Share

Konflik Lagi

            Almarhum Papa benar.

            Foto dan video itu membawa kenangan dan kejadian di masa lalu dan memberikan kenangan manis dan kuat bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua itu terasa manis walau – bagi Rania khususnya – mendatangkan duka mendalam karena merasa begitu sedikit waktu kebersamaan yang terjadi.

            Namun, let gone be by gone. Itu prinsipnya. Serpihan kenangan masa lalu dalam bentuk gambar dan video itu ia jadikan petunjuk betapa Papa almarhum sangat mencintai keluarganya. Gambar dan video itu juga sekaligus jadi bukti betapa Papa begitu memanjakan Rania dan menjadikan puteri kecilnya adakalanya terlihat lebih diistimewakan daripada James, kendati ia adalah si bungsu.

            Ah sudahlah. Rania mengibas rambut demi untuk sesaat menghapus kenangan mengenai Papa. Karena pikirnya, memikirkan almarhum hampir selalu akan membuat dirinya bersedih karena ia begitu merindukan Pria paling luar biasa di dunia ini. Saat ini ia perlu berfokus pada Mama yang sangat ia cintai.

            Mengenai Mama, ia memang sangat berkebalikan dengan Papa yang serius dan pendiam. Ketika di kota besar orang seringkali tak tahu siapa nama tetangga sebelah, Mama malah sebaliknya. Bukan hanya orang satu RT atau RT. Di level kecamatan – apalagi desa – nama Mama cukup dikenal. Dikenal karena keramahannya, pembawaannya, dan terutama yang tadi itu: ceriwis.

            Dan sikap ceriwis itu lagi-lagi membuat Rania sebagai puterinya, galau. Betapa tidak, di tiap pertemuan di dalam atau luar rumah selama 2 tahun terakhir topik favorit Mama hanya satu.

“Kamu kapan kawin?”

            Rania tidak merasa diri sebagai perawan tua. Usianya masih 24. Tapi ia harus menghadapi kenyataan bahwa Mama selalu saja menanyakan dan membahas topik itu. Upayanya berdalih untuk lebih fokus ke karier membuat ia makin panjang dan lebar dinasehati.

            “Mama menikah di umur 17 lho.”

            “Umur kamu itu pas untuk kawin. Jangan terlambat.”

“Zaman memang berubah. Tapi apakah itu berarti kamu akan nikah saat umurmu udah kepala 4?”

            “Kamu cantik dan pasti banyak yang naksir. Kamu bisa pilah-pilih dong.”

            “Mama nggak pernah ngekang. Kamu nanti pilih calon yang kamu suka. Kamu bebas milih sesuai yang kamu mau.”

           

Benar-benar memusingkan. Kalau sudah begini, berlibur dengan pulang ke kampung benar-benar jadi pengalaman kurang menyenangkan bagi dirinya.

            Saat di bandara saat mengantar Puterinya pulang, lagi-lagi Rania mendapat wejangan yang sama.

            “Jodohmu nanti jangan ketuaan ya. Paling bentar 3 atau 4 tahun aja. Apalagi sampe dua kali lipat. Hiiiyyy….”

            Ha? Saat mendengar hal itu Rania tertawa keras. Untuk sesaat ia tak peduli jadi pusat perhatian mendadak dari orang-orang di sekitar.

            “Jadian sama orang yang umurnya dua kali usia Rania? Ya nggak mungkin lah, Mama. Nggak mungkiiiiiin.”

            Menyusul Mama, Rania menutup ucapan dengan tawa keras. Jadi lebih keras lagi begitu ia menyadari bahwa itu adalah sebuah peristiwa yang takkan pernah terjadi dalam hidupnya.

*

Kejadian di hari-hari pertama di kantor ini benar-benar membuat Rania gemas dan sisa kejengkelan masih berlanjut hingga beberapa hari kemudian. Gara-gara Verdi suasana hatinya berubah galau. Pada mulanya Rania berharap bahwa kejadian itu hanya terjadi sehari. Namun ia harus kecele. Sikap Verdi tidak banyak berubah di hari-hari berikutnya.

Tanpa perlu banyak diulas, pagi ini pun ia nyaris berselisih paham dengan orang tadi. Untunglah masih ada setitik logika yang membuatnya bisa menghindari pertengkaran. Rania tetap saja menyapa, mengobrol. Verdi sempat menyambut dengan mulai agak sedikit  lebih banyak berbicara pada diriny. Ia tidak seketus ketika pertama Kali di awal hari ia berbicara padanya. Namun, Verdi tetap dinilainya angkuh, merasa diri penting, acuh. Benar-benar sempurna untuk diibaratkan sebagai sebuah gunung es. Pada akhirnya Rania pun terpicu untuk bersikap sama. Acuh, tidak perduli dan dalam hal tertentu mungkin sedikit membenci.

Semenjak ia berkantor, banyak sekali orang yang menegur dan mengajaknya berbincang, khususnya mereka yang berlain jenis. Mulai dari sekedar menegur, iseng, atau bahkan mencoba menarik perhatian. Dalam hal yang satu ini Rania harus jujur mengakui bahwa dirinya memang dianugeri alam dengan fisik yang menarik. Rambut panjang nan ikal yang dicat pirang membuat kecantikannya mengerucut ke arah sempurna. Well, mungkin terlalu berlebihan kalau dikatakan ia sangat cantik. Namun yang jelas ia tidak jelek. Dan ketidakjelekan itu membuat sudah ada beberapa pria dengan adrenalin ekstra yang berani mengajaknya mengobrol atau mengajaknya makan siang.

Tapi pria tua dengan nama Verdi itu benar-benar tidak perduli. Memberikan bantuan pun tidak. Sombong betul, pikirnya. Ia tidak pernah diacuhkan pria separah ini. Atau perlukah ia menyampaikan pengalamannya empat tahun lalu saat di ajang Model Indonesia ia sempat meraih predikat sebagai juara untuk kategori…

 “Melamun?”

Rania sedikit tersentak. Kendati matanya menatap komputer laptop, pikirannya masih melayang ke persoalan lama antara Verdi dan dirinya. Vonny kini berdiri di muka pintu.

“Eh kamu. Ayo masuk, ” Rania menyilahkan. “Ada masalah penting?”

Nggak koq,” ujar Vonny “hanya mau mengingatkan kalau sebentar lagi ada Operation Meeting.”

“Aku sudah baca pengumuman emailnya. Jam dua siang kan?” Rania memutar kursi yang diduduki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status