar paling atas malah,” tambahnya berseri-seri.

“Kalau gitu aku dapat menu paling spesial, dong?” timpal Nana.

“Mau menu apa? Langsung pesen aja! Buat kamu, apa sih yang nggak?” rayu Aji.

“Iya-iya, yang lagi kasmaran. Giliran Nana aja, langsung disuruh pesen. Kita berdua nih, udah berdiri dari tadi nggak dikasih apa-apa. Malah diomelin yang iya. Disuruh duduk pun nggak, loh!” protes Dini terang-terangan.

“Jangan dengerin, Na! Si Dini sirik lihat kita.”

“Na!” Kutunjukkan rupaku di depan Nana. Tanpa basa-basi kulancangkan aksiku sesuai niat awal. “Tolong kembaliin bukuku,“ pintaku baik-baik sembari menunjuk buku yang ia gendong.

“Maaf, siapa ya?” jawab Nana, masih belum bisa mengingatku.

“Hei, jangan sok akrab dong!” tegur Aji, menjauhkanku dari Nana.

Hidungku mendengus. Senyum seringaiku muncul. “Mau ambil buku sendiri pun, susah.”

“Ji! Na! Begini–“ Kuhentikan Dini yang hendak memberi penjelasan dengan menjulurkan tanganku padanya.

“Nana,” panggilku lembut dengan wajah datar. “Aku nggak tahu ya, kalau kamu bakal sepelupa ini. Tapi, oke! Aku bakal jelasin. Buku yang kamu bawa itu adalah bukuku. Buku yang kamu pinjem di kelas barusan sebelum presentasi. Yang janjinya cuma pinjam sebentar lalu langsung dikembaliin itu. Ingat?”

Suasana menjadi tegang. Nana terlihat tercengang. Sampai-sampai ia tak memberi respon sedikit pun padaku. Saat Aji menanyakan kebenarannya, Nana hanya menjawab tak tahu apa-apa dengan suara gemetar.

“Kamu bisa cek. Di dalamnya ada namaku. Masayu Putri, jurusan bisnis manajemen, angkatan 2015,” tambahku.

Nana membuka buku di tangannya. Dibacanya tulisan yang tertulis di dalamnya, memastikan bahwa penjelasanku benar adanya. Aji ikut melihat bagian dalam buku tersebut. Bukannya langsung menyerahkan buku itu, Aji malah menyuruhku menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) untuk mencocokkan identitas terlebih dahulu.

“KTM?!” Kuhela napas panjang sebelum mengeluarkan kartu mahasiswaku dari dalam tas. “Nih,” seruku, menunjukkan nama yang tertera dalam kartu.

“Ji! Dini sama Masayu nggak disuruh duduk dari tadi? Yang lainnya udah pada makan, lho! Lu mau, mereka cuma ngelihatin doang?” Dimas datang, memprotes sikap Aji.

“Lu kenal dia, Dim? Nggak mungkin! Temen-temen lain lho, nggak tahu,” sahut Aji yang masih ingin berdebat soal identitasku.

Dimas mendengus akibat menahan tawa. “Ketua angkatan macam apa lu? Nggak tahu teman seangkatannya sendiri. Masayu itu satu kelompok sama gue di kelas komunikasi bisnis. Yang bukunya lu pinjem buat tugas! Tugas yang lu kerjain kebut semalem itu!”

Aji nyengir sembari menggaruk kepala. “Oh ... itu,” ucapnya, mulai merendahkan suara.

“Mana bukuku?” tagihku, tak ingin berlama-lama di tempat itu, “aku udah ceritain kronologi Nana minjem bukuku, kalian juga udah cek nama di buku itu, bahkan aku udah tunjukin KTM-ku, terus... kurang apa lagi?”

“Lu bener-bener parah, Ji! Masa iya, lu suruh Masayu tunjukin KTM-nya? Buat ambil bukunya sendiri? Waaah!” timpal Dimas dengan ekspresi terheran-heran.

“Salah sendiri, kurang terkenal. Kita mana tahu kalau dia pemilik aslinya. Ya kan, Na?” kata Aji yang tak mau kalah.

“Yeee, bukannya minta maaf malah ngeles. Tahu terima kasih nggak, sih?” ujar Dimas menasihati.

Ponsel dalam sakuku bergetar. Kuambil ponsel itu lalu kujawab panggilan telepon yang masuk. Tak lupa kulantangkan suaraku agar terdengar di tengah keramaian yang ada.

“Halo, Kak! Iya, ini mau pulang.” Kuambil bukuku dari tangan Nana secepat kilat. “Lima menit lagi aku sampai.” Kulambaikan tanganku pada Dini sebelum akhirnya kutinggalkan dia di tempat yang itu, sembari berdialog dengan kakak melalui telepon. “Apa, Kak? Kakak buru-buru? Maaf, soalnya tadi ada urusan. Ini aku udah jalan kok.” Tak kuhiraukan suara Dini yang terus memanggil namaku semenjak aku berjalan menjauh. Kupercepat langkahku, meninggalkan kantin tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

“Akhirnya bisa keluar juga dari sana,” gumamku, memasukkan buku dan kartu identitas dalam tas.

“Halo? Halo? Ayu?!”

“Iyaaa,” jawabku malas-malasan, melanjutkan percakapan dengan kakak melalui telepon.

“Kamu denger nggak, sih? Kakak bilang, nggak perlu buru-buru pulangnya. Kok malah langsung pulang? Nggak nyambung banget.”

“Hmm,” balasku acuh tak acuh.

“Ibu udah kasih pengertian, kalau kamu juga perlu kumpul sama temen-temen. Di sini juga, udah ada kakak yang bantu ibu. Percayain aja sama kakak. Kakakmu ini bisa diandelin, tahu?”

“Nggak tahu,” jawabku datar.

“Ayuuuu!!!” teriaknya kesal. Terdengar helaan napas panjangnya sebelum kembali mengomel. “Ya emang sih, kerja kakak nggak cepet-cepet amat kayak kamu. Tapi hasilnya–“

“Nggak bagus-bagus amat juga, kan?” ucapku, menyela perkataan kak Sinta.

“Ayuuu!!!” teriaknya sekali lagi.

“Udah dulu ya, Kak! Aku mau nyebrang. Jangan teriak-teriak terus! Kalau pelanggan ibu takut, gimana? Dah!” Kumatikan panggilan telepon kakak sebelum mendengar jawaban darinya. Kuseberangi jalanan di depan warung dengan tenang, setelah memastikan keadaan jalan lengang.

*************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status