“Damned!”
Rutukan satu patah kata itu keluar dari mulut Rania di balik kemudi kendaraan yang dikendarai. Kejengkelannya beralasan. Sangat beralasan. Sudah hampir seperempat jam kendaraan yang dikemudikannya berputar-putar di areal parkir gedung perkantoran. Toh, tetap tidak ada tempat baginya untuk memarkir kendaraan. Ia tidak mau mencoba mencari di basement karena pada umumnya di areal parkir bawah gedung sudah dalam keadaan tersewa oleh para tenant, perusahaan perkantoran penyewa ruangan-ruangan gedung.
Ini adalah hari pertama Rania bekerja di perusahaan yang terletak di salah satu kompleks gedung perkantoran. Mestinya ia datang tepat waktu. Tapi, uh! Hari pertama ini ternyata harus ia lalui dengan kejengkelan yang mudah-mudahan bukan pertanda jelek akan timbulnya kejengkelan-kejengkelan berikut di hari yang sama. Ia tak mau kalau keterlambatan bisa jadi penyebab kinerjanya dinilai buruk.
Rania melirik penunjuk waktu digital di dashboard kendaraan. Alisnya seketika menaik. Sebuah ekspresinya yang jamak ia lakukan saat dalam kondisi panik. Ia disadarkan bahwa dirinya sudah terlambat sepuluh menit dari saat jam kantor dimulai.
Pelataran parkir di sebuah gedung perkantoran nampak penuh. Kendati areal parkir telah memiliki ukuran seribuan meter persegi, bahkan di beberapa bagian telah mengalami perluasan, kapasitas yang ada ketap masih belum cukup untuk menampung seluruh mobil karyawan di areal perkantoran yang terdiri dari gedung kembar tiga itu. Berbagai jenis dan merek mobil berjejer rapi nyaris di setiap sudut dan hanya menyisakan sedikit celah selebar ukuran pintu kendaraan.
Acara mencari lokasi parkir semacam ini benar-benar menyebalkan Rania.
“Please help, God!” desisnya nyaris tanpa suara. “Masa’ sih hari pertama udah telat kayak begini. Oh please, please, please…. Tolong kasih kesemp…”
Doanya terhenti seketika. Hatinya melonjak girang ketika melihat sebuah areal kosong sepuluh meter dari posisinya. Areal parkir yang sempurna. Ia jadi sangat bersemangat. Rania dengan cepat mengarahkan moncong kendaraan ke lokasi itu.
Saat pedal gas ditekan, sedan hatchback biru yang ia kemudi melaju cepat. Begitu cepat sehingga sebuah sedan hitam metalik yang bermaksud keluar dari parkir tidak sempat Rania lihat. Rania hanya terlambat sedetik saat secara spontan menekan pedal rem. Namun tak urung kendaraannya masih sempat melaju hingga beberapa meter.
Krkkk!!
Hati Rania tercekat saat suara benturan kecil terdengar.
Rania segera membuka pintu. Rambutnya yang ikal panjang dan dicat pirang berkibar indah tertiup angin. Biasanya ia membanggakan potongan rambutnya. Tapi sekarang, semua itu ia abaikan karena ada hal yang perlu dibenahi. Hatinya makin tercekat lagi melihat kaca depan sebelah kiri kini dalam keadaan pecah berantakan. Seorang pria, si pengemudi mobil sedan hitam, melalui jendela yang terbuka seperempat, menampakkan sebagian wajah dan berucap sesuatu.
“Apa?“
“I said sorry.“
“Sorry?“
“Iya,” katanya singkat.
Ia kemudian keluar dari mobil dan melihat kondisi bagian depan mobilnya. Ia juga melihat kaca depan mobil Rania. Sedan hitam yang ia kemudikan nampaknya hanya tergores sedikit di ujung kanan depan karena memang fisik kendaraan yang lebih tinggi dari yang Rania kendarai.
“Anda tidak apa-apa?”
Rania meradang. Walau pertanyaan orang itu terkesan tulus, ia jelas tidak suka dengan pengalaman tidak enak ini.
“Kaca mobil saya pecah, saya terlambat tiba di kantor, energi saya terbuang percuma karena kejadian ini dan saya semakin kesulitan untuk parkir. Pantaskah kalau anda lantas mengatakan apakah saya tidak apa-apa?” Rania berkacak pinggang menghadap orang itu. Akibat menghadap sinar matahari ia tak bisa melihat jelas wajah pria itu. Yang ia tahu pria itu berbadan besar dan mungkin sangat pantas menjadi binaragawan atau pelatih gym.
“Nyebelin!”
Pria itu tidak menjawab. Ekspresinya berubah. Menunjukkan sikap tidak nyaman.
“Sori,” katanya lagi.
Rania melipat tangan di dada. Kekesalan masih menggumpal dalam batinnya. “Sori, sori. Eh, Anda tidak bisa mengemudikan kendaraan dengan lebih hati-hati?”
“Tentu bisa. Sekali lagi saya minta maaf.”
Rania menggeleng cepat. “Memang mudah mengatakan sori, maaf, atau apa pun istilah anda.”
“Saya tidak sengaja. Saya…”
“Cara Anda mengemudi parah betul sih? Anda itu perlu tahu kalau saya …”
Si pria tiba-tiba memotong. “Jadi berapa biaya perbaikan yang harus saya tanggung?”
Rania meradang.
“Ini bukan soal biaya perbaikan. Saya bisa ganti biaya perbaikan sendiri. Saya hanya minta supaya Anda …” Rania terdiam. Untuk sesaat ia bingung hendak melanjutkan bagaimana.
Pria tadi juga nampak menunggu ucapan lanjutannya.
“Saya minta untuk anda mengemudikan kendaraan lebih hati-hati.” Rania akhirnya memiliki bahan untuk melanjutkan pembicaraannya. “Anda ada di areal parkir. Anda kan bisa mengemudikan kendaraan secara perlahan-lahan.”
Pria itu mendengus. Suaranya terdengar dingin dan nyaris tanpa ekspresi.
“Saya harus mengemudikan kendaraan perlahan-lahan?”
“Ya!” Rania mengangguk mantap.
“Di areal parkir seperti ini?”
“Ya!”
“Untuk menghindari kejadian serempetan seperti ini?”
“Ya!”
“Sungguh itu yang anda mau?”
“Ya!”
Pria itu mengangguk-angguk kepala sebelum kemudian bertanya lagi.“Dengan panjang jalan di parkiran sejauh tiga puluh meter serta badan jalan lima meter, dan dua kelokan tajam, artinya saat awal melaju tidak ada kendaraan yang bisa melebihi 40 kilometer per jam.”Rania tersentak. Ia bukan ahli matematika yang bisa melakukan kalkulasi di luar kepala segitu cepatnya. Tapi info lawan bicaranya kemungkinan besar memang benar. Dan kelemahan Rania adalah bahwa ia mudah sekali terpojok ketika sadar dirinya melakukan kesalahan.“Anda tahu berapa kecepatan kendaraan saya yang baru saja keluar dari tempatnya parkir?”Rania terdiam. Bodoh sekali dirinya! Tentu saja pria itu benar. Tidak ada kendaraan yang keluar dari tempat parkir yang langsung terbang dengan kecepatan tinggi! Rania masih belum tahu mau berbicara apa-apa ketika pria tadi mengambil dompet dari saku celananya dan menyerahkan tiga lembar seratusan rib
Saat melihati lembaran aneka surat itu mendadak sesuatu meluncur jatuh ke atas meja dimana dirinya verada. Ia memungut benda yang adalah sebuah pas foto yang tentu saja merupakan pas foto dari kandidat yang pada akhirnya diterima sebagai manajer junior tadi. Ia melihati sesaat. Semenit, dua menit. Mungkin malah lebih lama.Pas foto itu menampilkan sosok Rania, sang manajer junior baru, yang ternyata cantik. Begitu cantik.“Inikah penyebabnya?” tanyanya. Retoris.*Hari yang merupakan hari pertama Rania bekerja pada perusahaan makanan ringan terbesar di kawasan Asia Pasifik itu, ternyata pada perjalanan waktu berikut berjalan menyenangkan. Mungkin setidaknya hingga satu hari itu.Edwin, sang manajer Logistik sebagai atasannya dan orang yang pertama harus ditemui, menyambutnya ramah. Ia ingat saat pertama kali bertemu orang itu di sesi wawancara sebulan lalu, Rania sempat kaget. Bagaimana tidak, c
Rania menjentik tombol laptop dan tampilan skema mengenai struktur organisasi perusahaan yang baru saja ia pelajari langsung lenyap seketika.Hhhh … Rania menarik nafas panjang. Dirinya baru saja memperhatikan struktur yang ada pada Research and Development, sebuah departemen yang dikepalai Verdi, lengkap dengan deskripsi tugasnya. Selama sebulan terakhir perusahaan memang tengah mengadakan internal audit dimana satu departemen saling mengaudit departemen lain. Dan Verdi kebetulan adalah orang yang ditunjuk untuk melakukan audit atas departemen Ekspor yang Rania pimpin. Sudah dua hari ia di perusahaan dan masih belum menemui orang tadi.Rania sedikit bisa bernafas lega karena departemennya sudah melakukan audit atas departemen lain saat manajer lama masih bekerja. Ini artinya, dirinya tidak perlu terlalu sibuk untuk menjadi auditor. Dengan sebagian tugas telah dilakukan pendahulunya, ia berharap tidak banyak yang ia perlu lak
“Lu kenapa harus tersinggung dibilang bocil sih?” “Kan gue bukan anak kecil lagi.” Nurul, rekan Rania, terkikik mendengar pengalaman tak terduga yang dialami rekannya. Baginya adalah satu berbanding seribu dimana orang yang kita omeli dan mengomeli ternyata secara tak terduga adalah orang yang harus ditemui setiap hari. Saat ia mendengar jawaban Rania, gadis itu tertawa makin keras. Bosan menunggu Nurul berhenti tertawa, jutek alias kejudesan tingkat tinggi yang merupakan tabiat dadakan Rania, bangkit lagi. “Tau gak, gue nelpon lu supaya dapet advis, saran, masukan atau
Rania mengangguk. Bukannya menjawab pertanyaan Verdi, ia malah membelokkan topik pembicaraan. “Mengenai kejadian waktu itu di areal parkir, aku yang salah.”Verdi menaikkan alis mata. “Aku nggak percaya kamu ke sini untuk ngomongin lagi kejadian menyebalkan itu.”“Memang nggak sih,” Rania menyibak rambut pirangnya yang tergerak di bawah bahu.“Tapi aku rasa kasus kemarin, bagaimana pun juga, perlu diselesaikan.”Verdi nampak berpikir sebelum mulai menjawab. “Bukannya kasus itu memang udah selesai?”Rania tidak langsung menjawab. Verdi menyambung ucapannya. “Atau kasus serempetan itu kamu anggap belum selesai? Aku sih nggak keberatan koq kalau harus kembali mengajukan biaya perbaikan.”“Nggak, bukan itu,” Rania cepat-cepat menjawab. “Maksudnya aku senang kasus itu dianggap selesai, Pak.”"Aku nggak suka dipanggil begitu. Verdi
Rania keluar dari ruang kerja Verdi dengan kekesalan bertumpuk.‘Kalau dia berpikir bahwa aku sebagai orang baru harus mengikuti kemauannya maka pria sombong itu salah besar,’ kata Rania membatin.Tak lama lagi Verdi akan menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang paling keras yang ia pernah temui. -* Perusahaan tempat Verdi dan Rania bekerja menempati dua lantai di menara gedung yang disewa, tepatnya lantai 14 dan 16. Ketika harus menuju departemen di lantai berbeda, daripada menunggu lift, ia lebih suka naik atau turun menggunakan tangga darurat. Tak perduli walaupun tangga darurat itu pun sudah menjadi areal kumpul-kumpul tak resmi bagi beberapa orang yang belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan merokoknya. Saat itu ketika Verdi melangkah turun
Ini membuat Rania berpikir pragmatis. Ia butuh uang namun di saat yang sama tak boleh membiarkan uang menguasai dirinya. Itu idealis sekali. Namun tentu saja tak semudah membalik telapak tangan ketika tiba di ajang pembuktian. Apalagi ia saat ini berada di depan mesin ATM dan menemukan bahwa saldo menunjukkan angka yang tak lebih dari lima digit. Benar-benar memalukan. Dirinya adalah seorang manajer tapi memiliki sisa dana amat minim. Ia bisa saja berkilah bahwa ia masih berbilang hari di posisi di atas sehingga belum menikmati madu pertama alias gaji perdana. Tapi apa yang dialami benar-benar memalukan. Mama rupanya terlambat mentransfer uang untuk kebutuhannya sehari-hari. Ruang ATM dimana dirinya berada dalam keadaan sepi. Bahkan lokasi sisi
Almarhum Papa benar. Foto dan video itu membawa kenangan dan kejadian di masa lalu dan memberikan kenangan manis dan kuat bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua itu terasa manis walau – bagi Rania khususnya – mendatangkan duka mendalam karena merasa begitu sedikit waktu kebersamaan yang terjadi. Namun, let gone be by gone. Itu prinsipnya. Serpihan kenangan masa lalu dalam bentuk gambar dan video itu ia jadikan petunjuk betapa Papa almarhum sangat mencintai keluarganya. Gambar dan video itu juga sekaligus jadi bukti betapa Papa begitu memanjakan Rania dan menjadikan puteri kecilnya adakalanya terlihat lebih diistimewakan daripada James, kendati ia adalah si bungsu.