Share

Bab 4 – Penampilan Baru

Malam menjelang. Kupandangi layar ponsel untuk waktu yang lama, menunggu kabar dari seseorang. Setelah Dini melarangku untuk datang ke kosnya tadi siang, ia belum menghubungiku juga sampai sekarang. Pesan-pesan yang kukirim pun tak kunjung direspon olehnya.

Empat jam lalu, “Udah siap semuanya, Din? Hati-hati di jalan, ya!”

Tiga jam lalu, “Keretanya udah berangkat?”

Dua jam lalu, “Udah sampai mana, Din? Semoga lancar sampai tujuan, ya!”

Satu jam lalu, “Din, udah sampai rumah?”

Kekhawatiran menghinggapi hati dan pikiranku. Khawatir akan adanya bahaya yang menimpa teman terdekatku. Aku tak bisa hanya menunggu. Maka kusentuh layar ponselku, memeriksa setiap aplikasi media sosial yang kupunya untuk mengetahui kabar terbaru tentang Dini. Geser, geser, geser, mata dan tangan bersinergi untuk mencari. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu.

“Home sweet home! Setelah sekian lama, akhirnya pulang kampung juga. Selamat liburan!” #home #holiday #view #village #pemandangan #pulangkampung #rumah #liburan

Caption tersebut disematkan Dini dalam foto yang baru ia unggah. Perasaan lega akhirnya kurasakan setelah memastikan bahwa Dini telah tiba di rumahnya dengan selamat. Meskipun pesanku belum dibalas, aku mencoba untuk mengerti keadaannya dan tetap berpikiran positif.

“Selamat liburan, Din! Sampai ketemu semester depan!” Kukirim pesan itu dengan emotikon senyum, memberi ucapan selamat atas dimulainya masa liburan pada Dini.

Hendak kuletakkan ponselku, terdapat panggilan telepon yang masuk. Layar ponsel menyala, sederet nomor muncul di dalamnya. Merasa penasaran, kuangkat panggilan telepon itu untuk memastikan siapa pemilik nomor tak dikenal tersebut.

“Halo?”

Baru kuangkat, si penelepon malah mematikan teleponnya. Mungkin orang salah pencet, tebakku tak ingin ambil pusing.

Keesokan harinya...

Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku dan kak Sinta kembali dari pasar tradisional dengan tangan penuh barang bawaan. Meski harga yang dibayarkan sama, belanjaan kali ini terasa lebih berat dibanding hari-hari sebelumnya. Aku sendiri pun sampai heran dibuatnya.

“Lihat, Yu! Kita dapat banyak bonus dari penjualnya. Lumayan!” ujar kak Sinta gembira.

“Emangnya penjualnya nggak rugi ya, kasih kita sebanyak ini,” sahutku.

“Nggak lah, Yu! Mana ada penjual yang mau rugi,” ucap kakakku yakin.

“Tapi ada yang aneh.”

“Aneh?” respon kakak, tak mengerti apa yang kumaksud.

“Iya. Kenapa penjualnya tadi kayak nggak ngenalin aku? Dia bilang, ‘Buat mbak cantik, saya kasih bonus. Sering-sering belanja ke sini ya!’. Padahal kan, aku hampir tiap hari beli di sana.”

Kakakku hampir menyembur akibat menahan tawa. Kulirik dia sebab merasa tersinggung karena responnya.

“Hei, jangan marah dulu, Yu! Kakak nggak ngejek kok,” bantah kak Sinta sambil geleng-geleng kepala. “Coba kamu pikir, apa yang beda dari kamu hari ini?”

“Rambut.”

“Nah! Itu kamu tahu. Artinya, make over kakak berhasil! Hore!”

“Cuma gara-gara itu?” gumamku, ragu akan kesimpulan yang kakak buat.

"Percaya deh sama kakak."

"Hiii! Ini semua gara-gara Kakak!" protesku. 

"Bagus, dong!"

"Semalam aku mintanya apa, coba? Model bi-a-sa. Nggak mencolok, nggak berlebihan."

"Itu udah model yang paling biasa menurut kakak. Tenang! Ada pujian, berarti hasilnya bagus. Beres!"

Malam sebelumnya...

Kupandangi rupa diri dalam cermin sambil berpikir. Kuanggukkan kepala, merasa yakin dengan apa yang akan kuperbuat saat ini. Kuberlari menuju ruang tengah, mengeluarkan sebuah benda dalam laci. Senyumku merekah kala melihat benda itu. “Kreek, kreek.”

“Tajam,” ucapku lirih.

“Eeeh.” Kak Sinta buru-buru menghampiriku. “Jangan gegabah, Yu! Semua ada jalan keluarnya. Cerita sama kakak. Ada masalah apa?” katanya sambil ngos-ngosan.

Kupandangi wajah kakakku dengan ekspresi heran. “Aku cuma–“

Belum menyelesaikan ucapanku, Kak Sinta bergegas menjauhkan gunting besar yang kubawa. Makin bingung lah aku dibuatnya. Dengan geram, kujelaskan kegiatan yang akan kulakukan dengan gunting itu padanya. “Aku mau potong rambut, Kak! Nggak boleh?”

“Ooo, hehe.” Kak Sinta hanya bisa nyengir.

“Kakak pikir, aku mau apa?”

“Mau potong rambut, kan? Sini kakak bantu,” katanya, mengambil kembali gunting yang sempat direbutnya dariku.

“Nggak usah repot-repot, terima kasih,” tolakku sopan sambil membungkuk.

“Nggak ada penolakan.” Kak Sinta menghentikan badanku yang hendak beranjak dari sana. “Anggap aja ini hadiah dari kakak. Kamu nggak perlu takut. Gini-gini, kakak pernah ikut kursus, lho!”

Dengan gunting besar yang dibawanya, kak Sinta menyeretku menuju kamarku. Didudukkannya aku di atas bangku yang menghadap meja rias, lalu ditutupinya badanku dengan handuk. “Oke! Mari kita mulai. Mau model apa, Kakak!” tanyanya, bak seorang tenaga profesional.

“Biasa aja. Jangan yang mencolok, jangan yang aneh-aneh.”

“Siap!” jawab kakak sigap.

“Ingat! Bi-a-sa,” tegasku sekali lagi.

“Siap, Kakak Cantik! Rambut Kakak akan saya tata sesuai permintaan.”

Menit demi menit berlalu. Makin lama, kepalaku makin tertunduk. Mataku pun makin sulit dibuka. Ternyata proses pengerjaan rambutku lebih lama dari yang kubayangkan. Biasanya, tak sampai lima menit aku selesai memangkas rambutku sendiri di depan cermin. Tinggal kuikat rambutku, lalu kugunting ujungnya sesuai panjang yang diinginkan, selesai.

“Sudah selesai, Kakak! Silakan lihat hasilnya!” ujar kak Sinta, pertanda ia telah menyelesaikan tugasnya.

Aku yang sudah amat mengantuk, tak sanggup lagi untuk membuka mata. Maka kurobohkan badanku di atas kasur, seusai kakak melepas handuk yang dipasangnya agar potongan rambutku tak menempel di pakaian. Setelah itu, tak kuingat lagi apa yang terjadi selanjutnya.

***

Kubawa sekantong sampah berisi kulit bawang dan sampah dapur lainnya keluar rumah.  Kuhampiri tong besar di pojok teras, untuk membuangnya di sana.

“Pagi!”

Kufokuskan segenap pikiran dan perhatianku, untuk memasukkan sampah ke dalam tong di depanku. Saking fokusnya, hingga tak kuhiraukan suara apa pun di sekitarku.

“Kok nggak dijawab, sih? Pagi!” sapanya sekali lagi dengan nada lebih tinggi.

Kutoleh orang yang berbicara tersebut dengan mata terbuka lebar. “Maaf, kita saling kenal?” tanyaku, saat mengetahui orang itu adalah Aji.

Sejenak Aji tertegun. Diam-diam, dia menelan ludah akibat mendengar ucapanku. Tawa canggung keluar dari mulutnya. Dia pun mulai berkilah. “Jangan bercanda, ah! Kita ini sering ketemu. Kamu yang sering bareng sama Dini itu, kan! Aku tahu!”

“Oh ya? Coba sebutin namaku.”

Sesuai dugaan, Aji tak bersuara. Ia tak mampu menjawab saat kuminta untuk menyebutkan sebuah nama. Nampaknya, menghafalkan namaku adalah sebuah tantangan tersulit baginya.

“Siapa? Nggak tahu?” tanyaku, tersenyum penuh kemenangan.

“Ayu! Suruh pelanggan tunggu di dalam, sebentar lagi kita buka,” perintah ibu, mengira Aji adalah pelanggan yang hendak makan di warung.

“Dia cuma lewat kok, Bu!”

“Baik, Bu! Saya tunggu di dalam,” jawab Aji lantang, memasuki tenda warung tanpa ragu.

Setelah kucuci tanganku, kugeser bangku yang terletak di bawah meja. Kuambil lap bersih lalu menyeka meja sebelum mempersilakan Aji duduk. Kuletakkan daftar menu di dekatnya. Kemudian kutanyakan menu apa yang ingin dipesannya.

“Mau pesan apa?” tanyaku dengan senyum, berusaha bersikap profesional.

“Di sini yang paling enak apa, ya?”

“Semuanya enak. Tapi yang paling sering dipesan itu ... Ini!” Kutunjuk salah satu gambar yang menjadi menu andalan.

“Ooo!” Mulut Aji membulat. “Ini yang aku beli kemarin itu, ya! Kalau gitu aku pesan ini aja! Satu.”

“Oke! Lalapan ayam satu. Minumnya?”

“Air putih aja.”

“Oke!” jawabku, selesai mencatat makanan yang dipesan Aji.

“Ayu!” Aji memanggil namaku. Selama dua tahun, baru kali ini dia memanggil nama itu. “Namamu Ayu, kan?”

“Baru tahu?”

Kuberikan catatan yang kubuat pada ibu. Kucuci tanganku kembali sebelum menata nasi dan sayur di atas piring, sewaktu ibu menggoreng lauk yang dipesan Aji.

“Ayu!” panggil Aji. Aku menoleh. “Aku boleh ambil airnya sekarang?” katanya, menanyakan hal sepele.

“Iya, silakan.”

“Ayu!” panggilnya lagi.

“Iya?”

“Nasinya hangat, kan?”

“Iya,” jawabku singkat.

“Ayu!”

“Iya?”

“Aku boleh cuci tangan di sana?”

“Iya.”

Akhirnya makanan siap disajikan. Kuletakkan makanan di atas meja Aji dengan cepat dan rapi.

“Sejak kapan kamu kerja di sini, Yu?” tanya Aji yang ingin berbincang lebih denganku.

“Sejak kecil. Lebih tepatnya, aku cuma bantu ibuku.”

“Jadi ini rumahmu?! Aku kira ....”

Dia memang tak tahu apa-apa.

Aji mempersilakanku untuk duduk di depannya. Awalnya kutolak permintaannya tersebut. Tapi saat Aji bilang Dini menanyakan kabarku padanya, aku langsung berubah pikiran.

“Ini chat-nya.” Aji memperlihatkan hasil percakapannya dengan Dini dalam ponselnya.

Benar. Dini menanyakan keadaanku pada Aji. Itu karena dia sudah tahu bahwa Aji menginap di kos temannya yang terletak tak jauh dari rumahku semalam. Walaupun begitu, aku masih tetap heran. Mengapa Dini tak memberi kabar langsung padaku? Mengapa juga dia tak kunjung membalas pesanku?

Ponsel Aji berdering sewaktu kugenggam. Nama Nana tertera jelas dalam layar. Kukembalikan ponsel Aji saat itu juga. Bukannya langsung mengangkat teleponnya, Aji malah mematikan panggilan telepon dari Nana. “Paling cuma mau nanya kabar,” jawabnya tanpa ditanya.

“Selamat dinikmati makanannya!” ucapku, siap-siap beranjak dari tempat duduk.

“Tunggu!” Aji mencoba menghentikanku. “Aku sama Nana nggak ada hubungan apa-apa, kok! Kita cuma temenan. Nggak lebih. Kamu jangan mikir macam-macam, oke?”

“Aku sih, nggak peduli.”

Para pelanggan mulai berdatangan. Kulakukan tugasku, mencatat dan mempersiapkan hidangan yang mereka pesan. Satu per satu bangku mulai terisi. Warung ibuku pun penuh pengunjung.

"Kamu temani temenmu makan sana," perintah ibu. 

"Tapi, Bu!"

"Udah, ini tinggal sedikit. Sisanya biar ibu yang urus. Kasihan temanmu, nggak ada teman ngobrol," bujuk ibu penuh harap. 

"Aku cuci tangan dulu lah, Bu!" kataku, berjalan menuju wastafel. 

“Di sini rame juga ya, Yu!” sahut Aji, ikut mencuci tangannya di sampingku. Dalam waktu singkat ia telah menghabiskan makanannya. 

“Syukurlah.”

“Tahu begini, dari dulu pasti aku sering mampir.”

Aku hanya mendengus, tak memberi komentar. Diam-diam dia memperhatikanku sewaktu aku mencuci tangan. Diperhatikannya tiap gerak-gerikku dengan mata terbelalak, tanpa berkedip.

“Kenapa?” Kuajukan pertanyaan dadakan saat Aji tengah termenung dan terpaku di tempatnya.

“A! I-itu! Ngg-nggak.” Aji salah tingkah saat kupergoki dia sedang melamun. Digaruk-garuk kepalanya lalu diutarakannya pendapatnya perlahan. “Aku cuma mau bilang kalau, penampilan barumu bagus,” ungkapnya sambil tersenyum sampai kelihatan giginya.

Kusembunyikan tawaku di balik telapak tangan. Kucoba untuk mengontrol diri, agar tak terlihat berlebihan.

“Beneran! Aku nggak bercanda,” timpal Aji.

“Ji! Itu!” Kutunjuk mulut Aji dari jauh. Kuberi tahu ia dengan bahasa tubuh, bahwa ada sesuatu yang tengah menempel di giginya.

Aji langsung berkaca di depan cermin yang terletak di dekat wastafel. Akhirnya ia temukan sesuatu yang kumaksud. Aji menepuk dahinya sendiri. Kini ia menyadari penyebab tawaku tadi. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia berkumur, membersihkan sisa cabai yang menempel di atas permukaan giginya.

“Makasih ya makanannya! Semester depan, aku pasti sering mampir ke sini. Selamat liburan! Dah!” pamit Aji sebelum pergi.

Tenyata bisa baik juga. 

*************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status