Share

HANYA FORMALITAS

"Bagaimana, Rasti?" tanya ibu Mas Danang penuh harap.

Dengan pandangan mengabur karena tertutup air mata, aku menatap wanita yang juga sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri.

"Bila Ibu di posisi aku, apa yang akan Ibu putuskan?" tanyaku balik. Membuat wanita yang sekarang ini mulai kurus itu terlihat menelan saliva. Memandang pada suaminya yang duduk di sebelah.

Tangan yang tergenggam erat oleh telapak Mas Danang, aku tarik paksa untuk menyapu titik-titik air yang tidak sabar ingin jatuh.

"Dan kamu, Firna? Apa kamu siap untuk dimadu dengan aku? Orang yang katamu sudah dianggap sebagai kakak sendiri?" tatapanku beralih pada wanita berkulit putih yang sekarang sudah tidak pernah berhias sejak suaminya meninggal.

Firna tidak menjawab. Hanya menunduk dan terlihat bimbang.

"Rasti! Kamu tidak perlu bertanya pada semua orang. Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Jangan menjawab sebuah pertanyaan dengan bertanya pada orang lain. Jelas setiap orang punya isi kepala yang berbeda. Tidak bisa disamakan. Kami tidak meminta sesuatu hal yang jahat sama kamu. Apa yang kami lakukan ini sebagai upaya untuk tetap mempersatukan keluarga. Bila Firna menikah dengan Danang maka, dia akan tetap menjadi anak kamu dan Rubi, masih bisa tinggal bersama kami," ujar bapak Mas Danang terlihat santai. Seperti tidak sedang memikirkan sebuah perasaanku.

Aku berpaling pada Mas Danang. Alih-alih meminta pembelaan, suamiku malah ikut menundukkan kepala seperti yang Firna lakukan.

"Pak, tidakkah Bapak berpikir bahwa apa yang Bapak minta menyakiti perasaanku?" tanyaku memelas.

"Sakit karena belum terbiasa. Bila sudah dijalani, akan terasa biasa. Anggap saja, kamu hidup dengan adik perempuan kamu."

"Aku menolaknya, Pak!" tegasku. Meski berurai air mata, kepalaku bisa berdiri tegak.

"Sepuluh tahun yang lalu, kami mengorbankan anak kami untuk menikahi kamu. Di saat orang tuamu meninggal dalam sebuah kecelakaan dengan meninggalkan banyak hutang, Danang yang pada waktu itu memiliki seorang kekasih, kami paksa untuk menikahi kamu karena kami kasihan dengan kamu yang hidup sebatang kara di sini. Dengan uang kami pula, hutang orang tuamu lunas. Bayangkan bila kamu tidak kami ambil sebagai menantu, Rasti! Apa yang akan terjadi sama kamu? Nasibmu akan sangat tidak baik karena yang akan menagihmu adalah rentenir. Kini, aku meminta balas budimu untuk menggantikan apa yang sudah kami berikan pada kamu!" Seperti petir yang menyambar. Ah, tidak! Laksana pisau yang tiba-tiba menusuk jantungku. Setelah sepuluh tahun berlalu, baru kali ini aku mendengar kisah masa lalu itu diungkit kembali.

Lidahku kelu. Tak mampu berkata sepatah katapun. Apa yang mereka katakan, benar adanya. Mas Danang adalah pahlawan untukku pada saat itu. Namun, haruskah dengan cara ini aku menebusnya? Bukankah, ini seperti buah simalakama. Mengapa merekam tidak membiarkan aku dibunuh oleh rentenir, jika akhirnya akan seperti ini?

Oh, tidak! Pada waktu itu, merekapun tidak tahu kalau Adrian akan meninggal di usia muda dan meninggalkan seorang istri dan anak.

"Pak, tidakkah Bapak punya calon selain Mas Danang? Kenapa harus dia, Pak?" lirihku sambil terisak.

"Karena kami ingin, tetap bersama Firna dan Danang. Hidup dalam satu rumah bersama tanpa ada fitnah warga," jawab Ibu dengan nada memohon.

"Mas?" Aku meminta pendapat lelaki di sampingku. Saat ini aku berharap, dia akan berada di pihakku.

"Ras ... kita bicarakan ini di rumah," jawab Mas Danang sambil menganut lenganku mengajakku pergi.

***

"Aku tidak mau dimadu, Mas. Bila itu terjadi, lebih baik aku yang pergi dari kehidupan kalian dengan membawa anak-anak," ucapku saat kami sudah berada di kamar. Mendengarku berkata demikian, Mas Danang duduk bersimpuh di bawah kakiku. Memegang lutut dengan kedua tangannya lalu meletakkan kepala di atas pangkuanku.

"Aku akan menikahi Firna hanya sampai Ibu sembuh. Toh, pernikahan kami dilakukan secara agama. Kalaupun aku menceraikan dia suatu hari nanti, tidak ada proses pelik yang harus dilalui. Tinggal ucapkan talak. Selesai sudah hubungan kami." Mas Danang berujar setelah mendongakkan kepalanya.

Aku masih terdiam menikmati sakit yang berdenyut-denyut dalam hati. Meski Mas Danang berkata demikian, tetap saja hati ini ada rasa takut. Takut akan semuanya.

"Wanita manapun tidak akan pernah rela dimadu, Mas!" jawabku lirih.

"Aku tahu itu. Pernikahan ini hanya sebatas formalitas. Yang penting, Ibu sehat dulu. Aku yakin, lambat laun pasti Ibu akan bisa menerima kematian Adrian. Dan bila saat itu tiba, aku akan menceraikan Firna!"

Kupandangi jambang tipis yang tumbuh di dagunya. Aku memang wanita yang beruntung. Memiliki suami pria yang alim yang penyayang. Sepuluh tahun menikah dengannya, tidak pernah sekalipun Mas Danang berbuat kasar. Meski pernikahan kami dilakukan bukan atas dasar cinta.

"Kalau aku ingin bercerai dari kamu karena aku tidak mau dimadu?" tanyaku kemudian.

"Rasti aku mohon. Aku sangat menyayangi kalian. Aku tidak mau berpisah dari kalian. Tolong aku, Rasti ... anggaplah ini ujian pernikahan kita. Ayo, bantu aku melewati masa sulit ini. Sungguh, aku tidak ingin melakukannya tapi, Ibu mengancam akan bunuh diri bila aku tidak mau menuruti keinginannya."

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Wiwi Nursari
baru baca udah mengandung bombay...sakit bgt rasanya
goodnovel comment avatar
Fresly Nandar
binggung namanya kok jadi danang...
goodnovel comment avatar
Giyantik Ika Idha
namanya ganti danang? bingung sy jadinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status