Hari H telah tiba. Hari pertemuanku dengan kak Bayu, sesuai janji yang telah dibuat sebelumnya. Pertemuan di kafe dekat kampus, demi mengambil sebuah buku. Buku? Hanya demi sebuah buku? Yakin? Iyalah! Demi apa lagi? Yakin, nggak ada niat tersembunyi? ... Kafe?! Mau ambil buku aja, pake ketemuan di kafe segala. Aneh! Jangan-jangan! ... Hmm .... Udah! Jangan mikir macem-macem, Yu! Ini hanya pertemuan biasa. Nggak ada yang istimewa! batinku, berdebat dengan diri sendiri di depan cermin. “Pakai baju apa ya? Coba kulihat.” Kuperiksa koleksi pakaian dalam lemari, mencari padu padan yang serasi. Sesampainya di kafe.... Setelah celingukan beberapa kali, akhirnya aku memilih meja di dekat pintu agar kak Bayu mudah menemukan keberadaanku. Aku terlalu cepat ya datangnya? Hmm, jam berapa ini? batinku, memeriksa waktu saat ini dalam ponsel. “Maaf ya, aku telat. Udah nunggu lama?” “Ngg-nggak. Aku baru banget datengnya,” sahutku gelagapan, saat tahu kak Bayu tiba-tiba sudah duduk di hadapa
Hari berganti. Perkuliahan berlangsung seperti biasa. Aku masih setia duduk di barisan terdepan, fokus menyimak materi dengan khidmat. “Kelompok berapa?” “Udah dapat belum bukunya?” “Gimana dong?” “Kamu?” “Gimana ini? Deadline-nya udah dekat!” Di tengah jam perkuliahan, desas-desus terdengar di telinga. Dialog lirih bernada kepanikan itu berasal dari para mahasiswa yang duduk di belakangku. Meskipun tahu apa yang sedang dibicarakan, tak kuhiraukan suara itu dengan tetap menghadap depan. Di akhir materi, Aji menghampiriku lalu duduk di kursi terdekat. “Habis ini mau ke mana?” tanyanya basa-basi dengan suara dipelankan. Masih sibuk merapikan buku dan alat tulis, tak kuberi ia jawaban atas pertanyaannya barusan. Kemudian Aji berdehem agar keberadaannya di-notice olehku. “Yu!” panggilnya dengan suara yang masih dipelankan. “Aku? Kamu ngomong sama aku?” tanyaku balik sambil memasang wajah tanpa dosa. “So
Mencintai orang yang salah? Aku? Kutahan tawaku, menutup mulut dengan telapak tangan saat memikirkan hal konyol seperti itu. Namaku Masayu. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Terlebih aku dikenal cuek, dingin, tak berekspresi, dan terkesan kejam. Itulah yang membuat orang-orang akan berpikir dua kali sebelum mendekat. Alih-alih sapaan dan pujian, ejekan dan sindiran lebih akrab di telingaku. Tak masalah, kuanggap saja hal itu sebagai proses seleksi alam yang akan menunjukkan mana orang yang benar-benar tulus dan yang tidak sama sekali. Jadi, masih ada yang berani main-main denganku? Rasanya tak mungkin. *** “Kalau kamu, Yu? Kamu pernah punya cowok atau orang spesial, gitu? Cerita dong! Kan aku pengen tahu,” tanya Dini penasaran. “Emmm ....” Kutelengkan kepala, melirik ke atas sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. “Entahlah. Kayaknya nggak ada.” “Kok pake 'kayaknya' sih? Pasti ada dong? Coba in
Bel tanda jam perkuliahan dimulai berbunyi. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk menerima materi hari ini. Beberapa teman maju ke depan untuk memulai presentasi mereka. Proyektor sudah dinyalakan, laptop sudah disambungkan, dan seluruh mahasiswa sudah memasuki ruangan. Seseorang tiba-tiba berdiri di depan tempat dudukku. Aku yang sedang asyik membaca buku, tak menghiraukan hal itu. “Mbak, mbak,” panggilnya kemudian. Tak merasa dipanggil, aku tetap fokus membaca buku. Tak lama kemudian, orang di hadapanku kembali memanggil tanpa sebutan nama sembari menepuk pelan bahuku. “Mbak,” sebutnya lebih lantang. Kudongakkan kepala lalu menatapnya lekat tanpa suara. Nana, orang yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba membeku. Matanya bergetar saat pandangan kami bertemu. Dengan segenap tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Nana mengatakan sebuah permintaan. “Aku boleh pinjam bukunya, nggak?” katanya sambil tersenyum selebar mung
Aku tiba di rumah sekaligus warung tempat ibu mencari nafkah, setelah kuseberangi jalanan di depan kampus. Dari kejauhan kak Sinta sudah memelototiku, mengambil ancang-ancang untuk menyerangku dengan omelannya. “Sin, ibu mau antar ini. Kamu jaga warung sebentar, ya?” kata ibu, siap meninggalkan tempat dengan bungkusan di tangan. “Eeeh ... Biar aku aja!” sahutku segera, mengambil alih bungkusan yang dibawa ibu. “Kamu nggak capek? Makan dulu sana,” kata ibu. “Nggak perlu. Aku antar ini dulu. Deket kok!” “Tunggu!” Kak Sinta memeriksa alamat yang tertera dalam kertas yang kubawa. “Ini kan ... Jangan-jangan, kamu masih mau ketemu–“ Kak Sinta tak menyelesaikan ucapannya. “Aku cuma mau bantu ibu anter pesanan kok!” balasku membela diri. Kucium telapak tangan ibu dan berpamitan padanya sebelum pergi menuju tempat tujuan dengan mengendarai sepeda motor. Sebuah rumah bercat putih berhiaskan kursi dan meja kayu di depan teras, tampak tak
“Kembalikan! Kembalian sekarang! Ini tasnya Dini! Jangan macam-macam kau, Pencuri!” Tak ada angin, tak ada hujan, seseorang datang dan menyebutku sebagai pencuri. Dari belakang, ditariknya tas bahu berwana pink yang bertengger di bahu kiriku. Sekuat tenaga, kupertahankan tas itu agar tak terlepas dari genggamanku. Geram akan kelakuannya, aku tak punya pilihan lain selain melawannya. “Aaw! Sakiiit!” Orang itu langsung terjatuh setelah kutendang sekali tanpa menoleh. “Ka-kamu?!” ucap si penuduh terbata-bata saat melihat wajahku. Mataku terbelalak kala mengenali orang yang sedang mengerang kesakitan itu. Aji?! Seribu kali berpikir, aku tetap tak mengerti penyebab dia bertindak demikian. Jelas-jelas, Aji tidak sedang bercanda tadi. Dia tidak mengenaliku?! Waaah! Padahal baru saja kita ketemu di ruang ujian dengan pakaian dan tas yang sama. Daya ingatnya memang payah nih orang, simpulku dalam hati. “Ma-maaf! Dari belakang
Malam menjelang. Kupandangi layar ponsel untuk waktu yang lama, menunggu kabar dari seseorang. Setelah Dini melarangku untuk datang ke kosnya tadi siang, ia belum menghubungiku juga sampai sekarang. Pesan-pesan yang kukirim pun tak kunjung direspon olehnya.Empat jam lalu, “Udah siap semuanya, Din? Hati-hati di jalan, ya!”Tiga jam lalu, “Keretanya udah berangkat?”Dua jam lalu, “Udah sampai mana, Din? Semoga lancar sampai tujuan, ya!”Satu jam lalu, “Din, udah sampai rumah?”Kekhawatiran menghinggapi hati dan pikiranku. Khawatir akan adanya bahaya yang menimpa teman terdekatku. Aku tak bisa hanya menunggu. Maka kusentuh layar ponselku, memeriksa setiap aplikasi media sosial yang kupunya untuk mengetahui kabar terbaru tentang Dini. Geser, geser, geser, mata dan tangan bersinergi untuk mencari. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu.“Home sweet home! Setelah sekian lama, akhirnya
Masa liburan berlangsung. Meski begitu, tak banyak perubahan dalam rutinitasku. Tak ada tempat wisata, tak ada juga kawan bercengkrama. Hari-hari kuhabiskan sepenuhnya di rumah. Pagi sampai sore kubantu ibu dan kakak di warung. Malamnya, kunikmati waktu luangku sejenak menonton acara televisi lalu bersiap untuk tidur. Tinggal beberapa hari lagi, batinku, menghitung hari dalam kalender yang sudah kutandai. Kubaringkan badan di atas kasur lalu menutupinya dengan selimut. Kupejamkan mata sambil mengucap doa dan harapan, hingga akhirnya aku tertidur. *** “Halo, Kak! Akhirnya diangkat juga. Apa kabar?” “Mmm ... Ayu,” jawab kak Bayu terdengar lesu. “Kakak kenapa? Lagi sakit?” “Enggak. Kamu nggak usah khawatir. Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa? Kelas dua SMA, ya?” “Iya. Aku udah kelas du–“ “Belajar yang giat ya! Sebentar lagi, kamu udah ujian. Aku juga ... udah