“Kembalikan! Kembalian sekarang! Ini tasnya Dini! Jangan macam-macam kau, Pencuri!”
Tak ada angin, tak ada hujan, seseorang datang dan menyebutku sebagai pencuri. Dari belakang, ditariknya tas bahu berwana pink yang bertengger di bahu kiriku. Sekuat tenaga, kupertahankan tas itu agar tak terlepas dari genggamanku. Geram akan kelakuannya, aku tak punya pilihan lain selain melawannya.
“Aaw! Sakiiit!” Orang itu langsung terjatuh setelah kutendang sekali tanpa menoleh. “Ka-kamu?!” ucap si penuduh terbata-bata saat melihat wajahku.
Mataku terbelalak kala mengenali orang yang sedang mengerang kesakitan itu. Aji?! Seribu kali berpikir, aku tetap tak mengerti penyebab dia bertindak demikian. Jelas-jelas, Aji tidak sedang bercanda tadi.
Dia tidak mengenaliku?! Waaah! Padahal baru saja kita ketemu di ruang ujian dengan pakaian dan tas yang sama. Daya ingatnya memang payah nih orang, simpulku dalam hati.
“Ma-maaf! Dari belakang, aku kira siapa,” ucap Aji dengan wajah pucat. Gemetaran, Aji menyentuh layar ponselnya. “A-aku harus pergi. Ada urusan mendadak,” katanya membuat alasan lalu berjalan cepat setengah berlari meninggalkanku sendiri.
Aku mendengus sambil membatin, Alasan yang bagus untuk melarikan diri.
Lagi-lagi tas bahu warna pink itu ditarik. Meski tarikannya tak sekuat orang sebelumnya, aku harus tetap waspada. Reflek, kugenggam tas itu lebih erat agar tak terlepas. Tapi lenganku malah ditepuk karenanya.
“Yu! Aku mau ambil tasku. Mau sampai kapan kamu bawain tasku?”
Ternyata Dini yang menarik tasnya. Tanpa kuketahui dia keluar dari toilet setelah Aji melarikan diri. Kusunggingkan senyum penuh kelegaan pada Dini. Akhirnya tas bahu itu kembali pada pemiliknya.
Kulepaskan ikatan rambutku sambil berjalan. Kuceritakan pada Dini, perbuatan Aji yang meneriakiku sebagai pencuri tas miliknya. Sepanjang jalan, Dini pun tak henti-hentinya terbahak mendengar isi curhatanku.
“Yu! Aku tunggu di kosan ya? Jangan lama-lama,” kata Dini sebelum pergi, “satu lagi. Jangan lupa makanannya! Itu yang penting. Menunya kayak biasa. Kamu tahu kan, seleraku? Nanti aku bayar di kos,” tambahnya.
“Siap! Pesanan anda akan segera diantar,” balasku ramah bak seorang customer service.
Aku dan Dini berpisah di depan rumah sekaligus warung ibuku. Sebelum masuk rumah, kuingatkan Dini sekali lagi agar ia menyiapkan kebutuhan pulang kampungnya dengan teliti. Untungnya dia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya. Keceriaan dalam wajahnya pun telah kembali.
“Sarah!” Wajahku terangkat saat melihat wajah lucu keponakanku yang masih balita. “Atututu, atuu,” ucapku, mencoba berkomunikasi dengan bahasa bayi.
Sarah tertawa mendengar ucapan anehku. Reaksinya memang tak pernah mengecewakan. Rasa lelah dan gerah yang kurasakan pun reda setelah melihat ekspresinya. Kucubit pipi orang yang sedang menggendong Sarah, yaitu kakakku. Dengan wajah lelahnya, kak Sinta masih sempat mengomel dan menyuruhku segera makan siang.
“Kaaak, aku mau ke kos Dini sebentar. Mau antar makanan, sekalian bantu dia siap-siap buat pulang kampung.”
“Oke! Hari ini kakak lagi senggang. Suami kakak ada lembur. Jadi kakak bisa bantu ibu sampai tutup nanti.”
“Dini pesan apa, Yu?” sahut ibu, menanyakan makanan yang dipesan Dini.
Kusebutkan menu yang biasa dipesan Dini pada ibu. Kakak dan ibu pun menyuruhku agar tak buru-buru pulang dan menemani Dini hingga saat keberangkatannya tiba. Aku manggut-manggut tanda mengerti. Aku lega. Itu artinya, aku bisa pergi ke tempat kos Dini tanpa khawatir dengan pekerjaan di warung.
Setelah menyantap makan siang dengan lahap, kuambil sebungkus makanan yang sudah disiapkan ibu. Kucepol rapi rambut panjangku dengan cepat agar tak menghalangi penglihatan. Kuajak Sarah sekalian, agar kakak tak kerepotan menjaganya sembari membantu ibu. Semuanya siap, tinggal berangkat.
“Yu! Antar ini sekalian ya, di kos belakang,” perintah ibu, menyerahkan seporsi makanan yang baru dibungkusnya.
Kupastikan semua barang bawaanku lengkap dan tak ada yang terlewat. Sambil menggendong Sarah dengan gendongan yang terpasang di depan, kutelusuri jalanan dalam gang dengan berjalan.
“Makasih banyak ya, Bro! Kalau nggak ada lu, gue bakal kesepian malam ini.” Suara itu terdengar tak asing bagiku.
Benar saja. Saat tiba di depan kos yang ditunjuk ibu untuk mengantar makanan, secara kebetulan aku bertemu Aji. Dia sedang berbincang dengan si pemesan makanan yang kubawa. Dengan tenang, kuberikan bungkusan itu pada orang yang berada di hadapan Aji.
“Dia doang? Aku? Nggak dikasih?” kata Aji.
“Totalnya sepuluh ribu,” ucapku, menyebutkan harga makanan yang kuantar.
“Ini beli, Ji! Bukan dikasih,” jawab teman Aji sambil terkekeh. “Emangnya lu kenal? Jangan sok akrab deh,” tambahnya, mengejek temannya sendiri.
Kuucap terima kasih dengan seulas senyum setelah menerima uang pembayaran. Kutinggalkan tempat itu tanpa basa-basi dan melanjutkan perjalanan menuju kos Dini. Baru beberapa langkah, Dini menelepon. Kuangkat panggilan telepon darinya dan mengatakan bahwa aku akan segera tiba di sana.
“Iya, Din! Ini aku mau sam–“
“Yu! Kamu nggak perlu ke sini sekarang. Udah ada yang bantuin aku soalnya. Maaf ya, aku terus-terusan ngerepotin kamu,” sahutnya terburu-buru.
“Tapi, Din–”
“Udah jangan nolak, aku jadi nggak enak nanti. Jangan khawatir! Kalau udah berangkat keretanya, aku bakal kabarin kamu. Sampai ketemu semester depan, Yu!”
“Din? Halo? Halo?”
Panggilan telepon Dini berakhir sampai di situ. Mau tak mau, aku harus kembali ke rumah. Kalau dia inginnya seperti itu, aku tak bisa memaksa. Dengan langkah berat, kubawa pulang makanan yang telah disiapkan untuk Dini.
“Sarah, udah makan belum? Mau lalapan ayam? Mumpung masih anget nih!” Kudekatkan bungkusan yang kubawa pada keponakanku.
“Mamamam, mamam,” jawab Sarah menggemaskan sambil menunjuk kantong kresek yang kutenteng.
Sedang asyik-asyiknya menggoda Sarah, tak kusadari ada seseorang yang tengah berdiri di dekatku. Dia senyum-senyum sendiri melihat kelakuanku. Orang itu adalah Aji. Lagi-lagi aku bertemu dengan orang yang tak mengenaliku dari belakang itu.
“Lucu banget! Siapa namanya?” tanya Aji, menyentuh pipi tembam Sarah tanpa permisi.
Sok akrab banget. Emangnya kenal? batinku.
“Ini keponakanmu? Gemeees! Jadi pengen cubit tantenya. Eh,” ucapnya tak tahu malu.
Nggak salah sasaran nih orang? batinku terheran-heran.
Aku tertawa datar menanggapi rayuan kuno Aji. Sementara dia malah tersenyum tanpa beban. Aji memang tukang modus yang ulung rupanya. Kata-kata seperti itu, pasti sering diucapkannya sampai hafal di luar kepala.
Mata Aji tertuju pada bungkusan yang kubawa. Hidungnya mengendus-endus, mendekat ke sumber aroma. Alisnya terangkat, pupil matanya membesar. “Hmm, baunya enak! Aku boleh beli ini, nggak? Kebetulan, aku belum beli makan siang.”
“Nih, harganya dua belas ribu.” Kusodorkan bungkusan berisi ayam goreng, nasi hangat, dan sayur lalap beserta sambal yang menggugah selera di hadapan Aji.
“Beneran?” Diterimanya bungkusan itu tanpa ragu.
“Hmm,” jawabku.
“Waaah! Aku beruntung!” ungkap Aji saking senangnya. Dia terdiam beberapa saat, memandangi isi dalam bungkusan yang kuberikan. “Tapi beneran enak nggak, nih?” tanyanya, merasa ragu tanpa alasan. “kalau nggak enak, kamu harus balikin uangku pokoknya.”
Aku mengangguk malas-malasan. “Ya ... aku bakal balikin uangnya. Tapi kalau kamu juga balikin nasi, lauk, sayur dan sambalnya. Paling nggak, porsinya masih ada tiga per empat bagian. Lebih dari itu aku nggak mau terima. Kalau cuma bilang nggak enak tapi makanannya habis, sama aja bohong. Itu namanya mau makan enak, tapi nggak mau bayar.”
Aji tiba-tiba bertepuk tangan. Dia pun mengelus pipi Sarah sekali lagi. “Tantemu memang cerdas! Aku jadi yakin kalau makanan ini benar-benar enak. Ini uangnya.”
Nampaknya Aji memang tak mau membiarkanku tenang. Tak langsung memberikan uangnya padaku, ia malah menggerak-gerakkan uang di tangannya agar aku kesulitan untuk meraihnya. Sejenak aku terdiam dan menghentikan pergerakan. Saat Aji lengah, kucomot uang dalam genggamannya sebelum dia kembali berulah. “Aku harus pergi. Ada urusan mendadak,” ucapku, meniru alasan Aji lalu pergi melarikan diri.
“Maaf ya, Sarah! Kamu jadi keringetan.” Kukibas-kibaskan tanganku di dekat wajahnya, agar keponakanku merasa sejuk di sepanjang perjalanan pulang.
Aku sampai di rumah. Mengetahui kepergianku yang singkat, kakak dan ibuku memasang wajah penuh keheranan. Kuturunkan Sarah dari gendongan dan kutemani dia duduk di atas sofa. Sesekali, kugoyang-goyangkan mainan dengan suara gemerincing agar Sarah tak merasa bosan.
Kak Sinta membawa sebotol susu hangat untuk anaknya. Setelah menghabiskan minumannya, Sarah langsung tertidur dengan mudahnya.
“Cepet banget baliknya. Udah ke kosnya Dini?” Kakak membuka sesi interview denganku dengan suara lirih.
“Udah.”
“Harusnya kamu nggak buru-buru baliknya,” kata kak Sinta, menyayangkan tindakanku.
“Makanannya udah dikasih, Yu?” timpal ibu yang berjalan melintas, ikut menanyaiku.
“Udah.”
“Kalian nggak berantem, kan?” celetuk kakak, masih memelankan suaranya.
“Enggak,” jawabku singkat dan datar seperti sebelumnya.
“Dia suka makanannya, Yu?” tanya ibu lagi setelah mengambil lap bersih.
Wajah bahagia Aji saat mendapat makanan, terlintas. “Hmm, baunya enak! Aku boleh beli ini, nggak? Kebetulan, aku belum beli makan siang.” Mencium aromanya saja, membuat dia mengeluarkan ekspresi sesenang itu. Apalagi saat tahu rasa makanannya nanti.
“Suka. Kelihatannya doyan malah,” jawabku.
Jawaban itu membuat ibu lega. Kuserahkan sejumlah uang pada ibu, menyetorkan pembayaran makanan yang kuantar.
“Pasti suka lah! Bumbu ungkepan Ibu kan, paling the best! Memangnya ada yang bisa nolak?” sahut kakak antusias, penuh keyakinan.
“Ada. Tuh, mantan terindah Kakak,” ejekku, menggoda kak Sinta dengan senyuman.
“Ish!”
Kak Sinta murka. Dia beranjak dari sofa dan mengejarku sambil membawa bantal. Kukeluarkan jurus langkah seribu menuju kamar, lalu kukunci pintu rapat-rapat secepat kilat.
“Aku tidur siang dulu ya, Kak! Jangan diganggu!” kataku dari balik pintu.
“Keluar, Yu! Awas ya!” omel kak Sinta, terus menggedor kamarku.
“Udah, Sin! Biarin aja Ayu tidur. Dia pasti capek habis ujian,” ucap ibu, berusaha menghentikan keributan.
“Sssttt! Jangan berisik, Kak! Sarah lagi tidur. Kalau dia kebangun, gimana?”
Aku terkekeh. Kak Sinta terkena skakmat omonganku. Dia akhirnya berhenti menggedor pintu kamarku dan pergi tanpa aba-aba. Tak ada yang menggangguku lagi sekarang. Aku pun bisa tidur siang tanpa hambatan.
Dua jam kemudian...
Aku keluar kamar menuju halaman belakang. Masih dengan muka bantal dan setelan piyama yang kupakai, kuangkat jemuran yang tersampir di sana. Sesekali aku menguap, merasakan sisa-sisa kantuk yang masih ada.
“Ini dia! Udah bangun? Nih, kakak bantuin biar makin melek.”
Kak Sinta menjewer telingaku. Dia masih menyimpan dendam rupanya. Dia menghukumku sebab tersinggung dengan perkataanku tentang mantan kekasihnya. Aku menjerit kesakitan. Kupegangi tangan kakak, berusaha melepaskannya dari daun telingaku.
“Udah dong, Kak! Masih dendam aja.”
“Hai!” Seseorang menyapaku sambil melambaikan tangan.
Aji?!
Kukucek mataku beberapa kali, memastikan yang kulihat bukanlah mimpi. Tak pernah terbayang olehku, seorang Aji akan menyapaku hari ini. Saat telingaku dijewer oleh kak Sinta, secara kebetulan Aji melintas di belakang rumah. Otomatis, Kak Sinta menghentikan jewerannya. Sementara aku hanya bengong, tak bereaksi.
“Makasih ya! Lalapannya enak banget! Sumpah! Besok-besok, aku pasti mampir ke warungmu.”
“Hahaha,” jawabku gugup dengan senyum dipaksakan.
Kak Sinta memandangiku penuh tanda tanya. Kuhindari tatapannya, tak ingin diinterogasi olehnya.
“Makanan di sini enak-enak, lho! Sering-sering mampir aja! Kamu, temannya Ayu?” Kak Sinta malah menginterogasi Aji.
“Iya. Saya Aji, teman sekelasnya.”
Tumben ngaku. batinku, memasukkan satu per satu jemuran dalam keranjang tanpa menghiraukan kehadiran Aji.
“Kalian berdua sekelas! Ngobrol-ngobrol dulu aja di dalam!” ucap kak Sinta antusias berlebihan.
Kusenggol kaki kakakku karena kesal. Bisa-bisanya kak Sinta mengajak orang yang baru dikenalnya untuk mengobrol di dalam rumah dengan entengnya. Untungnya Aji menolak. Dia hendak pergi ke tempat kos temannya, katanya. Malam ini dia menginap di sana, sebab tak ingin tidur sendirian di kontrakan. Itulah solusi yang ditempuh Aji, kala teman-teman satu kontrakannya sudah berangkat ke kampung halaman masing-masing.
“Jangan kapok temenan sama Ayu ya, Ji! Dia memang agak galak. Tapi sebenarnya adikku ini baik dan perhatian kok,” tutur kak Sinta sebelum Aji pergi.
Hadeeh, Kakak ini! gumamku, pergi membawa keranjang penuh pakaian kering menuju bangku. Baru menjauh, Aji malah mengatakan sesuatu pada kak Sinta yang membuatku makin tercengang.
“Jangan khawatir, Kak! Adiknya Kakak baik kok! Pintar pula!” puji Aji tentangku.
Aku mendelik mendengar pujian itu. Perkataan Aji barusan, membuat langkahku terhenti. Sel-sel dalam otakku bekerja keras, mencari sebab akan perubahan sikap Aji yang tiba-tiba.
Nih orang kesambet apaan?
*************
Malam menjelang. Kupandangi layar ponsel untuk waktu yang lama, menunggu kabar dari seseorang. Setelah Dini melarangku untuk datang ke kosnya tadi siang, ia belum menghubungiku juga sampai sekarang. Pesan-pesan yang kukirim pun tak kunjung direspon olehnya.Empat jam lalu, “Udah siap semuanya, Din? Hati-hati di jalan, ya!”Tiga jam lalu, “Keretanya udah berangkat?”Dua jam lalu, “Udah sampai mana, Din? Semoga lancar sampai tujuan, ya!”Satu jam lalu, “Din, udah sampai rumah?”Kekhawatiran menghinggapi hati dan pikiranku. Khawatir akan adanya bahaya yang menimpa teman terdekatku. Aku tak bisa hanya menunggu. Maka kusentuh layar ponselku, memeriksa setiap aplikasi media sosial yang kupunya untuk mengetahui kabar terbaru tentang Dini. Geser, geser, geser, mata dan tangan bersinergi untuk mencari. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu.“Home sweet home! Setelah sekian lama, akhirnya
Masa liburan berlangsung. Meski begitu, tak banyak perubahan dalam rutinitasku. Tak ada tempat wisata, tak ada juga kawan bercengkrama. Hari-hari kuhabiskan sepenuhnya di rumah. Pagi sampai sore kubantu ibu dan kakak di warung. Malamnya, kunikmati waktu luangku sejenak menonton acara televisi lalu bersiap untuk tidur. Tinggal beberapa hari lagi, batinku, menghitung hari dalam kalender yang sudah kutandai. Kubaringkan badan di atas kasur lalu menutupinya dengan selimut. Kupejamkan mata sambil mengucap doa dan harapan, hingga akhirnya aku tertidur. *** “Halo, Kak! Akhirnya diangkat juga. Apa kabar?” “Mmm ... Ayu,” jawab kak Bayu terdengar lesu. “Kakak kenapa? Lagi sakit?” “Enggak. Kamu nggak usah khawatir. Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa? Kelas dua SMA, ya?” “Iya. Aku udah kelas du–“ “Belajar yang giat ya! Sebentar lagi, kamu udah ujian. Aku juga ... udah
“Halo?” Tak ada jawaban. Panggilan telepon itu diputus setelah kujawab. Ini kali kedua nomor tersebut mematikan teleponnya setelah mendengar suaraku. Kecurigaan mulai muncul di dalam otakku. Faktor kesengajaan bisa jadi penyebab di balik semua itu. “Siapa sih? Nggak jelas banget.” *** “Yu!” Kepalaku bergerak mencari sumber suara. Ternyata bukan namaku yang dipanggil olehnya. Orang itu tengah menyapa seseorang yang tak sengaja ditemuinya di salah satu lapak penjual dekat sekolahku. Seketika itu mataku membulat, mengenali orang yang disapa barusan. Kak Bayu?! Dia ... Tapi .... Tak habis pikir aku dibuatnya, saat mengetahui kak Bayu berada di tempat itu. Padahal baru semalam, ia melarangku untuk menghubunginya lagi dan sepakat untuk fokus pada pendidikan masing-masing. Tapi sekarang, ia masih sempat-sempatnya berkeliaran di sini. Masih punya waktu luang rupanya. Aku kira, udah nggak sempet p
“Ayu ...,“ panggilnya lembut. Ditatapnya mataku lekat-lekat. Didekatkannya wajahnya perlahan.Tunggu! Dia mau apa? “Aku mau mengenalmu lebih dekat,” bisiknya di telingaku.Mataku terbelalak mendengarnya. Sekujur badanku kaku karena itu. Apa?! Orang di dekatku mendengus sambil tersenyum melihat responku. Dia bahkan tak sungkan lagi menggodaku. “Gemes,” ungkapnya kegirangan sambil mencubit sebelah pipiku. Tak ingin dipermainkan, maka kuperingatkan ia dengan tatapan tajam dan ekspresi geram. Aji pun gentar. Dijauhkannya segera tangannya dari pipiku, berdehem lalu mengalihkan pandangan ke sebarang arah.Kurapikan tas berisi oleh-oleh pemberian Dini. “Aku harus pulang.”“Aaa!” Aji merangkul lenganku erat sambil berteriak. Kepalanya ditumpukannya di atas lenganku seenaknya sendiri.“Ji, lepas,” perintahku, “lepas selagi kuberi tahu baik-baik,&r
Kududuk di pinggiran tempat tidur sambil merentangkan kedua tangan ke udara. Tak ingin bermalas-malasan, segera kurapikan seprai yang membungkus kasur, bantal, guling, juga selimut. “Nggak perlu ke pasar, Yu! Bahan-bahan sudah diantar penjualnya semalam,” ujar ibu sesaat setelah kubuka pintu kamarku. “Sip!” Kutunjukkan senyum terbaikku padanya. “Habis ini aku ke taman ya, Bu!” “Iya, hati-hati!” Aku siap untuk pergi. Kugunakan pakaian nyaman nan hangat, mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca di luar ruangan. Pemandangan pagi buta menyambutku saat kubuka pintu rumahku. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara yang berhembus pun dingin rasanya. Letak rumah yang strategis membuatku cepat sampai ke tempat tujuan. Hatiku senang, langkah kakiku makin ringan. Suasana di taman masih sepi, belum ada orang yang berlalu lalang di sana. Aku makin kegirangan sebab bisa berkeliling dengan nyaman. Kutarik napas dalam-dalam sebelum memulai pemanasan.
“Aku ganti baju dulu Kak, gerah.”Kakak mengangguk, mengiyakan. Dilanjutkannya obrolannya dengan Aji tanpa merasa keberatan. “Jadi kamu ikut Ayu olahraga tadi, Ji?”“Ya, begitulah Kak,” jawab Aji tanpa beban.“Olahraga? Nggak salah?” timpalku, tak terima dengan pengakuan Aji.“Iya, lain kali aku pasti ikut olahraga juga kok. Ajak-ajak ya, kalau mau pergi. Oke?” balasnya sambil menjentikkan jari. Ditunjukkannya sikap sok akrabnya lagi.Tak kugubris omongan Aji. Aku hanya mendengus, berlalu menuju kamar seperti ucapanku tadi. Sampai kamar, kupilih baju ganti yang tertata dalam lemari. Kubuka tempat pakaian yang terbuat dari kayu dengan hati-hati. Kugerakkan jari tanganku dari atas sampai bawah, menelusuri beberapa potong pakaian yang kumiliki. Setelah berpikir sejenak, pilihanku jatuh pada kaus dan celana panjang berwarna navy.Lelah dan gerah setelah berolahraga, membuatku i
Kutepuk kedua pipiku sendiri, berharap yang kulihat tadi bukanlah mimpi. "Aaa! Sakit!" Permukaan pipiku terasa panas akibat ulahku sendiri.“Silakan, Mbak!” Petugas kasir mempersilakanku membawa troli yang kubawa untuk mendekat.Kudorong troli berisi belanjaan dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegangi pipi sambil menahan kesakitan. Sang petugas mendekatkan alat yang digenggam pada satu per satu barang dalam troli yang kuserahkan. Dalam sekejap total harga muncul dalam layar. Waktunya aku untuk membayar.Kulangkahkan kaki sedikit berlari keluar toko dengan menenteng kantong belanjaan. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, celingukan mencari seseorang. Nihil. Tak kutemukan sisa-sisa jejaknya. Rupa, aroma, dan bayangannya pun sudah tak ada di sana.Kugelengkan kepala, berusaha mengendalikan pikiran agar tak terhanyut dalam suasana. Kuteruskan langkahku menuju tempat kendaraanku berada. Aku pulang dengan perasaan hampa.&ldqu
Aku diseret jauh menuju bibir pantai. Pasir putih masuk ke celah-celah jari kaki sewaktu aku berlari terhuyung-huyung dengan sandalku. Tepat di hadapan lukisan alam aku berdiri, memandangi air laut yang berkilauan karena efek sinar matahari. Bisa kulihat dengan jelas, gerakan ombak yang berlarian ke sana kemari. Ombak itu pun mendekat, membasuh kakiku dengan lembut. Kugulung celanaku sedikit, tak ingin basah karena itu.“Nih, pakai,” kata Aji, menyerahkan sebuah pelampung padaku. Akhirnya ia datang setelah meninggalkanku sebentar untuk mengobrol dengan beberapa orang di dekat pepohonan. Alis dan dahiku berkerut, melihat Aji sudah memakai pelampung yang sama dengan yang ia berikan. Timbullah sebuah pertanyaan, aktivitas apa yang telah ia rencanakan.“Buat apa ini?” tanyaku dengan nada kesal.“Ada deh,” katanya tak ingin berterus terang.“Aku nggak ikut.” Kukembalikan pelampung itu pada Aji.“Ih,