Saat melihati lembaran aneka surat itu mendadak sesuatu meluncur jatuh ke atas meja dimana dirinya verada. Ia memungut benda yang adalah sebuah pas foto yang tentu saja merupakan pas foto dari kandidat yang pada akhirnya diterima sebagai manajer junior tadi. Ia melihati sesaat. Semenit, dua menit. Mungkin malah lebih lama.
Pas foto itu menampilkan sosok Rania, sang manajer junior baru, yang ternyata cantik. Begitu cantik.
“Inikah penyebabnya?” tanyanya. Retoris.
*
Hari yang merupakan hari pertama Rania bekerja pada perusahaan makanan ringan terbesar di kawasan Asia Pasifik itu, ternyata pada perjalanan waktu berikut berjalan menyenangkan. Mungkin setidaknya hingga satu hari itu.
Edwin, sang manajer Logistik sebagai atasannya dan orang yang pertama harus ditemui, menyambutnya ramah. Ia ingat saat pertama kali bertemu orang itu di sesi wawancara sebulan lalu, Rania sempat kaget. Bagaimana tidak, calon atasannya itu ternyata bertubuh mungil. Sangat mungil malah sehingga kalau ia diikutkan dalam barisan anak SD kelas 1 atau 2, orang tak akan cepat mengenalinya. Satu-satu indikasi bahwa ia orang dewasa hanya raut wajahnya yang sepadan dengan usianya. Dan – entah dugaannya benar atau tidak – wajah itu nyaris tidak pernah tersenyum. Rania sedikit terenyuh dan berharap bahwa orang itu tidak menjadi bulan-bulanan orang lain karena kelainan fisik yang dideritanya.
Setelah berbasa-basi sebentar mulailah tahapan orientasi hari itu. Ada waktu dua hari disediakan untuk orientasi baginya. Hari pertama ini adalah acara perkenalan kepada pimpinan tiap departemen yang berada di kantor pusat. Hari kedua sampai keempat adalah orientasi ke pabrik di kawasan Cikarang, tiga puluhan kilometer dari tempatnya saat itu.
Sip. Tak masalah baginya melakukan itu.
Pagi hari itu ia mengelilingi seluruh departemen perusahaan di kantor yang merupakan kantor pusat. Esok siang setelah jam istirahat ia akan Plant Tour atau mengelilingi seluruh lingkungan di pabrik demi mencermati proses produksi dan product knowledge. Ya, ia perlu pengenalan produk yang cukup untuk bisa benar-benar memahami tugasnya.
Sore itu saat Rania masih melayani sebuah panggilan yang masuk melalui ponselnya, telpon di meja kerjanya berdering. Karena masih harus menyelesaikan pembicaraan, panggilan telpon tadi baru diangkat ketika sudah berdering sekitar enam kali.
“Halo,” terdengar suara pria di ujung sana.
“Ya halo,” Rania membalas. “Maaf baru angkat soalnya barusan tad…”
“Alasan! Alasan! Lama amat diangkatnya sih?”
Rania tersentak mendengar pertanyaan dengan intonasi tinggi. Ia tahu sikapnya yang tidak segera menjawab dering tadi menimbulkan ketidaksabaran bagi orang yang tengah menelponnya. Tapi ini hanya soal kecil, pikirnya.
“Sori,” katanya merendah. “Tadi ada telpon masuk via ponsel.”
“Alasan! Seharusnya itu masih bisa ditunda. Kamu mau nggak kalo digituin? Nggak kan? Mangkanya kalo nggak mau dilakuin begitu, kamu juga jangan abaikan telpon yang masuk.”
“Sori.”
“Janji ini terakhir lho ya.”
Rania kembali merendah. “Maaf, dengan siapa aku bicara?"
“Sudah siap diaudit?” kata orang itu lagi tanpa menjawab pertanyaan yang tadi diajukan.
Rania tercekat. Siapa orang ini yang belum lagi tubuhnya beradaptasi di lingkungan serba baru ini tahu-tahu sudah menanyai kesiapannya diaudit
“Audit apa? Ini siapa ya?”
“Verdi. Belum tahu kalau kamu jadi auditee?”
“Auditee?”
“Jangan bilang kamu nggak ngerti artinya. Tahu kan apa itu auditee?” suara Verdi di sana terdengar bernada mengejek.
Rania sepertinya merasa bahwa suhu kepalanya mulai beranjak meningkat panas. Sembari mencoba bersikap tetap sopan, ia lalu mencoba menjawab seperlahan mungkin.
“Artinya adalah pihak atau orang yang diaudit. Gue... eh, aku tau itu. Tapi Pak... aku kayaknya nggak siap untuk hari ini.”
“Oh,” Verdi di ujung telpon, mendesah.
Rania berharap hubungan telpon segera diakhiri. Ini hanya kesalahpahaman biasa, pikirnya. Dugaannya salah. Ucapan sepatah kata tadi ternyata hanya awal ucapan kalimatnya yang secara tajam menusuk Rania.
“Lantas, siapa suruh kamu telat? Setahu aku, kamu seharusnya sudah di sini sejak dua hari lalu. Betul?”
Rania tergagap. Sama sekali tidak menyangka akan disudutkan dengan pertanyaan semacam ini.
“Email tentang keberadaan kamu udah di-announce. Udah diumumin sejak minggu lalu. Dari situ aku tahu kalo kamu seharusnya bekerja di sini sejak dua hari lalu. Bukan hari ini. Dan hari ini pun, eh…. telat juga kamu,” Verdi menandaskan.
“Aku minta maaf. Tapi ada hal krusial yang membuat aku menunda kedatangan. Pimpinan di perusahaan lama secara mendadak meminta aku membantu pekerjaan yang tertunda.”
“Alasan.”
Darah Rania terasa mendidih. Dirinya memang boleh saja tidak membuka seluruh infomrasi, tapi tetap saja ia tidak suka dengan tanggapan yang diberikan. Ia tidak terima. Seharusnya orang atau bapak atau oom itu bisa memberikan sedikit rasa simpati.
Tapi, alih-alih mendapatkan rasa simpati, Verdi makin gencar menyerang.
“Kamu seharusnya malu karena di hari pertama saja sudah terlambat datang. Sebentar lagi kita closing. Tutup buku. Perusahaan ini bukan kepunyaan nenek moyangmu kan? Kita semua dikejar waktu, tapi kamu begitu santai dan seolah nggak perduli. Saat ini aku lagi dalam perjalanan ke kantor karena aku pikir setibanya di sana akan mulai mengaudit kamu.”
“Sesore ini? Boleh minta auditnya ditunda?” tanya Rania memberanikan diri. "Please?"
Orang di ujung telpon menghela nafas tidak sabar sampai kemudian ia pun menyetujui. ”Ckckck, gimana sih kamu ini. Tapi, ya sudahlah. Aku ngaudit departemen kamu minggu depan. Aku nggak jadi ke kantor sore ini.”
"Terima kasih untuk pengertia..."
Omongan Rania terputus ketika secara mendadak telpon di sana ditutup. Meninggalkan Rania sendirian dengan kejengkelannya.
*
Rania menjentik tombol laptop dan tampilan skema mengenai struktur organisasi perusahaan yang baru saja ia pelajari langsung lenyap seketika.Hhhh … Rania menarik nafas panjang. Dirinya baru saja memperhatikan struktur yang ada pada Research and Development, sebuah departemen yang dikepalai Verdi, lengkap dengan deskripsi tugasnya. Selama sebulan terakhir perusahaan memang tengah mengadakan internal audit dimana satu departemen saling mengaudit departemen lain. Dan Verdi kebetulan adalah orang yang ditunjuk untuk melakukan audit atas departemen Ekspor yang Rania pimpin. Sudah dua hari ia di perusahaan dan masih belum menemui orang tadi.Rania sedikit bisa bernafas lega karena departemennya sudah melakukan audit atas departemen lain saat manajer lama masih bekerja. Ini artinya, dirinya tidak perlu terlalu sibuk untuk menjadi auditor. Dengan sebagian tugas telah dilakukan pendahulunya, ia berharap tidak banyak yang ia perlu lak
“Lu kenapa harus tersinggung dibilang bocil sih?” “Kan gue bukan anak kecil lagi.” Nurul, rekan Rania, terkikik mendengar pengalaman tak terduga yang dialami rekannya. Baginya adalah satu berbanding seribu dimana orang yang kita omeli dan mengomeli ternyata secara tak terduga adalah orang yang harus ditemui setiap hari. Saat ia mendengar jawaban Rania, gadis itu tertawa makin keras. Bosan menunggu Nurul berhenti tertawa, jutek alias kejudesan tingkat tinggi yang merupakan tabiat dadakan Rania, bangkit lagi. “Tau gak, gue nelpon lu supaya dapet advis, saran, masukan atau
Rania mengangguk. Bukannya menjawab pertanyaan Verdi, ia malah membelokkan topik pembicaraan. “Mengenai kejadian waktu itu di areal parkir, aku yang salah.”Verdi menaikkan alis mata. “Aku nggak percaya kamu ke sini untuk ngomongin lagi kejadian menyebalkan itu.”“Memang nggak sih,” Rania menyibak rambut pirangnya yang tergerak di bawah bahu.“Tapi aku rasa kasus kemarin, bagaimana pun juga, perlu diselesaikan.”Verdi nampak berpikir sebelum mulai menjawab. “Bukannya kasus itu memang udah selesai?”Rania tidak langsung menjawab. Verdi menyambung ucapannya. “Atau kasus serempetan itu kamu anggap belum selesai? Aku sih nggak keberatan koq kalau harus kembali mengajukan biaya perbaikan.”“Nggak, bukan itu,” Rania cepat-cepat menjawab. “Maksudnya aku senang kasus itu dianggap selesai, Pak.”"Aku nggak suka dipanggil begitu. Verdi
Rania keluar dari ruang kerja Verdi dengan kekesalan bertumpuk.‘Kalau dia berpikir bahwa aku sebagai orang baru harus mengikuti kemauannya maka pria sombong itu salah besar,’ kata Rania membatin.Tak lama lagi Verdi akan menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang paling keras yang ia pernah temui. -* Perusahaan tempat Verdi dan Rania bekerja menempati dua lantai di menara gedung yang disewa, tepatnya lantai 14 dan 16. Ketika harus menuju departemen di lantai berbeda, daripada menunggu lift, ia lebih suka naik atau turun menggunakan tangga darurat. Tak perduli walaupun tangga darurat itu pun sudah menjadi areal kumpul-kumpul tak resmi bagi beberapa orang yang belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan merokoknya. Saat itu ketika Verdi melangkah turun
Ini membuat Rania berpikir pragmatis. Ia butuh uang namun di saat yang sama tak boleh membiarkan uang menguasai dirinya. Itu idealis sekali. Namun tentu saja tak semudah membalik telapak tangan ketika tiba di ajang pembuktian. Apalagi ia saat ini berada di depan mesin ATM dan menemukan bahwa saldo menunjukkan angka yang tak lebih dari lima digit. Benar-benar memalukan. Dirinya adalah seorang manajer tapi memiliki sisa dana amat minim. Ia bisa saja berkilah bahwa ia masih berbilang hari di posisi di atas sehingga belum menikmati madu pertama alias gaji perdana. Tapi apa yang dialami benar-benar memalukan. Mama rupanya terlambat mentransfer uang untuk kebutuhannya sehari-hari. Ruang ATM dimana dirinya berada dalam keadaan sepi. Bahkan lokasi sisi
Almarhum Papa benar. Foto dan video itu membawa kenangan dan kejadian di masa lalu dan memberikan kenangan manis dan kuat bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua itu terasa manis walau – bagi Rania khususnya – mendatangkan duka mendalam karena merasa begitu sedikit waktu kebersamaan yang terjadi. Namun, let gone be by gone. Itu prinsipnya. Serpihan kenangan masa lalu dalam bentuk gambar dan video itu ia jadikan petunjuk betapa Papa almarhum sangat mencintai keluarganya. Gambar dan video itu juga sekaligus jadi bukti betapa Papa begitu memanjakan Rania dan menjadikan puteri kecilnya adakalanya terlihat lebih diistimewakan daripada James, kendati ia adalah si bungsu.
“Rapatnya dipercepat. And you know what? Dipercepatnya ke jam dua belas.”“Ha? Koq bisa sih ngadain meeting saat jam istirahat?”“Yah, suka nggak suka begitulah tabiat GM kita.” Vonny menarik kursi dan kemudian duduk di atasnya.“Rania di rapat nanti ikut bicara kan?”Rania teringat sesuatu. “Mmm, aku emang diminta untuk bikin presentasi mengenai departemen ini. Bahan presentasinya udah siap sih. Mudah-mudahan nanti nggak ditanya macam-macam. Apalagi yang di luar konteks.”“Kalo yang biasanya kritis di rapat gituan sih biasanya Pak Verdi."Tulang Rania mendadak terasa linu-linu. Mendung seolah menaungi raut wajahnya. Sayangnya perubahan itu tak disadari Vonny. Vonny malah kini melirik nakal ke arahnya.“Sampai hari ketiga ini, udah ketemu dia apa belom?”“Sudah.”“Well? Tanggapan Rania
Pintu teater XXI studio 1 yang akan dimasuki Nurul dan Ditya masih akan dibuka sebentar lagi. Sambil menikmati potongan chocolate bar terakhir yang tadi dibeli di supermarket dalam mall yang sama, Ditya sibuk menguping pembicaraan kekasihnya yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang yang ia tahu pastilah Rania. “Iya, iya, he’eh……. Iya, iyaaa……. Iiiiyaaa, oke, oke, iyaaaa…..” Ditya baru menyadari bahwa dalam beberapa menit terakhir sepertinya hanya kata ‘iya’ atau ‘he’eh’ atau ‘oke’ itu saja yang keluar dari mulut Nurul. Bagi Ditya yang sudah tiga tahun mengencani gadis berkerudung namun cenderung ‘jil-boob’ di sebelahnya ini, ia mengerti bahwa itu ma