Share

MENGAPA CINTA MENYAPA
MENGAPA CINTA MENYAPA
Penulis: Marthino Mawikere

Ribut Di Pelataran Parkir

“Damned!”

Rutukan satu patah kata itu keluar dari mulut Rania di balik kemudi kendaraan yang dikendarai. Kejengkelannya beralasan. Sangat beralasan. Sudah hampir seperempat jam kendaraan yang dikemudikannya berputar-putar di areal parkir gedung perkantoran. Toh, tetap tidak ada tempat baginya untuk memarkir kendaraan. Ia tidak mau mencoba mencari di basement karena pada umumnya di areal parkir bawah gedung sudah dalam keadaan tersewa oleh para tenant, perusahaan perkantoran penyewa ruangan-ruangan gedung.

Ini adalah hari pertama Rania bekerja di perusahaan yang terletak di salah satu kompleks gedung perkantoran. Mestinya ia datang tepat waktu. Tapi, uh! Hari pertama ini ternyata harus ia lalui dengan kejengkelan yang mudah-mudahan bukan pertanda jelek akan timbulnya kejengkelan-kejengkelan berikut di hari yang sama. Ia tak mau kalau keterlambatan bisa jadi penyebab kinerjanya dinilai buruk.

Rania melirik penunjuk waktu digital di dashboard kendaraan. Alisnya seketika menaik. Sebuah ekspresinya yang jamak ia lakukan saat dalam kondisi panik. Ia disadarkan bahwa dirinya sudah terlambat sepuluh menit dari saat jam kantor dimulai.

Pelataran parkir di sebuah gedung perkantoran  nampak penuh. Kendati areal parkir telah memiliki ukuran seribuan meter persegi, bahkan di beberapa bagian telah mengalami perluasan, kapasitas yang ada ketap masih belum cukup untuk menampung seluruh mobil karyawan di areal perkantoran yang terdiri dari gedung kembar tiga itu. Berbagai jenis dan merek mobil berjejer rapi nyaris di setiap sudut dan hanya menyisakan sedikit celah selebar ukuran pintu kendaraan.

Acara mencari lokasi parkir semacam ini benar-benar menyebalkan Rania.

 “Please help, God!” desisnya nyaris tanpa suara. “Masa’ sih hari pertama udah telat kayak begini. Oh please, please, please…. Tolong kasih kesemp…”

Doanya terhenti seketika. Hatinya melonjak girang ketika melihat sebuah areal kosong sepuluh meter dari posisinya. Areal parkir yang sempurna. Ia jadi sangat bersemangat.  Rania dengan cepat mengarahkan moncong kendaraan ke lokasi itu.

Saat pedal gas ditekan, sedan hatchback biru yang ia kemudi melaju cepat. Begitu cepat sehingga sebuah sedan hitam metalik yang bermaksud keluar dari parkir tidak sempat Rania lihat. Rania hanya terlambat sedetik saat secara spontan menekan pedal rem. Namun tak urung kendaraannya masih sempat melaju hingga beberapa meter.

Krkkk!!

Hati Rania tercekat saat suara benturan kecil terdengar.

Rania segera membuka pintu. Rambutnya yang ikal panjang dan dicat pirang berkibar indah tertiup angin. Biasanya ia membanggakan potongan rambutnya. Tapi sekarang, semua itu ia abaikan karena ada hal yang perlu dibenahi. Hatinya makin tercekat lagi melihat kaca depan sebelah kiri kini dalam keadaan pecah berantakan. Seorang pria, si pengemudi mobil sedan hitam, melalui jendela yang terbuka seperempat, menampakkan sebagian wajah dan berucap sesuatu.

“Apa?“

“I said sorry.“

“Sorry?“

“Iya,” katanya singkat.

Ia kemudian keluar dari mobil dan melihat kondisi bagian depan mobilnya. Ia juga melihat kaca depan mobil Rania. Sedan hitam yang ia kemudikan nampaknya hanya tergores sedikit di ujung kanan depan karena memang fisik kendaraan yang lebih tinggi dari yang Rania kendarai.

“Anda tidak apa-apa?”

Rania meradang. Walau pertanyaan orang itu terkesan tulus, ia jelas tidak suka dengan pengalaman tidak enak ini.

“Kaca mobil saya pecah, saya terlambat tiba di kantor, energi saya terbuang percuma karena kejadian ini dan saya semakin kesulitan untuk parkir. Pantaskah kalau anda lantas mengatakan apakah saya tidak apa-apa?” Rania berkacak pinggang menghadap orang itu. Akibat menghadap sinar matahari ia tak bisa melihat jelas wajah pria itu. Yang ia tahu pria itu berbadan besar dan mungkin sangat pantas menjadi binaragawan atau pelatih gym.

“Nyebelin!”

Pria itu tidak menjawab. Ekspresinya berubah. Menunjukkan sikap tidak nyaman.

“Sori,” katanya lagi.

Rania melipat tangan di dada. Kekesalan masih menggumpal dalam batinnya. “Sori, sori. Eh, Anda tidak bisa mengemudikan kendaraan dengan lebih hati-hati?”

“Tentu bisa. Sekali lagi saya minta maaf.”

Rania menggeleng cepat. “Memang mudah mengatakan sori, maaf, atau apa pun istilah anda.”

“Saya tidak sengaja. Saya…”

“Cara Anda mengemudi parah betul sih? Anda itu perlu tahu kalau saya …”

Si pria tiba-tiba memotong. “Jadi berapa biaya perbaikan yang harus saya tanggung?”

Rania meradang.

“Ini bukan soal biaya perbaikan. Saya bisa ganti biaya perbaikan sendiri. Saya hanya minta supaya Anda …” Rania terdiam. Untuk sesaat ia bingung hendak melanjutkan bagaimana.

Pria tadi juga nampak menunggu ucapan lanjutannya.

“Saya minta untuk anda mengemudikan kendaraan lebih hati-hati.” Rania akhirnya memiliki bahan untuk melanjutkan pembicaraannya. “Anda ada di areal parkir. Anda kan bisa mengemudikan kendaraan secara perlahan-lahan.”

Pria itu mendengus. Suaranya terdengar dingin dan nyaris tanpa ekspresi.

“Saya harus mengemudikan kendaraan perlahan-lahan?”

“Ya!” Rania mengangguk mantap.

“Di areal parkir seperti ini?”

“Ya!”

“Untuk menghindari kejadian serempetan seperti ini?”

“Ya!”

“Sungguh itu yang anda mau?”

“Ya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status