Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.
Sadar, Mayang! Sadar!
Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga.
"Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya.
"Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya.
"Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."
Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"
Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar-benar gila jika bersamanya lebih lama lagi.
**
"Udaranya dingin. Apa kita nggak kembali ke kamar aja?" tawar Rafael. Namun aku menggeleng. Aku masih ingin menikmati malam bertabur bintang ini lebih lama lagi.
"Nanti lo masuk angin, Tan," ucapnya lagi.
Aku menyipitkan mata menatapnya, "Nggak usah sok peduli, deh! Kalau lo dingin, balik aja duluan. Lagian ini juga belum malam-malam amat."
"Mana bisa begitu? Seorang suami nggak mungkin ninggalin istrinya sendirian di luar malam-malam begini."
Aku berdecak kesal. Telingaku rasanya geli saat dia menyebut kami ini suami istri. Rasanya aneh.
"Sini tangan lo!" celetuknya lagi.
Aku menatapnya heran. "Buat apaan?"
"Udah siniin aja." Tanpa izin, Rafael menggenggam sebelah tanganku lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Saku jaketnya yang rasanya begitu hangat. Sebuah gelenyar aneh terasa memenuhi rongga dada. Apa ini?
Kami kembali berjalan. Pemuda itu tersenyum sembari memandangi langit malam. Entah bagaimana, akhirnya senyum itu menular padaku.
**
Setelah bosan dan lelah berjalan-jalan, aku mengajaknya kembali ke kamar. Kasihan juga Rafael. Dia sudah terlihat mengantuk.
"Gue ngantuk banget, Tan. Gue tidur, ya."
Baru saja mulutku hendak menjawab, Rafael sudah lebih dulu membaringkan badan di ranjang. Gurat lelah terlihat jelas di wajahnya. Bahkan dengkuran halus sudah terdengar dari bibirnya sekarang. Cepat sekali tidurnya. Dia pasti benar-benar lelah.
Aku meletakkan guling di tengah-tengah kami sebagai pembatas. Jangan sampai dia mencuri-curi kesempatan lagi untuk menyentuhku.
Aku ikut berbaring. Mataku memandangi langit-langit kamar dengan pikiran menerawang. Ingatanku kembali pada kejadian beberapa waktu lalu. Tepatnya saat Rafael memberikan sebuah kecupan hangat di bibirku.
Tanganku meraba bibir sendiri. Gelenyar aneh kembali terasa di dalam dada. Detak jantung pun ikut tak beraturan karenanya. Astaga! Aku ini kenapa?
Kugelengkan kepalaku cepat untuk mengusir segala pikiran dan perasaan aneh ini. Lalu merubah posisi membelakangi Rafael. Perlahan suara dengkuran halus pemuda itu turut menyeret kesadaranku.
***
Suara denting sendok yang beradu dengan piring, seakan menjadi sebuah lagu untuk menemani sarapan kami kali ini yang terasa lain. Kami sarapan berdua di dalam kamar. Rasanya memang seperti pengantin baru yang lagi malas-malasnya keluar. Oh, no!
"Hari ini mau ke mana lagi, Tan?" tanyanya tanpa melihatku.
Aku meletakkan sendok ke piring, "Elu bisa nggak, sih, jangan manggil gue tan-tan mulu? Emangnya gue setan?"
Rafael tergelak. Dia menutup mulut. Mungkin agar nasinya tak menyembur keluar. Tapi kenapa itu justru terlihat imut? Rafael ini memang tampaknya berbeda dari kebanyakan pemuda di luar sana.
Rafael mengambil segelas air lalu meneguknya perlahan. Sungguh, bocah ini sangat sopan.
"Oke. Gue nggak akan panggil lu dengan sebutan itu lagi. Jadi persiapkan diri lu buat gue panggil 'yang'."
"Uhuk!" Kini aku yang tersedak. Rafael menyodorkan segelas air putih padaku. Aku meminumnya beberapa teguk, lalu mengusap bibir menggunakan punggung tangan. "Yang apaan? Pala lo peyang?"
Rafael tertawa kecil. "Nama lo, kan, Mayang. Jadi nggak salah, dong, gue panggil yang," jawabnya sembari menggerak-gerakkan alis.
Aku mendengkus kesal. Panggilan itu bahkan jauh lebih buruk.
"Terserah lo lah. Ribet emang ngomong sama lo," cerocosku kesal.
Rafael masih saja tertawa melihat wajah kesalku. Dia pasti puas membuatku seakan-akan selalu kalah. Menyebalkan memang.
Tawa Rafael terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Dia bergegas menuju ke ranjang. Mengambil ponselnya yang tergeletak di sana.
"Ya, Ta?"
Ta lagi? Oh, aku tahu. Ta itu pasti pacar yang kemarin sudah diputusin. Tapi kenapa masih menghubungi Rafael jika sudah putus?
"Gimana, ya, Ta? Aku lagi nggak di rumah sekarang. Aku nggak bisa datang."
Hening. Sepertinya dia begitu serius mendengar sosok Ta bicara.
"Kamu tahu sendiri, kan, aku nggak punya ATM. Mana bisa aku transfer uang ke kamu?" Rafael diam lagi. Alisnya bertaut. "Halo, Ta? Ta?"
Sepertinya panggilan dimatikan dari seberang. Kulihat wajah Rafael berubah lesu.
"Dari siapa? Mantan pacar lo?" tanyaku. Rafael duduk di tepi ranjang sembari meremas rambutnya perlahan.
"Hm. Ibunya sakit lagi. Dia butuh uang buat biaya perawatan," jawabnya lesu.
"Maaf-maaf, nih, ya, sebelumnya. Tapi kenapa mantan cewek lo itu selalu bergantung sama lo? Apa dia nggak punya saudara? Atau mungkin tetangga gitu? Pasti ada lah, kan?"
Rafael menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Terlihat wajahnya kecewa. Mungkin kecewa pada diri sendiri karena tidak bisa membantu mantan pacarnya itu.
"Gue juga nggak tahu kenapa orang terdekatnya nggak ada yang mau bantu. Mungkin karena mereka udah terlalu sering bantu keluarga dia."
Aku manggut-manggut. Lalu beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan. Setelah memastikannya kering menggunakan handuk kecil, aku menghampiri meja rias untuk mengenakan skincare.
"Terus sekarang lu pengen transfer uang buat dia? Sebenarnya gue bisa bantu. Itu, sih, kalau lu mau," tawarku dengan tangan fokus membubuhkan cream ke wajah.
"Enggak perlu lah, Tan. Mana ada seorang istri kasih duit ke mantan pacar suaminya? Kayak nggak punya harga diri banget gue."
Aku hanya mengedikkan bahu, "Ya udah. Gue cuma nawarin bantuan doang."
Selesai mempercantik diri, aku mengambil ponsel di atas nakas. Seperti biasa, aku berselancar di dunia maya lagi.
Mataku menyipit saat membaca status salah satu teman. Teman dunia maya yang begitu aktif. Si Nadia lagi.
"Dasar cowok kere! Dimintain duit dikit aja alasannya segunung! Syukur, deh, diputusin."
Dasar cewek matre! Belum juga jadi istri sudah banyak menuntut. Aku meringis ilfil.
"Lu kenapa, Tan?"
"Enggak. Cuma baca status gaje di sosmed aja."
"Coba lihat!"
Kulirik dari ekor mataku, Rafael mendekat. Saat aku menoleh, wajahnya sudah berada tepat di depanku. Sial! Lagi-lagi ada yang sengaja menabuh genderang di dalam dadaku. Apa ini, wahai?
Lalu perlahan, Rafael mulai mengikis jarak di antara kami. Entah kenapa mataku reflek terpejam.
"Cie yang berharap gue cium!"
Mataku sontak terbuka. Rasa panas perlahan menjalar di kedua pipi. Aku mencubit pinggang Rafael dengan geram, "Lo rese banget, sih!"
Bukannya kesakitan, Rafael justru tergelak. Menertawakanku yang kini merasa malu setengah mati. Mampus lu, May! Malu begini, kan, jadinya.
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa