“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Malam itu, saat hendak beranjak tidur, gawai Mas Danang berdering. Aku yang tengah merapikan bantal dan menata selimut hanya melirik sekilas saja. Mengira, itu hanya sebuah panggilan biasa. “Apa? Kapan? Dimana?” Pertanyaan beruntun yang diucapkan suamiku membuat tangan ini sejenak menghentikan aktivitas yang sudah biasa kulakukan menjelang tidur. “Baik, baik, saya akan segera ke sana.” Mas Danang menutup teleponnya. “Kenapa, Mas?” Tanyaku cemas, sambil melangkah pelan menuju dirinya yang berdiri di tepi ranjang dengan menatap layar gawai. Seperti orang yang tengah panik, ayah dari anak-anakku itu tidak mengindahkan pertanyaan dariku. Kuusap pelan pundaknya, Mas Danang berpaling menatap diri ini dengan tatapan yang tidak baik-baik saja. “Adrian kecelakaan, Ma ...” Aku kaget mendengar kabar itu. “Aku harus segera ke rumah sakit. Kamu, jaga anak-anak di rumah, ya? Nanti aku kabari setelah sampai di sana.” Lanjutnya lagi, yang kujawab dengan anggukan kepala. Mas Danang bergegas meraih
Malam ini, rumah mertuaku sangat ramai. Kerabat langsung berdatangan begitu mendengar kabar duka kematian Adrian, bungsu dari dua bersaudara. Aku-pun bersama Nadine, serta Raline langsung meluncur ke tempat yang hanya berjarak setengah jam dari tempat tinggal kami dengan mengendarai sepeda motor. Suara tangis, berbaur dengan ramainya obrolan yang memperbicangkan penyebab kematian adik kandung Mas Danang. Aku bersama beberapa saudara mempersiapkan tikar serta tempat untuk membaringkan jenazah. Tepat pukul satu malam, suara sirine ambulans diiringi deru beberapa mobil, terdengar mendekat. Kami semua kompak berdiri, menyambut kedatangan jasad pria berusia tiga puluh tahun itu. Isak tangis semakin pecah, manakala beberapa orang laki-laki mengangkat tubuh Adrian yang sudah membeku. Berjalan di belakang, Ibu mertua yang dipapah dua orang wanita. Dan juga, Firna, istri Adrian yang menggendong putri semata wayangnya yang masih berusia empat tahun. Mereka, tentu sangat kehilangan dengan kep
"Bagaimana, Rasti?" tanya ibu Mas Danang penuh harap.Dengan pandangan mengabur karena tertutup air mata, aku menatap wanita yang juga sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri."Bila Ibu di posisi aku, apa yang akan Ibu putuskan?" tanyaku balik. Membuat wanita yang sekarang ini mulai kurus itu terlihat menelan saliva. Memandang pada suaminya yang duduk di sebelah.Tangan yang tergenggam erat oleh telapak Mas Danang, aku tarik paksa untuk menyapu titik-titik air yang tidak sabar ingin jatuh."Dan kamu, Firna? Apa kamu siap untuk dimadu dengan aku? Orang yang katamu sudah dianggap sebagai kakak sendiri?" tatapanku beralih pada wanita berkulit putih yang sekarang sudah tidak pernah berhias sejak suaminya meninggal.Firna tidak menjawab. Hanya menunduk dan terlihat bimbang."Rasti! Kamu tidak perlu bertanya pada semua orang. Setiap orang memiliki pemikiran yang ber
Malam itu, Mas Danang tidur dengan memeluk tubuhku erat sekali. Aku hampir tidak bisa bernapas bila tidak kupaksa dirinya agak sedikit melonggarkan tangan.Di tengah malam, aku terbangun. Kembali menatap wajahnya yang pulas."Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku putuskan? Aku tidak mau berbagi sekalipun itu hanya formalitas menurutmu. Aku tidak yakin," lirihku.Hidup memang selalu penuh kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Sebelum kematian Adrian, aku adalah wanita yang sangat bahagia. Tidak pernah kurang kasih sayang apalagi uang. Mas Danang memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang cukup. Meskipun dia bukan seorang milyarder tapi, penghasilannya lebih dari cukup untuk menafkahi kami bertiga.Orang tuanya cukup berada sehingga, tidak pernah merepotkan kami perihal keuangan. Memang, perlakuan mereka tidaklah sama antara aku dan Firna. Mungkin
Pak Cokro, ayah Firna dan mertuaku terdengar mengurai tawa. Tawa yang berarti lara bagi hati ini. Pun dengan kedua bocah yang saat ini berada di rumah. Andai mereka tahu malam ini, ayah mereka, orang yang sangat mereka sayangi dan andalkan, mengikrarkan janji suci dengan wanita lain, entah seperti apa hancurnya rasa itu.Aku menepi sejenak, menyingkir mencari tempat untuk sekadar membuat diriku merasa nyaman di tengah bahagia yang mereka rasa.Di teras belakang, aku bisa melihat kelap kelip lampu pabrik jauh di depan sana. Belakang rumah keluarga Mas Danang terdapat hamparan sawah yang luas.Yang padinya sudah mulai menguning. Namun, aku jelas tidak bisa melihatnya karena tertutup pekatnya langit malam. Sejenak, kuhirup udara malam dengan sebanyak-banyaknya.Apa aku wanita yang bodoh? Membiarkan suamiku dimiliki oleh wanita lain? Atau, aku hanya sekadar membalas budi seperti yang mereka minta? Atau,