Share

Pertemuan

"Nak, hari ini jangan pergi kemanapun ya?"

"Emang kenapa, Mi?"

Aku yang tengah asik menyiram bunga di taman, menghentikan seketika pekerjaanku.

"Keluarga calon suamimu mau datang bertemu denganmu!"

"Secepat itu, Mi? Susan baru tiga hari lho di rumah?"

"Itu Abah yang bilang tadi, kamu cuma di suruh dandan yang rapi nanti, jangan malu-maluin!"

"Ummi..... Susan nggak mau!"

"Kan kamu sendiri yang bilang bersedia sama Abah kemaren?"

"Tapi, Mi..."

"Tidak ada tapi-tapian!"

Aku melangkah gontai memasuki rumah, secepat itukah? Baru tiga hari di rumah Abah sudah mengundang mereka datang. Seperti apa sih laki-laki itu hingga membuat Abah sangat yakin?

Siang harinya aku dan Ummi sedang menyiapkan makanan untuk tamu yang akan datang. Mereka sudah dalam perjalanan kata Abah, jadi kami harus siap-siap.

Aku sudah berpakaian rapi, dengan gamis coklat muda dipadukan dengan pashmina yang senada. Make up tipis juga menghiasi wajahku. Ibu memaksaku untuk sedikit berdandan padahal sebenarnya aku ogah.

Tamu yang ditunggu sudah datang, Ummi segera membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Ada sepasang suami istri yang kutaksir sebaya dengan Ummi dan Abah. Dibelakangnya berjalan seseorang yang sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Aku susah payah mengingatnya.

Laki-laki itu lalu duduk disamping orang tuanya, wajahnya sih lumayan tampan. Dengan kulit putih hidung mancung dan dada bidang. Tapi aku yakin pernah bertemu dengannya. 

Ku siapkan minuman untuk mereka, ketika sedang asik menuang minuman. Aku ingat sesuatu, laki-laki itu adalah orang yang telah menabrakku saat turun dari Bus tempo hari. Dia laki-laki sombong yang tidak mau meminta maaf karena telah membuat handphone ku rusak. Ya, dia orangnya.

Ummi ke dapur, lalu menyuruhku menghidangkan minuman. Dengan enggan aku membawa nampan yang berisi minuman.

Sambil menghidangkan minuman, aku melirik sekilas pada laki-laki itu. Terlihat dia terkejut menatap wajahku. Mungkin dia ingat kalau kami pernah bertemu sebelumnya.

"Susan, duduk disamping Abah!"

Aku menurut dan duduk di samping Abah.

"Susan sudah berubah banyak ya? Terakhir bertemu dengan Om dan tante Susan masih kecil, bahkan belum sekolah!" Papanya mencoba menegurku.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar perkataannya.

"Susan, ini Arga, putra satu-satunya tante dan om", Mamanya Arga mencoba mengenalkan kami.

"Dan ini Susan, nak Arga, kalian waktu kecil sering bermain lho? Tapi kalian mungkin tidak ingat lagi", Ummi mengenalkan aku pada laki-laki itu, dia tersenyum lalu menatapku sekilas.

"Ya, tante. Aku mungkin tidak ingat lagi!" Arga menjawab perkataan Ummi.

"Ya, tentu saja kalian tidak ingat lagi. Sejak kita pindah keluar kota, kita jarang bertemu lagi kan?" Papanya Arga menjawab sambil tersenyum pada putranya.

"Bagaimana Arga, kamu sudah bertemu langsung dengan calon pilihan Papa. Apa kamu bersedia?"

"Sebelum menjawabnya, boleh saya bicara sebentar dengan Susan?"

"Baiklah, silahkan! Kalian bisa bicara di teras berdua. Kami akan menunggu disini!" Abah malah memberikan izin. Mau bicara apa sih laki-laki itu.

Arga dan aku berjalan keluar ke arah teras rumah ku. Di kebun bunga ada kursi, aku mengajaknya bicara disana.

"Mau bicara apa?" aku langsung pada inti pembicaraan, aku tidak mau berbasa-basi.

"Sepertinya, kamu tidak suka dengan perjodohan ini?"

"Lalu kenapa?"

"Sama, aku juga tidak mau perjodohan ini. Aku sudah punya pilihan sendiri. Tapi Mama dan Papa memaksaku menerima perjodohan ini!"

"Kalau kamu tidak suka, kamu bisa menolaknya sekarang?" Aku memcoba memancingnya untuk menolak perjodohan ini. Ternyata dia juga tidak bersedia dengan perjodohan ini. Aku sedikit bernafas lega.

"Tidak, aku tidak bisa menolaknya. Kamu yang harus menolaknya sekarang! Dan kita akan sama-sama terbebas oleh perjodohan ini!" enak saja, dia mau aku yang menolak perjodohan ini. Tidak mungkin aku lakukan, aku sudah berjanji pada Abah.

"Tidak, kamu saja yang menolaknya!"

"Kamu yang harus menolaknya!" dia malah ngotot padaku.

"Baiklah, Siapa yang ditanya duluan dia yang harus menolak!" aku mengatakan kata-kata itu, semoga saja dia yang ditanya duluan.

Setelah itu kamipun segera masuk, dan duduk di samping orang tua masing-masing.

Setelah itu, tiba-tiba papanya Arga bicara.

"Jadi bagaimana, Arga! Apa kamu sudah punya jawaban?" aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Papanya Arga. Sekarang Arga yang harus menolak, sesuai perjanjian kami tadi.

Arga terlihat pucat, aku tau dia akan menolak perjodohan itu sekarang. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Arga membuatku sangat terkejut. Apa ini? Kenapa dia bicara seperti itu?

"Semuanya aku serahkan pada Susan, Pa! Apapun keputusan Susan aku akan menerimanya!" dia malah menyerahkan semuanya padaku.

Semua orang menanti jawabanku. Aku pusing memikirkan jawaban. Arga sudah ingkar janji. Seharusnya dia langsung menolaknya kenapa malah menyerahkan semuanya padaku. Dengan terpaksa aku menjawab.

"Aku, menerima lamarannya!" Kata-kata itu terucap lirih dari mulutku. Aku tak bisa membuat malu orang tuaku dengan menolak perjodohan ini. Kulihat Arga yang menatapku tajam, seakan mau menerkamku. Aku tau bukan kata-kata itu yang dia inginkan.

"Alhamdulillah" terdengar kedua orang tua kami mengucap syukur. Aku sungguh tak berdaya. Arga mencoba melimpahkan semua kesalaahan padaku. Aku gak mungkin menyakiti keluargaku.

Setelah itu orang tua kami berembuk menentukan kapan acara pernikahan kami akan di gelar.

 Mereka sepakat, acara tunangan minggu depan sebulan setelah itu acara akad nikah kami.

Aku terhenyak mendengar ucapan mereka, minggu depan tunangan? Rasanya kepalaku pusing sekali.

******

Di rumah sedang ramai dengan para tetangga yang membantu Ummi mempersiapkan acara pertunangan kami, aku berbaring di kamar dengan enggan. Besok adalah acara pertunangan kami. Bagaimana ini? Jelas sekali Arga tidak mau menikah denganku, ditambah lagi dia juga sudah memiliki kekasih. Dia tidak mungkin mencintaiku.

Aku terpaku melihat gaun yang akan aku pakai besok dihari pertunangan kami. Ummi mengaitkannya di luar lemari agar tidak kusut setelah disetrika. Aku melengos kesal, kenapa semua ini terjadi? Kenapa aku harus menikah dengan seseorang yang tidak menginginkanku? Jika aku katakan pada Ummi dan Abah bahwa dia sudah punya kekasih, pasti mereka akan sedih sekali.

Aku tidak mau melihat mereka bersedih. Terpaksa semuanya aku tahan. Apapun yang terjadi nanti, mungkin ini adalah takdir ku. Aku harus menjalani takdir yang digariskan padaku.

Esoknya, aku sedang berdandan dikamar. Sedangkan diluar sudah hadir para undangan untuk menghadiri acara pertunangan kami, aku melihat bayangan diri dalam pantulan cermin, wajah yang sendu bahkan dihari pertunangannya sendiri.

Arga dan keluarganya telah datang. Ummi membawaku keluar. Kulihat Arga terlihat tampan dengan stelan yang dia gunakan. Dia menatapku sekilas lalu memalingkan muka. Aku tau bukan aku yang dia kehendaki menjadi calon istrinya. Aku sedih menghadapi kenyataan itu.

Acara pertunangan berjalan dengan lancar. Arga menyematkan sebuah cincin berlian di jariku. Sangat cantik. Aku sangat suka dengan pemberiannya. Mata kami sekilas bertemu saat dia selesai menyematkan cincin di jariku. Aku tak bisa mengartikan tatapannya.

Mungkinkah itu tatapan kesedihan karena telah melamar perempuan yang tidak dia inginkan?

"Sekarang kalian telah resmi bertunangan, satu bulan setelah ini kalian akan segera menikah!"

Mamanya Arga berucap seperti itu lalu memelukku erat. Aku merasa sedikit tenang dipeluk oleh calon mertuaku, aku tahu dia adalah pribadi yang baik. Aku taju dia juga akan menerimaku dengan baik di dalam keluarganya. Tapi Arga, dia tak menginginkanku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status