Ujian akhir semester telah berakhir, sudah saatnya Vesa melakukan rencana yang sudah dia susun sejak lama. Dia sudah lama menanti-nanti hari ini. Dia akan segera mencari pekerjaan guna mendapatkan uang untuk biaya perjalanannya ke Indonesia.
Setahu Vesa, di masa liburan banyak toko yang membuka lowongan pekerjaan part time atau sementara. Dia tahu tak mudah mendapat pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah tapi dia tetap akan mencobanya.
Pria muda itu melangkahkan kakinya dengan riang keluar gedung kampusnya.
Vesa sendirian kali ini. Derrick White yang telah menjadi sahabat baiknya hampir satu bulan lamanya itu pulang terlebih dulu. Derrick diajak ayahnya untuk menjenguk sanak saudaranya yang sedang dirawat di Fulham.
Vesa berjalan sambil bermain ponselnya menuju halte bis yang tak jauh dari kampus. Akan tetapi sepertinya hari ini adalah hari yang sial baginya karena tiba-tiba saja, saat dia hendak menyeberang, dirinya ditarik oleh dua orang yang tak dikenalnya. Salah seorang di antara mereka membungkam mulutnya dan menyeretnya dengan paksa ke sebuah gang sepi.
Vesa didorong hingga tubuhnya membentur tembok. Pria muda itu meringis kesakitan tapi mencoba tenang.
"Siapa kalian? Apa mau kalian?" tanya Vesa.
Pria muda itu menatap tajam kedua orang tak dikenal itu.
Salah seorang dari mereka tertawa. Dia menatap remeh Vesa.
"Selalu begitu. Pertanyaan yang bodoh," ucap pria yang berambut pirang.
Keduanya berpenampilan seperti preman yang biasanya sering membuat onar. Tubuh keduanya besar dan mereka hanya memakai kaos hitam serta ikat kepala bewarna hitam. Vesa tebak usia mereka tak jauh dari dirinya atau mungkin memang sepantaran dengannya.
Si pirang itu kemudian melemparkan sebuah kotak kecil berbungkus hitam pada kepala Vesa dan tertawa.
Vesa yang tak mengerti apa maksud dari dua preman itu pun hanya melirik sekilas kotak itu. Kepalanya memang agak sakit tapi dia tak sempat memikirkan rasa sakit yang tak seberapa itu. Dia harus segera kabur dari sana sebelum dua orang itu melakukan hal lain kepadanya.
"Tamat riwayatmu sekarang, bodoh!"
Si preman berambut hitam itu tertawa setelah bermain dengan ponselnya sebentar, entah apa yang dia lakukan, Vesa masih belum mengerti.
"Sebentar lagi polisi akan segera datang. Bersiaplah mendekam di penjara, oke?" Si pirang yang berbicara dengan nada puasnya.
Vesa mengerutkan dahinya bingung. Polisi akan datang? Bukankah kalau polisi datang, mereka yang rugi? Mereka yang telah menyeretnya ke tempat ini dan merekalah yang akan dihukum karena tindakan mereka itu termasuk penculikan bukan? Lalu kenapa dirinya yang malah akan dipenjara?
Sungguh aneh, pikir Vesa.
Si pirang mendekat lagi dan mengambil kotak yang tadi dilempar ke arah Vesa. Dia menarik Vesa tapi Vesa dengan sigap menghindarinya.
Si pirang berdecak kesal, "Ed, pegang dia!"
Si pria rambut hitam itu maju dan menahan kedua tangan Vesa agar tak bisa bergerak. Untuk sesaat, Vesa berpikir jika dia akan dihajar oleh dua preman itu. Namun, tebakannya salah. Dua preman itu tak melakukan apapun padanya. Si pirang hanya memasukkan kotak dengan bungkus hitam itu ke dalam tasnya.
"Apa yang kalian masukan?"
"Bukan apa-apa," jawab si pirang dan dia menyeringai.
"Lepaskan aku!" ucap Vesa tapi tubuhnya dipegang kedua preman itu sehingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Ukuran tubuhnya yang jauh lebih ramping dari mereka membuatnya agak susah untuk melawan.
"Tenanglah, kami tak akan berbuat macam-macam. Jadi diamlah dulu sampai polisi itu datang," ucap si rambut hitam.
Vesa semakin curiga. Dia yakin kotak hitam itu pasti berisi benda terlarang.
Ah, sial. Vesa mengumpat dalam hati.
Vesa tak mencoba melepaskan diri lagi. Dia diam.
"Nah, bagus. Begitu." Si rambut hitam tertawa.
"Kalau kau menurut begini kan aku tak perlu repot-repot menahanmu," ucap si pirang.
Si pirang mulai lengah.
Bagus, batin Vesa.
Vesa langsung menendang lutut si pirang dan meninju si hitam dengan gerakan yang sangat cepat.
Kedua preman itu menggeram marah.
"Sial, kau mau mati?" ucap si pirang.
Vesa menggunakan kesempatan itu untuk lari sambil mengeluarkan kotak hitam itu dari tasnya.
Dia langsung melempar kotak itu ke arah belakangnya. Dua preman itu sedang mengejarnya.
Vesa tak menghiraukan tatapan orang-orang yang melihat ke arah mereka.
Vesa berbelok ke sebuah gang sempit lainnya dan bersembunyi. Dia sengaja menunggu dua preman itu.
Begitu mereka berbelok, Vesa langsung menendang dua orang itu. Dia meninju habis-habisan keduanya hingga dua preman itu kewalahan.
Mereka sama sekali tak menduga jika pria bodoh yang mereka kira lemah itu ternyata bisa berkelahi.
"Hentikan!" pinta si pirang yang wajahnya sudah babak belur.
Si hitam sudah tak sadarkan diri.
"Siapa yang menyuruh kalian?" Vesa tentu tak ingin begitu saja membiarkan dua cecunguk itu pergi tanpa dia tahu orang yang telah menyuruh mereka.
Si pirang diam saja. Dia tak mungkin memberitahu Vesa karena dia bisa mati.
"Katakan siapa yang menyuruhmu, keparat!" teriak Vesa dan dia menjambak rambut si pirang itu.
Si pirang yang tak ingin mati sekarang akhirnya menjawab, "Sebastian. Sebastian Wright."
Vesa melepaskan si pirang dan berdiri. Pria itu sudah menduga jika Sebastian masih menaruh dendam kepadanya.
"Oh, jadi begini caramu, Sebastian Wright. Oke, kita lihat saja siapa yang akan masuk penjara."
Vesa lalu menoleh pada si pirang dan si pirang langsung beringsut mundur ketakutan.
"Jangan takut! Aku akan melepaskanmu dan temanmu itu. Tapi sebelumnya kau harus melakukan sesuatu dulu untukku," ucap Vesa.
Wajah si pirang memucat dengan sempurna. Dia punya firasat buruk apalagi pria yang tak terduga itu menyeringai lebar setelah mengatakannya. Dia curiga jika pemuda aneh itu memiliki dua kepribadian.
Vesa Araya benar-benar mengirim dua makhluk tidak berguna itu pada bos yang telah menyuruh mereka.Mereka dengan tangan gemetar membunyikan bel rumah keluarga Wright dan langsung saja mendapatkan jawaban dari satpam yang bertugas menjaga rumah itu."Selamat pagi, saya ingin mengantar paket untuk Tuan Muda Wright," ucap si pirang yang berbicara dengan gugup."Oh, baiklah. Sebentar, akan saya bukakan," ucap satpam itu."Maaf, tapi harus Tuan Muda Wright sendiri yang mengambil paket ini," sambung si rambut hitam yang sudah berkeringat dingin. Dia sesekali menengok ke arah belakang dan langsung saja mengumpat dalam hati karena pria miskin itu ternyata masih berdiri di dekat sana sambil mengawasi mereka dengan tatapan dinginnya."Tunggu sebentar! Paket ini dari siapa?" tanya satpam itu curiga dan dia tetap belum membukakan pintu untuk orang-orang yang mengantar paket itu."Oh, ini dari Tuan White, maksud saya Tuan Muda White, sahabat Tuan Muda Wr
Vesa Araya sedang menatap bengong pada Derrick White yang tengah tersenyum tanpa merasa bersalah kepadanya."Derrick, sudah kukatakan ini bukan liburan. Kenapa kau malah mengajak orang-orang?" ucap Vesa sedikit sebal."Aku tidak mengajak orang-orang. Aku hanya mengajak dua teman baikku. Ini Lucas dan yang ini Lay, mereka kembar," ucap Derrick yang lagi-lagi menampilkan wajah tanpa dosanya saat memperkenalkan mereka.Vesa memutar bolanya malas. Tentu saja dia langsung tahu kedua teman Derrick itu kembar. Bagaimana tidak jika keduanya sangat mirip sekali bagai pinang dibelah dua. Mereka juga memakai pakaian yang sama persis bahkan warnanya sama. Aksesoris juga sama, ditambah lagi koper mereka juga sama.Vesa heran sekali, kenapa ada dua orang manusia dewasa yang masih mau berdandan dengan mirip begitu? Oh, ayolah. Mereka memang kembar, tapi apakah perlu harus memakai pakaian yang sama seperti itu?Yah memang anak kembar selalu lucu di mata Vesa, tapi
"Kapan kau pensiun, Ruslan?" tanya Valentino."Saya tidak akan pernah pensiun. Apa Anda tidak bosan menanyakan hal itu ribuan kali?" tanya Ruslan balik.Valentino menghela napasnya.Ruslan hanya diam berdiri di belakang Tuan Mudanya yang telah dia layani selama lebih dari dua puluh lima tahun itu."Aku hanya ingin kau istirahat, Ruslan. Kau sudah tidak muda lagi. Kau butuh waktu untuk dirimu sendiri," ucap Valentino belum ingin menyerah."Usia saya memang sudah hampir enam puluh tahun tapi kemampuan saya tak menurun, Tuan Muda. Anda juga pasti tahu akan hal itu," ujar Ruslan keras kepala."Kau... Hah, kapan kau berhenti mengkhawatirkan aku? Banyak bodyguard lain yang bisa melindungi aku. Kau tak boleh memaksakan dirimu lagi. Kau sudah terlalu melakukan hal banyak untukku," ucap Valentino. Wajahnya terlihat sedih."Tuan Muda, sudah saya katakan jika saya tidak akan pernah pensiun. Saya akan menjaga Tuan Muda sampai saya mati. Saya suda
Pada akhirnya Derrick memesan satu kamar ukuran besar dengan dua tempat tidur. Dia dengan puas memotretnya dan mengirimkannya pada ayahnya.Ah, akhirnya Vesa paham. Kenapa dia tak berpikir lebih banyak? Tentu saja, seorang Derrick White tidak akan mungkin mau menempati hotel murah. Karena itu pasti membuat harga diri temannya itu jatuh. Lagi pula, menginap di hotel berbintang tujuh selama berbulan-bulan juga, uang keluarga White tidak akan habis.Derrick tak berhenti memotret setiap bagian kamar itu dan kemudian berkata, "Ayo, bersama-sama!"Vesa memutar bola matanya malas. Dia juga baru ingat, Derrick suka sekali memamerkan apapun ke dalam media sosial pribadinya."Vesa, ayolah. Jangan tak bersemangat begitu!" Derrick menarik tangan Vesa yang hanya bisa pasrah. Dia berpikir tak ada salahnya membuat Derrick senang, toh dia bisa sampai ke Indonesia juga berkat sahabatnya itu."Di sini sangat bagus. Pencahayaan yang sangat pas, Derrick." Lucas berdir
Derrick White begitu penasaran hingga tak bisa tidur karena memikirkan ayah Vesa yang belum bisa mereka temukan keberadaannya.Rasanya ada sesuatu yang salah di sini. Tidak mungkin seseorang tidak bisa ditemukan di zaman modern seperti ini. Semuanya semakin maju, seharusnya lebih mudah untuk menemukan orang."Apa iya dia tak ada di internet?" gumam Derrick sendirian.Teman-temannya sudah terlelap dan mendengkur semuanya. Dia mulai jengkel saat ketiga orang yang tidur seperti orang mati itu semakin berisik dengan dengkurannya.Dengan sangat terpaksa, pemuda yang saat ini mengenakan celana pendek selutut itu bangkir dari tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan sendirian.Sesungguhnya Derrick tak nyaman harus sendirian di tempat asing, tapi karena rasa bosan telah hampir membuatnya ingin terjun dari lantai atas itu, dia memilih untuk membuang rasa tidak nyamannya itu.Dia berjalan menelusuri lorong di hotel
"Maaf, Anda harus tanda tangan terlebih dulu jika ingin meminjam majalah itu," ucap pegawai perpustakaan itu.Derrick terbengong-bengong. Dia melirik ke tangan kanannya yang saat ini memang sedang memegang majalah bisnis itu. Dia pun tersenyum penuh maaf dan akhirnya mengikuti pegawai itu dan mengisi daftar pinjam serta membubuhkan tanda tangan."Apakah sudah?" tanya Derrick yang sudah tak sabar ingin berlari ke kamar tempatnya menginap."Sudah. Anda harus mengembalikannya sebelum Anda check out," ucap petugas kaku itu dan Derrick dengan cepat mengangguk."Terima kasih," ucap pemuda itu.Dia langsung melesat begitu saja usai mengucapkan selamat tinggal pada petugas yang hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda yang menurutnya sangat aneh itu.Derrick dengan tidak sabar memencet tombol lift sambil sesekali melirik lagi majalah yang dipegang kuat-kuat seolah-olah majalah itu adalah majalah yang sangat berharga untuknya."Ah,
"Baiklah, tak ada cara lain. Aku rasa hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang ini," ucap Vesa."Tapi, Vesa. Kenapa kau tidak jujur saja pada ayahmu? Bagaimana jika kau katakan saja kepadanya kalau kau sekarang ada di Indonesia? Aku yakin ayahmu tidak mungkin menolak untuk menemuimu," ujar Lucas.Vesa menggigit bibir bawahnya."Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus," balas Vesa."Kenapa memangnya? Bukankah malah lebih enak jika kau tanya langsung padanya jadi kita tak perlu ke sana ke mari untuk mencarinya?"Vesa menggelengkan kepalanya, "Hanya saja aku merasa ayahku akan marah setelah aku menyusulnya ke sini."Lay ikut berbicara, "Tapi Vesa, bukankah sama nanti akan ketahuan. Besok juga kau akan bertemu dengannya, kau ke sana untuk mencarinya dan bertanya kepadanya kan? Jadi untuk apa menutupinya lagi?"Derrick White yang melihat Vesa terlihat bingung akhirnya bersuara kembali, "Sebenarnya menurutku tak ada salahnya kau langsung
Valentino sampai di area pemakaman dengan membawa sebuket bunga untuk sang istri tercinta yang telah pergi meninggalkan dirinya hampir dua puluh tahun yang lalu.Valentino meletakkan bunga itu di atas pusara makam sang istri dan kemudian dia duduk bersila. Pria itu selalu melakukan hal itu ketika dia mengunjungi istrinya itu."Aku ke sini lagi, Ferisha. Dan aku minta harus minta maaf lagi karena belum bisa mengajak putra kita." Pria itu terdiam sebentar sebelum kemudian menengadah ke atas langit cerah."Kau mau kan bersabar untuk menunggu dia datang ke sini? Sebentar lagi, Ferisha. Aku akan membawanya ke sini setelah dia berusia dua puluh tahun," ujar Valentino seolah-olah Ferisha bisa mendengarnya berbicara.Valentino menatap sedih ke photo istrinya di sana.Dia mendesah sedih. Tak ada yang mengetahui bagaimana tidak berdayanya dia ketika satu per satu orang yang ada di sekelilingnya meninggalkan dirinya. Apalagi, istrinya juga turut pergi d