Share

5. Diantar Pulang

"Memang apa yang salah dengan hal itu? Bukankah kita memang satu kelas? Berarti kita semua memang berteman kan?" ucap Derrick dengan santainya.

Alea terbelalak kaget. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak tahu bagaimana mengomentari ucapan Derrick.

Alea tidak mungkin berani membantah Derrick karena status sosial Derrick yang sama dengannya. Dia tidak ingin membuat masalah dengan pria muda itu karena dia tak ingin nama besar keluarganya ikut terseret.

Maka dari itu Alea hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum melangkah pergi dari area itu.

Derrick menghela napasnya dengan lega usai gadis itu akhirnya tak terlihat.

Pria dengan rambut pirang itu menoleh ke arah Vesa, "Vesa, aku antar kau pulang. Aku akan telepon orang bengkel untuk mengurus mobilmu. Kalau sudah beres, akan langsung diantar ke rumah kamu."

Vesa terkejut karena ini menurutnya sangat aneh. Seorang Derrick White mau berbicara dengannya itu sudah sebuah hal yang langka, pasalnya putra dari keluarga kaya itu hampir tak pernah mau berbicara dengan orang dari kalangan bawah seperti dirinya. Akan tetapi, kali ini Derrick tidak hanya berbicara dengannya, namun juga mau mengantar dia pulang.

Apakah dia sedang bermimpi? Atau Derrick sedang berpikir tidak waras sehingga melakukan hal yang tidak sesuai dengan dirinya? Vesa mulai bertanya-tanya sendiri.

Dia kemudian berujar, "Derrick. Apakah kau melakukan ini karena arloji kamu itu? Well, aku tak masalah. Kau tahu, kau tidak perlu melakukan apapun. Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja."

Derrick mengangguk, "Aku tahu. Tapi aku hanya ingin mencoba berbuat baik. Apakah itu salah?"

Derrick lalu mengajak Vesa menuju mobilnya.

Vesa hanya bisa berdecak kagum saat melihat mobil mewah yang tentunya limited edition itu. Mobil berwarna hitam yang memiliki desain unik.

"Naiklah," ucap Derrick.

Vesa berkedip, "Serius? Aku boleh naik?"

Derrick tahu Vesa terkejut jadi dia lalu berkata, "Iya. Kan tadi aku sudah bilang kalau aku mau mengantar kamu? Kau pikir aku bercanda?"

Vesa masih terdiam.

Derrick mengulangi, "Naiklah!"

Vesa dengan agak gugup naik ke mobil itu dan duduk di samping Derrick.

Derrick mulai menyalakan mesin mobilnya. Vesa merasa agak tak nyaman tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Di mana alamatmu?" tanya Derrick.

"Wilmslow," jawab Vesa.

Derrick terlihat berpikir sejenak, "Dekat Didsbury Medical Center?"

"Benar," jawab Vesa lagi.

Derrick mengangguk dan tetap menyetir hingga sampai ke rumah Vesa.

Derrick ikut turun dari mobil itu ketika sampai di rumah Vesa.

"Terima kasih. Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Vesa.

Derrick tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan itu karena sebenarnya dialah yang harus berterima kasih pada pemuda itu. Jadi Derrick hanya tersenyum tipis sebelum kemudian pulang dari rumah itu.

Vesa menggelengkan kepalanya seakan baru saja mendapatkan sebuah jackpot. Dia tidak pernah menyangka bahwa pemuda seperti Derrick mau mengantarkan dirinya sampai ke rumah.

"Vesa, di mana mobilmu? Kenapa kau malah pulang diantar teman kamu? Dan kenapa teman kamu tidak mampir dulu?" Thomas Miller memberondong cucunya itu dengan banyak pertanyaan sekaligus.

"Opa, biarkan aku menjelaskannya pelan-pelan oke?"

Vesa kemudian ikut duduk di ruang tamu bersama dengan kakeknya yang sedang terlihat meminum kopinya di tengah malam itu. Vesa tidak bertanya kepada sang anak yang masih belum tidur, karena sudah jelas kakeknya itu pasti sedang menunggu dirinya pulang.

Vesa tahu betapa besar kasih sayang kakek neneknya itu terhadapnya jadi dia pun memaklumi bagaimana mereka begitu mencemaskan dirinya.

"Opa, mobilku mogok. Aku menyalakannya jadi aku tinggalkan saja mobil itu di di gedung tadi lalu temanku mengantarku pulang. Opa tidak perlu khawatir karena temanku sudah janji akan memperbaiki mobil itu dan mengembalikannya ke sini besok," jelas Vesa.

Thomas Miller membalas, "Kau punya teman sebaik itu? Tidakkah kau bilang semua teman-temanmu selalu mem-bullymu?"

Vesa mengangguk.

"Dia bukan teman seperti yang kau maksud, Opa. Dia hanya teman biasa dan bukan seperti teman baikku. Dia juga dulu pernah memberiku dan bahkan menghina aku tapi yah Opa tahu tadi dia berbuat baik kepadaku," ucap Vesa.

Vesa tidak berbohong karena memang Derrick beberapa kali juga ikut membully dirinya dan bahkan menghina statusnya sebagai salah satu penerima beasiswa di University of Greenwich.

Thomas menatap cucunya itu dengan sorot mata khawatir karena takut jika cucunya tersebut akan dilukai.

"Jangan terlalu percaya pada orang lain karena bisa saja dia hanya berpura-pura baik kepadamu untuk membullymu lagi. Dia..."

Vesa sepertinya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh kakeknya itu jadi dia berujar, "Opa, aku tahu. Aku tahu betul. Derrick hanya sedang membalas budi saja kepadaku dan aku yakin besok dia pasti akan kembali seperti biasanya. Tenang, Opa. Aku tidak akan terlalu memikirkannya dan tetap waspada seperti biasanya."

Vesa lalu naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Pria muda itu melepas jasnya dan kemudian melempar dirinya ke atas tempat tidurnya.

Vesa bohong sekali kalau dia tidak memikirkan kebaikan Derrick. Kalau dia ingin jujur dia tadinya sedikit berharap jika Derrick benar-benar akan menganggapnya seperti temannya. Ini karena Vesa benar-benar tidak memiliki teman di kelasnya. Dia selalu sendirian selama menginjakkan kakinya ke kampus itu.

Dia memang memiliki beberapa teman yang berkuliah di fakultas yang berbeda tapi mereka tidak terlalu dekat. Tapi perkataan kakeknya semakin membuatnya tersadar karena tidak mungkin seorang anak dari keturunan keluarga kaya seperti Derrick White mau berteman dengannya.

Tiba-tiba dia penasaran apakah ayahnya dulu juga ikut merasakan seperti apa dia rasakan. Vesa benar-benar ingin tahu mengenai kehidupan sang ayah yang sama sekali tidak pernah dia ketahui itu.

"Ayah, sebenarnya bagaimana hidup ayah dulu? Kenapa kau tidak pernah bicarakan kehidupanmu? Aku ini anakmu, kan? Kenapa aku sama sekali tak mengetahui banyak hal tentangmu?" gumam Vesa.

Pria itu kemudian terlelap.

Pagi harinya, dia berangkat ke kampus seperti biasanya menggunakan bis. Pria itu tiba di kampusnya dan langsung saja menuju ruang kuliahnya. Dia selalu menyapa semua dosen yang dia temui di jalan dan itulah yang membuat banyak sekali dosen menyukai pemuda itu.

Karena selain memiliki otak yang sangat cerdas sehingga membuatnya mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata kuliah yang diambil, Vesa dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki attitude yang baik. Sayangnya, hal itu jugalah yang membuat banyak sekali mahasiswa yang tidak menyukainya.

Mereka bahkan menuduh pemuda itu hanya mencari muka di depan para dosen.

Vesa kemudian menemukan ruangannya untuk mata kuliah pertamanya dan membuka pintunya. Dia begitu kaget ketika langsung saja didorong Sebastian Wright hingga dia jatuh terjerembab.

Suara tawa langsung saja memenuhi ruang kelas itu.

"Well, inilah pahlawan kita yang sudah menyelamatkan arloji milik Derrick," ujar Sebastian dengan suaranya yang cukup kencang hingga membuat semua orang bisa mendengar ucapannya dengan sangat jelas.

Mereka semua menertawakan Vesa.

Vesa bangkit dan kemudian dia menatap Sebastian dengan malas.

"Heh, kau menantangku? Kau berani?" ucap Sebastian yang mendelik ke arah Vesa.

Vesa menggelengkan kepalanya.

"Apakah kau tidak bisa membedakan ekspresi seseorang?" ucap Vesa dan menatap malas lagi pada Sebastian.

"Apa maksudmu?" Sebastian tak lagi menahan amarahnya dan membentaknya.

"Maksudku adalah aku tidak menantang dirimu tapi aku memberikan sebuah tatapan malas atas apa yang baru saja kau lakukan," jawab Vesa santai dan dia melewati pemuda yang semakin berang itu menuju salah satu bangku yang masih kosong.

"Heh, berhenti!" teriak Sebastian.

Vesa tetap berjalan dan kemudian malah duduk di salah satu bangku. Dia mengabaikan Sebastian sepenuhnya hingga membuat Sebastian berteriak, "Apa maumu, hah? Berani kau mengabaikan aku? Kau pikir kau siapa, hah?"

Dengan tenang Vesa menjawab, "Astaga, kau masa tidak tahu siapa aku? Aku Vesa Araya, salah satu mahasiswa di sini."

Wajah Sebastian langsung saja memerah karena terlalu marah hingga kemudian dia mencengkeram leher Vesa tapi lagi-lagi Vesa masih menatapnya dengan sangat malas.

"Kau mau mati ya?" Sebastian berteriak di depan wajah Vesa.

Vesa hanya memejamkan matanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herman
salam satu bata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status