Malam ini, rumah mertuaku sangat ramai. Kerabat langsung berdatangan begitu mendengar kabar duka kematian Adrian, bungsu dari dua bersaudara. Aku-pun bersama Nadine, serta Raline langsung meluncur ke tempat yang hanya berjarak setengah jam dari tempat tinggal kami dengan mengendarai sepeda motor.
Suara tangis, berbaur dengan ramainya obrolan yang memperbicangkan penyebab kematian adik kandung Mas Danang. Aku bersama beberapa saudara mempersiapkan tikar serta tempat untuk membaringkan jenazah.
Tepat pukul satu malam, suara sirine ambulans diiringi deru beberapa mobil, terdengar mendekat. Kami semua kompak berdiri, menyambut kedatangan jasad pria berusia tiga puluh tahun itu.
Isak tangis semakin pecah, manakala beberapa orang laki-laki mengangkat tubuh Adrian yang sudah membeku. Berjalan di belakang, Ibu mertua yang dipapah dua orang wanita. Dan juga, Firna, istri Adrian yang menggendong putri semata wayangnya yang masih berusia empat tahun. Mereka, tentu sangat kehilangan dengan kepergian anak serta suami dengan cara tiba-tiba.
Nadine dan Raline yang berdiri di samping kanan dan kriku, memegang erat lengan ini. Mas Danang, datang tak lama setelah jenazah Iyan dibaringkan.
Setelahnya, suara pelayat yang membacakan Yasin serta tahlil yang dipimpin Ustadz, bergema di rumah megah ini. Karena hari sudah larut malam, pemakaman baru akan dilakukan esok pagi.
***
Selepas kepergian Iyan, ada yang berbeda dari suasana di rumahku. Sepi, karena Mas Danang jarang pulang. Ibu mertua sangat shock dan terluka atas kepergian anak bungsu kesayangannya. Beliau menderita depresi, sehingga sering tiba-tiba teriak malam-malam. Untuk alasan itulah, suamiku sering menginap di sana.
“Kalau tidak ada aku, Ibu tidak bisa dikendalikan saat kambuh depresinya, Mah …” Begitu kata suamiku suatu hari. Aku maklum saja, karena mereka hanya dua bersaudara.
“Ibu diajak ke sini, bisa kan?”
“Tidak mau, Ma … aku sudah berusaha membujuknya. Ibu tidak ingin meninggalkan tempat yang mengukir banyak kenangan dengan Adrian.”
“Tapi, di rumah itu ada Firna, Pa … bisa menimbulkan fitnah bagi orang-orang yang tahu.” Naluri sebagai istri mengatakan ketidakrelaan, bila suamiku berada satu atap dengan adik iparnya.
“Ma … jangan berpikir macam-macam, ya? Percaya sama Papa … di rumah itu masih ada Ibu, juga Bapak yang juga tinggal di sana. Tidak akan terjadi sesuatu yang di luar batas, percayalah!” Aku hanya mengangguk ragu.
Tidak ada yang berubah dari sikap suamiku, kami masih mesra walau tidak setiap hari berjumpa. Anak-anak yang semula keberatan, kini mulai terbiasa dengan kondisi ayah mereka yang harus menjaga sang eyang. Sesekali, kami bertiga ikut menginap di sana, namun tidak bisa setiap hari, karena kedua buah hatiku harus sekolah dan mengaji. Firna sebenarnya sudah pamit, akan pulang ke rumah orang tuanya, akan tetapi, keinginannya ditentang keras oleh Bapak juga Ibu.
“Kami tidak mau jauh dari darah daging Adrian. Lagipula, ini rumah sudah menjadi miliknya, mau buat siapa kalau kamu pergi? Tinggallah di sini! Sekalipun kamu sudah menikah. Kami akan mencarikan calon suami untukmu, yang masih ada hubungan kerabat.” Firna, perempuan yang memang penurut hanya mengangguk saja.
Tiga bulan telah terlewati setelah kematian Adrian. Semakin ke sini, Mas Danang semakin jarang pulang. Alasannya, Ibu semakin parah depresinya. Memang benar, beberapa saat suamiku pulang pada kami, selalu ditelpon untuk kembali ke sana dengan alasan, Ibu mangamuk.
Lambat laun, aku merasa, tidak memiliki hak lagi atas suamiku sendiri. Juga kedua putriku yang seringkali merindukan ayahnya kembali bersama kami seperti dulu …
Hari menjelang sore, saat Mas Danang pulang setelah hampir seminggu tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Mukanya, nampak kusut. Kujabat dan mencium dengan takzim tangan yang dulu digunakan untuk mengikatku dalam janji suci sebuah pernikahan.
Dia hanya berdiri mematung sembari menatap diriku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Setelahnya merengkuh tubuh ini dengan erat. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Pikiranku berkecamuk.
Mas Danang merenggangkan pelukan, dan berjalan cepat menuju kamar. Aku yang melihat keanehan itu tak berani bertanya.
Malam harinya, aku diajak mengunjungi mertua tanpa anak-anak, alasannya cuma sebentar saja. Sesampainya di sana, kedua orangtua Mas Danang serta Firna sudah menunggu di ruang tamu. Perasaanku mulai tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Aku duduk bersisihan dengan Mas Danang, Bapak duduk sendiri, dan Firna, berdampingan dengan Ibu. Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan kabar anak-anak, Bapak mulai berbicara sesuatu hal yang serius.
“Rasti, ada yang ingin kami sampaikan.” Lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih itu berhenti sejenak. Terlihat mengatur kata-katanya. “Sepertinya, keadaan Ibu sulit untuk sembuh. Hal itu membuat Danang, mau tidak mau harus sering menginap di sini. Jujur saja, ini membuat kami tidak enak terhadap pandangan orang, sehingga, dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk …” Kata-katanya menggantung. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otakku.
Degup jantung terasa mulai lebih kencang. Aku menelan saliva, tenggorokan ini seketika tercekat, menanti apa yang akan terucap dari pria yang menjadi mertuaku selanjutnya.
“Menikahkan Danang dengan Firna.” Aku mematung mendengar kalimat terakhir yang diucapkan kakek dari anak-anakku itu.
Dalam tubuh terasa panas, akan tetapi, tangan serta seluruh badan mendadak dingin. Mas Danang menggenggam erat telapak tanganku. Setetes air hangat, jatuh di telapak tangannya yang menggenggam erat jemari ini.
“Kami harap kamu menerima ini dengan ikhlas, Rasti! Ingatlah, kamu berhutang budi pada keluarga ini.” Aku tidak menyangka, beliau sosok yang kuanggap sebagai ayahku sendiri tega mengungkit hal itu.
Jemari ini saling meremas. Terasa sakit hati ini, membayangkan harus membagi kasih sayang suami, dengan Firna menantu yang memiliki tempat special di keluarga ini.
"Bagaimana, Rasti?" tanya ibu Mas Danang penuh harap.Dengan pandangan mengabur karena tertutup air mata, aku menatap wanita yang juga sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri."Bila Ibu di posisi aku, apa yang akan Ibu putuskan?" tanyaku balik. Membuat wanita yang sekarang ini mulai kurus itu terlihat menelan saliva. Memandang pada suaminya yang duduk di sebelah.Tangan yang tergenggam erat oleh telapak Mas Danang, aku tarik paksa untuk menyapu titik-titik air yang tidak sabar ingin jatuh."Dan kamu, Firna? Apa kamu siap untuk dimadu dengan aku? Orang yang katamu sudah dianggap sebagai kakak sendiri?" tatapanku beralih pada wanita berkulit putih yang sekarang sudah tidak pernah berhias sejak suaminya meninggal.Firna tidak menjawab. Hanya menunduk dan terlihat bimbang."Rasti! Kamu tidak perlu bertanya pada semua orang. Setiap orang memiliki pemikiran yang ber
Malam itu, Mas Danang tidur dengan memeluk tubuhku erat sekali. Aku hampir tidak bisa bernapas bila tidak kupaksa dirinya agak sedikit melonggarkan tangan.Di tengah malam, aku terbangun. Kembali menatap wajahnya yang pulas."Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku putuskan? Aku tidak mau berbagi sekalipun itu hanya formalitas menurutmu. Aku tidak yakin," lirihku.Hidup memang selalu penuh kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Sebelum kematian Adrian, aku adalah wanita yang sangat bahagia. Tidak pernah kurang kasih sayang apalagi uang. Mas Danang memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang cukup. Meskipun dia bukan seorang milyarder tapi, penghasilannya lebih dari cukup untuk menafkahi kami bertiga.Orang tuanya cukup berada sehingga, tidak pernah merepotkan kami perihal keuangan. Memang, perlakuan mereka tidaklah sama antara aku dan Firna. Mungkin
Pak Cokro, ayah Firna dan mertuaku terdengar mengurai tawa. Tawa yang berarti lara bagi hati ini. Pun dengan kedua bocah yang saat ini berada di rumah. Andai mereka tahu malam ini, ayah mereka, orang yang sangat mereka sayangi dan andalkan, mengikrarkan janji suci dengan wanita lain, entah seperti apa hancurnya rasa itu.Aku menepi sejenak, menyingkir mencari tempat untuk sekadar membuat diriku merasa nyaman di tengah bahagia yang mereka rasa.Di teras belakang, aku bisa melihat kelap kelip lampu pabrik jauh di depan sana. Belakang rumah keluarga Mas Danang terdapat hamparan sawah yang luas.Yang padinya sudah mulai menguning. Namun, aku jelas tidak bisa melihatnya karena tertutup pekatnya langit malam. Sejenak, kuhirup udara malam dengan sebanyak-banyaknya.Apa aku wanita yang bodoh? Membiarkan suamiku dimiliki oleh wanita lain? Atau, aku hanya sekadar membalas budi seperti yang mereka minta? Atau,
“Kamu sedang apa? Aku cari kemana-mana,” ucap Danang mengulang pertanyaannya. Langkah kaki jenjang lelaki itu menyusul Rasti yang masih terduduk di tepi teras.“Aku sedang ingin sendiri dan menepi,” jawab rasti parau.“Kenapa tidak mengajakku?” tanya Danang lagi.Rasti menggeleng. Tatapannya kembali ia lempar pada kelap kelip lampu di seberang sana. “Aku ingin memberikan ruang untuk kamu menikmati waktu bersama keluarga besar kamu, Mas,” ucap Rasti lirih. Hatinya tertusuk belati, kala mengingat, beberapa saat yang lalu, pria yang amat ia sayangi dan cintai, mengikat janji suci terhadap wanita lain. Meski itu hanya sebuah formalitas seperti yang suaminya katakan, tapi tetap saja, pernikahan adalah bukan sesuatu hal yang bisa dimainkan.Telapak tangan Rasti yang dingin merasakan sebuah kehangatan saat tangan kekar sang suami menggenggamnya dengan lembut.
POV RASTIAnak-anak diajak serta tidur bersama kami di kamar. Sepertinya, Mas Danang ingin menghabiskan malam bersama mereka. Aku sampai menggelar sebuah kasur di bawah. Karena tempat tidur tidak muat untuk menampung kami berempat.“Papa, jangan tinggalkan aku, ya?” pinta Raline saat Mas Danang sudah tidak bersuara.“Hemh,” gumam Mas Danang lirih.Aku berdiri di tepi ranjang, mengamati tiga orang yang sangat berharga dalam hidupku. Rasanya, aku tidak sanggup berbagi. Meski Mas Danang menganggap pernikahan mereka hanya sebatas formalitas semata. Siapapun wanitanya, tentu tidak ada yang mau dimadu, dengan cara dan niat apapun itu. Terlebih, wanita yang menjadi madunya, masih sesame menantu.Pagi hari, kami beraktivitas seperti biasanya. Mas Danang bersiap kerja, sementara anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah.“Jaga rumah, ya?
“Coba jawab! Jangan diam saja!” Aku berkata dengan nada suara yang tetap dingin. “Aku, aku tidak seburuk itu, Mbak. Aku tidak akan meminta hal yang memalukan seperti yang Mbak Rasti katakan. Aku hanya butuh sosok ayah untuk Yasmin. Mas Danang adalah pria yang sangat tepat menggantikan sosok Mas Adrian sebagai ayah kandungnya. Mas Danang kakak kandung mendiang suamiku. Aku yakin, dia akan bisa dengan tulus menyayangi Yasmin. Sementara bila aku mencari lelaki lain, belum tentu dia akan bisa menerima Yasmin dengan tulus.” Ucapan Firna benar-benar membuat aku semakin didorong emosi. “Jadi, benar dugaanku, bukan? Kamu memang menikmati pernikahan ini?” “Aku hanya berusaha ikhlas dan berdamai menerima takdir, Mbak. Apapun yang menimpa kita, bukankah itu sudah menjadi sebuah garis hidup yang kita smeua harus mau menerimanya? Begitupun dengan aku dan Mbak Rasti. Kita ditakdirkan memiliki suami yang sama, Mbak. Kita ditakdir
POV RASTI"Bukankah aku sudah pernah bilang? Kalau Bapak menyakiti Rasti, maka aku yang akan mencari keadilan untuknya."Ucapan pungkasan yang disampaikan Mas Danang membuat perasaanku terbelah menjadi dua. Di satu sisi, aku tidak lagi ragu terhadapku cintanya. Namun, di sisi lain, aku menjadi berpikir kalau ada sesuatu hal yang mereka sembunyikan dariku.Dengan langkah berjingkat, aku kembali ke peraduan. Mata ini sulit terpejam. Namun, selimut sengaja aku tarik hingga menyisakan ujung kepala saja. Kumiringan tubuh agar Mas Danang mengira kalau aku sudah tidur. Tak berapa lama, deritamu pintu terdengar. Lalu ditutup pelan-pelan. Dan, sebuah tangan melingkar memeluk erat tubuh ini.Sejak percakapan yang aku dengar antara Mas Danang dan bapaknya semalam, hati ini menjadi penasaran. Seakan ada sebuah bisikan untuk aku mencari tahu sesuatu hal.Namun, hal apa itu? Pert
Pukul empat sore, aku sudah menyerah menghubungi Mas Danang. Aku memilih membaca artikel bisnis yang ada di internet. Rasanya, aku harus mulai mengenali tata cara mencari uang. Karena apapun yang akan terjadi, kita tak pernah tahu. Seperti saat ini , aku tiba-tiba harus hidup dengan memiliki seorang madu.Layar gawai berkedip. Nama Mas Danang memanggil di sana. Seketika, hatiku berdegup kencang. Dengan tangan bergetar, kuangkat panggilan telepon dari lelaki yang sangat kucintai itu.“Halo, Mas,” sapaku.“Halo, Rasti. Maaf dari tadi pagi aku tidak sempat bermain handphone. Ibu harus dibawake rumah sakit. Dan ini sudah masuk ruang perawatan,” jelas Mas danang.“Mas danang sama siapa di sana?” tanyaku cemas.“Aku sama bapak, Ras. Kamu mau nyusul ke sini? Kalau iya, Nadine sama raline biar dititipkan Bibik,” ujar Mas Danang membuatku le