Shower time! Bening dan segarnya air yang mengguyur, mampu menjernihkan pikiran serta mengusir penat setelah beraktivitas di hari pertama semester baru. Peluh dan debu yang menempel sirna, rasa kantuk yang sempat menyerang pun hilang seketika. “Haaa ....” Kuangkat kedua tangan tinggi-tinggi, membuka jendela kamar untuk menghirup udara segar sambil menikmati pemandangan. Meskipun masih ada sedikit keraguan dan kekhawatiran, nyatanya berita tentang kerja sama ibu barusan berhasil membuat tubuhku terasa lebih ringan. Kapan ya, terakhir kali aku bisa sesantai ini? Udah lama banget kayanya. Hmm, nyamannya, batinku merasa bahagia, menopangkan wajah pada telapak tangan yang bertumpu di atas kusen jendela. Habis ini, aku ngapain ya? pikirku, mencari-cari kegiatan yang perlu kulakukan saat ini. Oh! Kuambil notes kecil beserta bolpoin di atas meja, lalu duduk untuk menulis beberapa hal di dalamnya. Berbekal informasi yang kudapatkan dari ponsel, terdapat 3 perpustakaan yang tersedia di da
Dengan penampilan yang tak karuan akibat berkeliaran sepanjang hari, aku berniat langsung mandi saat sampai rumah nanti. Tak betah dengan gerah akibat teriknya sinar matahari, kupercepat laju kendaraan agar segera sampai tujuan. Dah sampai! Kuparkir motor di depan rumah dengan terburu-buru. Tas dan helm yang kubawa pun kutenteng kuat-kuat, meletakkan keduanya di atas meja ruang tamu. “Mandi, mandi, mandi,” gumamku, berjalan cepat menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan, aroma kunyit dan rempah kuat lain semerbak harum menusuk hidung. Semakin dekat, aromanya makin kuat, membuat niat awalku melenceng untuk sesaat. Cepat-cepat kuhampiri sumber aroma itu berasal, penasaran akan rupa masakan yang sudah terbayang dalam angan. “Udah mateng, Bu? Aku kemas ya?” kataku pada ibu yang sedang membuka tutup dandang berisi nasi kuning yang mengepul. “Tunggu agak dingin dulu. Biar ibu aja, kamu mandi sana,” ujarnya. “Oke! Kalau selesai, aku
Ponsel berdering di malam hari. Aku pun sudah berada di alam mimpi. Sempat mengganti posisi tidur beberapa kali, akhirnya aku tak tahan lagi. Mataku melek. Kesadaranku pulih seutuhnya. Siapa sih, telepon malem-malem, gerutuku dalam hati, mengambil ponsel di atas meja dekat ranjang. “Halo?” sapa si penelepon, cerah ceria tanpa rasa bersalah. “Hmmm,” sahutku dengan suara serak khas bangun tidur. “Belum tidur? Kebetulan banget! Aku mau tanya sesuatu nih,” sahutnya kegirangan, tak mengerti situasi saat ini. Udah tidur dari tadi tau! Jadi kebangun kan, batinku memendam kekesalan. “Yu? Halo? Aku mau nanya. Penting!” desaknya. Walaupun geram, masih kusempatkan diri untuk meladeni percakapannya. “Nanya apa?” kataku. “Itu! Soal tugas kelompok! Tugasnya dikumpulin minggu depan, ya?” “Iya. Kenapa?” “Nggak apa-apa, cuma mau mastiin aja. Kebetulan tadi aku baru lihat sekilas bab kelompok kita. Aku juga udah baca-baca dikit di buku yang dikasih Dimas. Palingan ... besok atau lusa, bagiank
Hari H telah tiba. Hari pertemuanku dengan kak Bayu, sesuai janji yang telah dibuat sebelumnya. Pertemuan di kafe dekat kampus, demi mengambil sebuah buku. Buku? Hanya demi sebuah buku? Yakin? Iyalah! Demi apa lagi? Yakin, nggak ada niat tersembunyi? ... Kafe?! Mau ambil buku aja, pake ketemuan di kafe segala. Aneh! Jangan-jangan! ... Hmm .... Udah! Jangan mikir macem-macem, Yu! Ini hanya pertemuan biasa. Nggak ada yang istimewa! batinku, berdebat dengan diri sendiri di depan cermin. “Pakai baju apa ya? Coba kulihat.” Kuperiksa koleksi pakaian dalam lemari, mencari padu padan yang serasi. Sesampainya di kafe.... Setelah celingukan beberapa kali, akhirnya aku memilih meja di dekat pintu agar kak Bayu mudah menemukan keberadaanku. Aku terlalu cepat ya datangnya? Hmm, jam berapa ini? batinku, memeriksa waktu saat ini dalam ponsel. “Maaf ya, aku telat. Udah nunggu lama?” “Ngg-nggak. Aku baru banget datengnya,” sahutku gelagapan, saat tahu kak Bayu tiba-tiba sudah duduk di hadapa
Hari berganti. Perkuliahan berlangsung seperti biasa. Aku masih setia duduk di barisan terdepan, fokus menyimak materi dengan khidmat. “Kelompok berapa?” “Udah dapat belum bukunya?” “Gimana dong?” “Kamu?” “Gimana ini? Deadline-nya udah dekat!” Di tengah jam perkuliahan, desas-desus terdengar di telinga. Dialog lirih bernada kepanikan itu berasal dari para mahasiswa yang duduk di belakangku. Meskipun tahu apa yang sedang dibicarakan, tak kuhiraukan suara itu dengan tetap menghadap depan. Di akhir materi, Aji menghampiriku lalu duduk di kursi terdekat. “Habis ini mau ke mana?” tanyanya basa-basi dengan suara dipelankan. Masih sibuk merapikan buku dan alat tulis, tak kuberi ia jawaban atas pertanyaannya barusan. Kemudian Aji berdehem agar keberadaannya di-notice olehku. “Yu!” panggilnya dengan suara yang masih dipelankan. “Aku? Kamu ngomong sama aku?” tanyaku balik sambil memasang wajah tanpa dosa. “So
Mencintai orang yang salah? Aku? Kutahan tawaku, menutup mulut dengan telapak tangan saat memikirkan hal konyol seperti itu. Namaku Masayu. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Terlebih aku dikenal cuek, dingin, tak berekspresi, dan terkesan kejam. Itulah yang membuat orang-orang akan berpikir dua kali sebelum mendekat. Alih-alih sapaan dan pujian, ejekan dan sindiran lebih akrab di telingaku. Tak masalah, kuanggap saja hal itu sebagai proses seleksi alam yang akan menunjukkan mana orang yang benar-benar tulus dan yang tidak sama sekali. Jadi, masih ada yang berani main-main denganku? Rasanya tak mungkin. *** “Kalau kamu, Yu? Kamu pernah punya cowok atau orang spesial, gitu? Cerita dong! Kan aku pengen tahu,” tanya Dini penasaran. “Emmm ....” Kutelengkan kepala, melirik ke atas sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. “Entahlah. Kayaknya nggak ada.” “Kok pake 'kayaknya' sih? Pasti ada dong? Coba in
Bel tanda jam perkuliahan dimulai berbunyi. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk menerima materi hari ini. Beberapa teman maju ke depan untuk memulai presentasi mereka. Proyektor sudah dinyalakan, laptop sudah disambungkan, dan seluruh mahasiswa sudah memasuki ruangan. Seseorang tiba-tiba berdiri di depan tempat dudukku. Aku yang sedang asyik membaca buku, tak menghiraukan hal itu. “Mbak, mbak,” panggilnya kemudian. Tak merasa dipanggil, aku tetap fokus membaca buku. Tak lama kemudian, orang di hadapanku kembali memanggil tanpa sebutan nama sembari menepuk pelan bahuku. “Mbak,” sebutnya lebih lantang. Kudongakkan kepala lalu menatapnya lekat tanpa suara. Nana, orang yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba membeku. Matanya bergetar saat pandangan kami bertemu. Dengan segenap tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Nana mengatakan sebuah permintaan. “Aku boleh pinjam bukunya, nggak?” katanya sambil tersenyum selebar mung
Aku tiba di rumah sekaligus warung tempat ibu mencari nafkah, setelah kuseberangi jalanan di depan kampus. Dari kejauhan kak Sinta sudah memelototiku, mengambil ancang-ancang untuk menyerangku dengan omelannya. “Sin, ibu mau antar ini. Kamu jaga warung sebentar, ya?” kata ibu, siap meninggalkan tempat dengan bungkusan di tangan. “Eeeh ... Biar aku aja!” sahutku segera, mengambil alih bungkusan yang dibawa ibu. “Kamu nggak capek? Makan dulu sana,” kata ibu. “Nggak perlu. Aku antar ini dulu. Deket kok!” “Tunggu!” Kak Sinta memeriksa alamat yang tertera dalam kertas yang kubawa. “Ini kan ... Jangan-jangan, kamu masih mau ketemu–“ Kak Sinta tak menyelesaikan ucapannya. “Aku cuma mau bantu ibu anter pesanan kok!” balasku membela diri. Kucium telapak tangan ibu dan berpamitan padanya sebelum pergi menuju tempat tujuan dengan mengendarai sepeda motor. Sebuah rumah bercat putih berhiaskan kursi dan meja kayu di depan teras, tampak tak