Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu.
Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun.
"May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!"
Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih?
Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu.
"Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam.
"Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau melenggang begitu saja tanpa memikirkan perasaan putrinya ini.
Aku menepuk jidat sendiri. Papa, Mama, Rafael, mereka semua sepertinya satu server. Klop pakai banget membuatku naik darah.
Setelah menyambar tas dan kunci mobil, aku bergegas turun. Bisa-bisa suara Mama yang merdu berubah menjadi lengkingan yang memekakkan telinga jika aku tak segera datang ke meja makan.
Aku duduk di sebelah Mama. Tepatnya di depan Rafael. Bocah menyebalkan itu mengedipkan sebelah matanya padaku. Ish! Enek banget lihatnya.
"Hari ini kalian nggak boleh kerja."
Aku mendongak. Menatap Papa yang baru saja berbicara. Sepertinya Rafael juga sedikit terkejut. Apa maksud Papa coba?
"Iya, nggak cuma hari ini. Tapi untuk satu minggu ke depan." Mama menimpali. Sebenarnya apa yang mereka katakan ini? Aku tak mengerti sama sekali.
"Papa sudah pesankan tiket untuk kalian pergi berbulan madu ke Bali. Gimana? Keren, kan, Papa?"
"Apa? Bulan madu?" pekikku dan Rafael bersamaan. Kami pun saling pandang dengan wajah sama-sama keberatan.
"Em, Pa, kurasa sepertinya itu nggak perlu. Aku harus bekerja untuk--"
"Tentu saja perlu." Mama memotong ucapan Rafael yang belum selesai. "Kalian ini pengantin baru. Jadi wajib dan harus pergi bulan madu. Biar Papa sama Mama cepet dapet cucu," lanjut Mama sembari terkekeh.
Aku dan Rafael terbatuk bersamaan. Sepertinya hidupku satu minggu ke depan akan sangat menyebalkan.
**
Kami terus saja mondar-mandir di samping ranjang. Memikirkan bagaimana cara agar aku dan dia tidak jadi pergi berbulan madu.
Saat aku berbalik, tak sengaja kami bertabrakan. Kuusap kening yang terasa berdenyut akibat terbentur dagu Rafael. Ya, tinggiku hanya sebatas dagunya. Aku memang lebih tua, tapi dia jauh lebih tinggi. Dan kalau boleh kuakui, badan Rafael sangat bagus. Tinggi dan berotot. Mungkin karena dia sudah terbiasa kerja keras sejak kecil.
Dia bilang, semenjak Ayahnya meninggal, dia membantu Ibunya mencari nafkah. Sungguh anak yang berbakti, bukan? Tapi tetap saja itu tidak akan membuatku luluh.
"Tante jalannya yang bener, dong. Main nabrak aja. Atau jangan-jangan Tante udah ngebet sama gue?"
Eh, ini bocah makin ngelunjak, ya.
Aku memukul lengannya dengan kencang. Tapi sepertinya bukan dia yang sakit, tapi tanganku sendiri.
"Aw!" pekikku karena merasa panas di telapak tangan akibat memukulnya.
"Tante kenapa?" Dia meraih tanganku, lalu meniupnya dengan lembut. Aku sampai menelengkan kepala demi melihat wajahnya yang sedang serius ini.
"Makanya jangan asal mukul. Tante tahu nggak kalau gue ini seperti salah satu tokoh pewayangan. Otot kawat balung wesi istilahnya," ucapnya menyombongkan diri.
Aku melengos sembari menarik tangan. "Gimana sekarang? Masa iya kita harus pergi bulan madu?"
"Tau lah, Tan. Gue juga bingung. Gue nggak pernah ngadepin situasi kayak gini. Jadi, ya, nggak ngerti. Tapi apapun itu, sebelum berangkat bulan madu, gue mau ke rumah Nyokap. Mau pamit sama beliau. Soalnya semenjak nikah, tiap hari gue pasti nyempetin diri buat nengokin beliau."
Aku terdiam. Mengamati sosok pemuda dua puluh tahun di depanku ini dengan lekat. Usianya memang jauh di bawahku. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa pemikirannya bahkan jauh lebih dewasa dariku.
"El! May! Udah belum beres-beresnya? Cepetan berangkat! Ntar ketinggalan pesawat!" teriakan Mama sudah melengking dari luar kamar.
***
Baru aku tahu, ternyata Ibu Rafael sangat hangat dan ramah. Beliau begitu lembut dalam berbicara. Tidak seperti Mama yang ceplas-ceplos seenaknya saja. Tapi mau bagaimanapun Mama, beliau tetap yang terbaik.
Rafael memutar knop pintu kamar hotel. Entah kenapa aku jadi gugup sendiri. Padahal mau di sini atau di rumah sama saja. Kami tetap tidak akan tidur seranjang.
"Wah! Baru kali ini, Tan, gue masuk ke tempat yang namanya hotel. Ternyata nyaman juga. Pasti mahal banget, ya, bayarnya?" Dengan noraknya Rafael merebahkan badan sambil mendut-mendut di atas ranjang seperti anak kecil.
"Heh! Jangan malu-maluin lu! Norak banget!" Aku meletakkan koper di samping ranjang. Lalu turut duduk di benda empuk tersebut. Ranjang dengan sprei berwarna putih yang tampak elegan. Memang cocok untuk dijadikan tempat berbulan madu.
Rafael mendekat. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang saat dia mulai mengikis jarak.
"Tan, orang bilang bulan madu itu biar cepet dapet anak. Gimana kalau kita bikin anak sekarang aja?"
What?
Aku sontak berdiri sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada, "Jangan harap!"
**
Malam ini kami memilih menghabiskan waktu di luar kamar. Jika terus berada dalam kamar bersama bocah itu, yang ada aku makin stres.
Kami berjalan bersisian di trotoar. Saat ini kami berjalan-jalan di sekitar hotel. Tempatnya sungguh indah dan nyaman. Tak banyak lalu lalang kendaraan di sini. Suasana terasa damai dan menenangkan. Ide Papa ini sepertinya tak sepenuhnya buruk. Aku bisa sedikit melepas rasa penat di tempat ini.
"Tan, elo kenapa, sih, nggak minat buat ngejalin hubungan sama cowok? Gue tahu elo itu normal. Terbukti dari pipi lo yang selalu merona pas gue deketin."
Aku mencebik, "Dasar sok tahu!"
"Tapi memang bener, kan, elu cewek normal?"
Aku menghela napas pelan, "Gue cuma nggak mau aja terikat dengan masalah hati. Gue takut dikhianati terus patah hati. Nyesek pastinya."
Terlihat dari ekor mataku Rafael manggut-manggut mengerti.
"Tapi gue orangnya setia, kok, Tan. Itu, sih, kalau Tante percaya. Kalau gue udah berkomitmen sama orang, pantang buat berkhianat."
Aku meliriknya sembari berdecih kecil. Kata-katanya itu sok bijak banget. Bukankah laki-laki memang selalu mengatakan itu? Mereka akan selalu berkata akan setia, tapi nyatanya ada yang kedua dan ketiga. Ah, sudah banyak buktinya di luar sana. Dan itu tak menutup kemungkinan juga terjadi pada Rafael.
So, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya ataupun orang lain. Mendapat julukan perawan tua memang menyakitkan. Tetapi dikihianati sepertinya akan jauh lebih mengenaskan.
"Gue juga yakin, suatu saat nanti, Tante bakalan jatuh cinta sama gue."
Aku berhenti, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. "Udah gue bilang gue nggak bakalan suka sama--"
Tubuhku terpaku saat sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku. A-apa ini?
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.Sadar, Mayang! Sadar!Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga."Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya."Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya."Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan