Kududuk di pinggiran tempat tidur sambil merentangkan kedua tangan ke udara. Tak ingin bermalas-malasan, segera kurapikan seprai yang membungkus kasur, bantal, guling, juga selimut.
“Nggak perlu ke pasar, Yu! Bahan-bahan sudah diantar penjualnya semalam,” ujar ibu sesaat setelah kubuka pintu kamarku.
“Sip!” Kutunjukkan senyum terbaikku padanya. “Habis ini aku ke taman ya, Bu!”
“Iya, hati-hati!”
Aku siap untuk pergi. Kugunakan pakaian nyaman nan hangat, mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca di luar ruangan. Pemandangan pagi buta menyambutku saat kubuka pintu rumahku. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara yang berhembus pun dingin rasanya.
Letak rumah yang strategis membuatku cepat sampai ke tempat tujuan. Hatiku senang, langkah kakiku makin ringan. Suasana di taman masih sepi, belum ada orang yang berlalu lalang di sana. Aku makin kegirangan sebab bisa berkeliling dengan nyaman.
Kutarik napas dalam-dalam sebelum memulai pemanasan.
“Aku ganti baju dulu Kak, gerah.”Kakak mengangguk, mengiyakan. Dilanjutkannya obrolannya dengan Aji tanpa merasa keberatan. “Jadi kamu ikut Ayu olahraga tadi, Ji?”“Ya, begitulah Kak,” jawab Aji tanpa beban.“Olahraga? Nggak salah?” timpalku, tak terima dengan pengakuan Aji.“Iya, lain kali aku pasti ikut olahraga juga kok. Ajak-ajak ya, kalau mau pergi. Oke?” balasnya sambil menjentikkan jari. Ditunjukkannya sikap sok akrabnya lagi.Tak kugubris omongan Aji. Aku hanya mendengus, berlalu menuju kamar seperti ucapanku tadi. Sampai kamar, kupilih baju ganti yang tertata dalam lemari. Kubuka tempat pakaian yang terbuat dari kayu dengan hati-hati. Kugerakkan jari tanganku dari atas sampai bawah, menelusuri beberapa potong pakaian yang kumiliki. Setelah berpikir sejenak, pilihanku jatuh pada kaus dan celana panjang berwarna navy.Lelah dan gerah setelah berolahraga, membuatku i
Kutepuk kedua pipiku sendiri, berharap yang kulihat tadi bukanlah mimpi. "Aaa! Sakit!" Permukaan pipiku terasa panas akibat ulahku sendiri.“Silakan, Mbak!” Petugas kasir mempersilakanku membawa troli yang kubawa untuk mendekat.Kudorong troli berisi belanjaan dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegangi pipi sambil menahan kesakitan. Sang petugas mendekatkan alat yang digenggam pada satu per satu barang dalam troli yang kuserahkan. Dalam sekejap total harga muncul dalam layar. Waktunya aku untuk membayar.Kulangkahkan kaki sedikit berlari keluar toko dengan menenteng kantong belanjaan. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, celingukan mencari seseorang. Nihil. Tak kutemukan sisa-sisa jejaknya. Rupa, aroma, dan bayangannya pun sudah tak ada di sana.Kugelengkan kepala, berusaha mengendalikan pikiran agar tak terhanyut dalam suasana. Kuteruskan langkahku menuju tempat kendaraanku berada. Aku pulang dengan perasaan hampa.&ldqu
Aku diseret jauh menuju bibir pantai. Pasir putih masuk ke celah-celah jari kaki sewaktu aku berlari terhuyung-huyung dengan sandalku. Tepat di hadapan lukisan alam aku berdiri, memandangi air laut yang berkilauan karena efek sinar matahari. Bisa kulihat dengan jelas, gerakan ombak yang berlarian ke sana kemari. Ombak itu pun mendekat, membasuh kakiku dengan lembut. Kugulung celanaku sedikit, tak ingin basah karena itu.“Nih, pakai,” kata Aji, menyerahkan sebuah pelampung padaku. Akhirnya ia datang setelah meninggalkanku sebentar untuk mengobrol dengan beberapa orang di dekat pepohonan. Alis dan dahiku berkerut, melihat Aji sudah memakai pelampung yang sama dengan yang ia berikan. Timbullah sebuah pertanyaan, aktivitas apa yang telah ia rencanakan.“Buat apa ini?” tanyaku dengan nada kesal.“Ada deh,” katanya tak ingin berterus terang.“Aku nggak ikut.” Kukembalikan pelampung itu pada Aji.“Ih,
"Aduh!” rintihku lirih, memegangi kepala lalu menggosoknya lembut untuk meredakan rasa sakit yang tercipta akibat terbentur. Tak lama kemudian kudongakkan kepala, melihat rupa orang yang tak sengaja kutabrak sambil mengernyit.“Nyari siapa?” tanya kak Bayu tepat di depan wajah, menatapku dengan mata terbuka lebar. “Nggak,” jawabku geleng-geleng kepala. Kukontrol ekspresiku, menyembunyikan kegugupan dalam wajah. “Nggak nyariin siapa-siapa.”“Oh ya?” katanya sambil mengelus dagu. “Kalau gitu, ikut aku bentar.” Digandengnya tanganku, membawaku menuju suatu tempat. Langkahnya terhenti di depan salah satu pedagang kaki lima yang sedang menjajakan dagangan di dekat gedung sekolah. “Pilih,” ujarnya. “Hah?” sahutku tak mengerti akan maksudnya. “Pilih aja,” pintanya sekali lagi, menyentuh barisan kuncir ra
Seperti biasa, aku sedang standby di warung ibu, siap melayani pelanggan yang datang. Sesekali kuseka meja dan peralatan makan, tak membiarkan kotoran dan debu tertinggal.“Ayuuu!” Kak Sinta datang dengan keceriaan yang selalu ditunjukkannya. Ia pun bergabung bersamaku, ikut membersihkan meja pelanggan sambil berbincang penuh canda untuk menghilangkan kebosanan.Tak lama, orang-orang mulai berdatangan. Dengan sigap kukembali ke meja pelayanan, tempat pelanggan memesan dan membayar makanan dan minuman. Saat bekerja, tak terasa waktu cepat berlalu. Matahari makin terik, keadaan dalam warung pun makin lengang.“Istirahat dulu, Yu! Nanti dilanjut lagi,” intruksi ibu padaku.Aku duduk di atas bangku panjang dekat kipas angin. Untuk sejenak kubiarkan tubuhku rehat, menikmati waktu luang dengan duduk bersantai ditemani hembusan angin sambil memandangi pemandangan jalan.“Taraaa! Nih, kakak bawain minuman segar!&rdquo
Dengan bungkusan di tangan, kuberjalan dengan langkah ringan diiringi senandung dalam hati riang. Perlahan tapi pasti kudekati motor yang terparkir di teras rumah, mengeluarkan kunci kontak dalam saku lalu memasukkannya serta menggesernya menjadi mode on. Terakhir, kuperiksa sekali lagi alamat yang hendak kutuju, memikirkan arah dan jalur yang akan kutempuh sebelum kendaraan melaju.“Tunggu!” gumamku baru menyadari sesuatu. “Ini kan ...,” sahutku kemudian saat tahu ke mana alamat itu akan membawaku.“Hati-hati di jalan, Yu!” kata ibu, melambaikan tangan dari kejauhan dengan senyum lebar di wajahnya.Aku hanya bisa nyengir, tersenyum kaku memperlihatkan barisan gigi untuk membalas senyuman itu. Kusembunyikan kegugupan dari raut wajahku. Mau bagaimana lagi, keputusan yang sudah diambil tak mungkin bisa kubatalkan. Dengan segenap tenaga dan semangat yang kukumpulkan, akhirnya kuberangkat menuju sebuah alamat. Alama
"Yu! Kirimin jadwalmu dong,” pinta Dini dengan emotikon tangan mengatup sebanyak tiga buah. Tak terasa masa liburan akan berakhir beberapa hari lagi. Para mahasiswa dari berbagai jurusan pun mulai menilik jadwal yang tersedia dalam website untuk menyusun rencana studi mereka masing-masing. Begitu pula denganku dan Dini. Sudah menjadi kebiasaan tiap semester kita akan saling bertukar informasi, tentang kelas apa saja yang akan diambil selama satu semester ke depan. Biasanya kita akan saling menyesuaikan jadwal agar bisa berada di kelas yang sama untuk tiap mata kuliahnya. Tapi tak semua jadwalku dan Dini bisa disamakan begitu saja, sebab kegiatan dan kesibukan yang kita miliki berbeda. Hari, jam, tempat, nama dosen dan nama mata kuliah dalam seminggu sudah kutulis rapi dalam buku catatan. Setelah merasa yakin, kupotret rencana jadwal tersebut dengan ponsel untuk dikirimkan kepada Dini. “Itu jadwalku, Din. Aku banyak pilih kelas pagi daripada siang. Bi
Beginilah akhirnya, sepi lagi, sendiri lagi. Memang selalu seperti itu, hingga terbiasa dengan hal itu. “Haaah ....” Langit biru cerah disinari matahari, burung-burung pun terbang riang ke sana kemari. Saling berkejaran, juga saling bersahut kicauan. Bertengger di atas dahan, lalu berpindah dari dahan satu ke dahan lain secara bergantian. Sungguh pemandangan yang mencerminkan keceriaan serta keakuran dalam kebersamaan. “Beruntungnya,” gumamku dengan senyum sendu sambil memandang ke atas. “Haaah ....” Helaan napas panjang kembali lolos dari mulutku. Apa yang kau pikirkan, Yu? batinku, tak ingin berlarut dalam kegundahan. Kutegakkan badan, membuka kedua kelopak mata lebar-lebar untuk mengembalikan fokus dalam pikiran. Aku harus istirahat. Karena kurang tidur, aku jadi terlalu sensitif. Benar. Aku hanya kelelahan. Aku harus cepat-cepat sampai rumah sekarang. Beberapa hari kemudian.... “Yu, pesanan temanmu yang cowok itu jadi gimana?” “Kayaknya nggak jadi, Bu. Orangnya belum bis