Aku bangkit, mencari Nadine dan Raline, mengajak mereka untuk mkembali ke tempat dimana kami dan ayahnya berpisah.
Dalam jarak beberapa meter, kulihat Mas danang dan Firna sudah menunggu di sana. Dan pemandangan tidak enak, terpampang di hadapan. Firna tengah mengambil sesuatu di rambut suamiku.
“Mas!” seruku membuat mereka kaget.
“Eh, Rasti. Dari mana saja, aku menunggumu di sini?” tanya Mas Danang gugup.
“Kenapa tidak mencariku? Kamu tahu bukan, tempat dimana aku biasa menunggu kamu saat kita berkunjung ke rumah sakit?” tanyaku ketus.
“Taman?” Mas Danang bertanya balik.
“Itu tahu. Atau sengaja?” tanyaku menuduh.
“Mbak, maaf, Tadi ada semut di rambut Mas Danang.” Firna ikut menyahut.
Terdengar langkah kaki berlari.
“Bun
“Rasti. Namaku Rasti,” tegasku. “Oh, maaf, Rasti. Aku hanya ….” “Hanya memikirkan Firna,” tukasku. Kupindahkan badan ini, duduk di samaping pria yang telah memberiku dua orang anak itu. Mas Danang merubah raut mukanya. Kali ini tidak sedingin tadi. “Apa yang Ibu minta?” Kuulang pertanyaanku. “Kamu harus meniduri Firna?” “Rasti!” “Oh, syukurlah, namaku tidak berganti menjadi Firna. Apa lagi selain itu, Mas? Inti dari sebuah pernikahan adalah melakukan hubungan. Kamu menidurinya?” “Rasti! Kamu keterlaluan. Itu pertanyaan yang terlalu fulgar.” “Baiklah, aku bertanya hal lain saja. Apakah Mas mengenal orang tuaku sebelum meninggal? Atau, Pak Har, maksud aku, Bapak, mengenal bapakku dulu?” “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?” Kulihat ekspresi kaget di wajah Mas Danang.
Kulajukan kendaraan roda dua matic menyusuri jalan yang penuh kenangan. Hingga tak kuat menahan sebuah sesak yang aku rasa, motor kutepikan. Aku kembali menelungkupkan kepala di atas kemudi.Ada sebuah sesal, mengapa aku dulu begitu mudahnya pergi, mengikuti seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya serta asal usulnya.Setiap jengkal tanah yang aku lewati selalu terlihat kenangan semasa aku masih menjadi sosok yang sangat beruntung.Beberapa pohon yang berdiri di sepanjang jalan mengingatkanku pada saat aku masih berjalan bersama beberapa teman ketika berangkat ataupun pulang sekolah.Iya, jalan kaki. Karena sekolah kami terletak di jalan besar sebelum masuk jalan gang menuju komplek rumah tempat aku tinggal.Dulu, saat bulan puasa, kami sering berteduh di bawahnya. Bukan karena lelah, hanya mengulur waktu sampai di rumah.Teman? Kemana mereka semua? Aku suda
Maryam berlari ke dalam dan memberitahukan akan kedatanganku dengan suara yang sangat keras. Bik Sum sontak kaget, dan berlari tergopoh. Wanita yang aku perkirakan umurnya telah melewati enam puluh tahun itu menangis seketika saat melihatku berada di depannya.“Ya Allah, rasti. Rasti, ini benarkah kamu? Rasti kamu kemana saja? Kenapa menghilang?” tanya Bik Sum bertubi-tubi setelah memelukku erat sekali.Untuk sejenak, aku menikmati rasa damai ini. Telah lama aku tidak merasakan pelukan hangat dari seorang keluarga. Karena setahuku, keluargaku hanyalah Bapak dan Ibu yang telah lama tiada. Kedua tanganku ikut mendekap tubuh Bik sum yang gempal. Bau bumbu dapur yang menguar dari tubuhnya sama sekali tidak aku hiraukan. Tak terasa, air mataku kembali tumpah. Meski taka da ikatan darah, mereka adalah orang dekat keluargaku yang aku miliki.“Ayo, masuk. Bik Sum bau, ya? Maaf, ya? Bik Sum sangat bahagia meliha
“Kamu yakin, Mar?” tanyaku memastikan.“Iya, Mbak. Aku selalu mengawasi rumah Mbak Rasti setelah Mbak pergi. Aku selalu berharap, orang yang datang, itu adalah Mbak Rasti. Meskipun kita tidak akrab, tapi aku sangat menyayangi ibu Mbak Rasti yang sudah baik banget sama aku. Sering kok, Mbak, orang itu sama istrinya datang,” jelas Maryam membuatku sangat sedih.Sedih karena penjelasan Maryam dan juga kenyataan lain, mertua yang aku kira sebagai penolong, ternyatadia telah membohongi aku sesuatu hal.“Rumah kamu sudah disita pihak bank. Jadi, tinggallah di sini.” Ucapan Pak Har kala itu kembali terngiang di telinga ini.Aku memang bodoh. Mengapa tidak mencari tahu perihal kematian mereka? Tentang apa saja yang mereka tinggalkan untukku?Rasa sedih akan kenangan indah dulu, serta trauma dengan orang-orang yang menyebut mereka rentenir, membuatku en
Setelah puas melepas rindu, aku pamit pada Bik Sum, juga Maryam. Tidak lupa, kuselipkan beberapa lembar uang ratusan pada Maryam. Ia menolak, tapi aku memaksa. “Buat jajan anak kamu. Aku tidak bisa bertemu dengannya,” ucapku membuat Maryam tidak bisa menolak.Kulajukan kembali sepeda motor menembus jalan yang penuh kenangan. Merapatkan jaket, memakai masker dan juga memastikan helm menutup kepala dengan sempurna. Ah, rasanya aku seperti maling saja.Entah kenapa, aku berpikir untuk berkeliling kompleks sejenak. Ingin mengetahui rumah beberapa temanku. Toh, anak-anak ada sama Mas Danang, mereka pasti tidak akan kesepian.Motorku berhenti di depan sebuah rumah yang sudah berubah modelnya. Hunian itu adalah milik Restu, kakak kelas yang pernah aku taksir.Dulu, aku harus berjalan jauh saat Ibu memintaku membeli sabun. Meskipun ada toko yang lebih dekat, aku memilih yang jauh karena melewati
Apa yang kamu lakukan, Firna?” teriak Rasti kesal.“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian berdua. Aku merasa, kamu terlalu egois, Mbak. Kita posisinya sama. Sama-sama menantu. Tidakkah kamu berpikir, bahwa aku juga kamu memiliki kewajiban yang sama? Membahagiakan Ibu. Mas Danang satu-satunya anak yang tersisa. Tidak mudah untuk Ibu memutuskan semua ini. Ada banyak hal yang beliau pertimbangkan. Aku juga menantunya sama seperti kamu, Mbak. Yasmin pun memiliki posisi yang sama dengan anak-anakmu. Jadi, jangan pernah menekan ataupun memaksa Mas Danang menjadi seorang pembangkang. Dan kamu, Mas, bila kamu menuruti apa yang dikatakan Mbak Rasti, maka tidak menutup kemungkinan kalau kita akan kembali kehilangan orang yang kita sayangi.” Ucapan Firna seperti sudah direncanakan. Ia mengungkapkan itu dengan sangat lancar, membuat Mas Danang menundukkan kepalanya.“Firna, aku mohon, keluarlah dari kamar kami. Kamu hany
Ya Allah, kuatkan anak-anakku. Ucapku dalam hati. Kini aku kembali memeluk mereka berdua dan menangis sesenggukan. Hingga sebuah suara membuatku menoleh. “Ma, kamu sudah makan belum?” tanya Mas Danang lembut. “Sudah. Aku sudah makan, Mas,” jawabku jujur. “Kakak, Adek, nanti sore kita ke kolam renang, ya?” ajak Mas Danang. “Tapi,Papa tidak akanpindah jadi papanya Yasmin, ‘kan?” si kecil Raline bertanya dengan kepolosannya. Masih dalam posisi menoleh, aku melihat lelakiku mengangguk. *** “Jangan katakan apapun sama anak-anak,” ujar Mas Danang kala aku sudah kembali ke kamarku. Aku yang tengah merapikan baju dalam lemari menoleh, menatapnya yang duduk di sofa. “Bukankah keluargamu yang berusaha menjelaskan ini pada mereka, Mas? Tidakkah Ibu dan Bapak bisa bersabar unt
Pagi itu, aku kembali menyusuri jalan kenangan masa kecil. Sebelum menemui seorang teman, aku akan ke rumah Bik Sum terlebih dahulu.Dari balik helm, aku melihat lagi, ibu Firna keluar dari rumah orang tuaku. Terlihat membawa sebuah kantung plastik sampah yang ia letakkan di tempat sampah yang tersedia di depan rumah.Tuas gas aku tarik dengan cepat, menghindari wanita itu melihatku.Rumah Bik Sum terlihat sepi, tapi pintunya terbuka. Kuketuk daun pintu yang berwarna cokelat usang. Meskipun sudah terbuka, aku tidak berani masuk.“Eh, Rasti!” Tergopoh wanita itu berlari ke arahku.Menit berikutnya, kami sudah terlibat obrolan hangat. Tak ingin membuang waktu, segera kutanyakan maksdu kedatanganku ke sini.“Bagaimana, Bik, apa Bibik sudah menemui ketua RT saat itu untuk menanyakan perihal rumahku?” tanyaku pada Bik Sum.