Share

Bukan Perawan Tua
Bukan Perawan Tua
Penulis: Kuriziki

Malam Pertama

Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?

"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.

"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"

Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.

Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.

Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.

"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.

Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.

"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.

Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.

"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"

"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.

"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."

Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....

"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?

Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?

Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.

Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.

Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.

Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"

"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.

"Anu apa? Tante mau anu?"

Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"

Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?

Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"

Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!

Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?

Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.

***

Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.

Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.

"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"

Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!

"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!

"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.

"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"

**

"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"

Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.

"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."

"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."

"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.

Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.

"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.

"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."

Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.

Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.

"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!

Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!

***

"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"

"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"

Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.

Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.

Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.

Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.

"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.

Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.

"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.

Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.

Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.

Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?

"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.

"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"

Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.

Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.

Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.

"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.

Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.

"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.

Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.

"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"

"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.

"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."

Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....

"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?

Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?

Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.

Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.

Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.

Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"

"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.

"Anu apa? Tante mau anu?"

Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"

Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?

Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"

Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!

Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?

Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.

***

Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.

Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.

"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"

Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!

"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!

"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.

"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"

**

"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"

Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.

"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."

"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."

"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.

Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.

"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.

"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."

Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.

Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.

"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!

Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!

***

"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"

"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"

Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.

Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.

Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.

Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.

"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.

Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.

"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.

Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.

Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Voni Permanasari
kok di ulang ulang .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status