Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini.
Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan.
"Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?"
Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD."
"Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan."
Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin.
"Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggamannya begitu erat.
Rasa panas di kedua pipi kembali terasa. Juga debaran di dada pun mulai mengencang. Tidak! Apapun yang terjadi, aku tidak akan terbawa perasaan. Tidak akan!
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain agar rona di pipiku tak terlihat oleh pemuda itu. Melihat hamparan air yang luas di depan sana sepertinya lebih benar.
Kami berjalan santai menyusuri bibir pantai. Angin yang berembus menggerakkan rambutku hingga jadi berantakan. Rafael menahan tanganku, memaksa langkahku agar berhenti.
Dengan telaten, pemuda itu membenahi rambutku yang berantakan. Detak jantungku makin menggila. Seumur-umur baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku begitu manis.
Aku mendongak. Memberanikan diri menatap wajah suamiku sendiri. Dari jarak dekat begini, wajah Rafael terlihat manis. Namun kulitnya sedikit kusam. Mungkin karena dia terlalu lama kerja di bengkel.
"Lihatin aja sepuasnya, Tan. Udah halal, kok," celetuknya. Aku memalingkan muka dengan senyum tertahan.
Usai merapikan rambutku, Rafael mengajakku berjalan kembali. Aku jadi teringat dengan pertanyaan yang sempat terlintas di kepala kemarin.
"Btw, pacar lo namanya siapa? Gue selalu denger elo manggil dia Ta. Tata?"
Rafael mengangguk. "Hm, namanya Talita. Tapi gue manggilnya Tata. Panggilan sayang lah istilahnya."
Aku berdecih lirih. Dasar anak muda zaman now. Pakai ada panggilan sayang segala.
"Dia pasti spesial banget buat lo. Kok lo rela nikahin gue dan ninggalin dia?" tanyaku lagi.
"Ya rela nggak rela, sih, Tan. Rasa sakit juga pasti ada lah. Apalagi setelah apa yang kami lalui selama ini, pasti sulit banget buat dilupain. Tapi gue yakin, tanpa gue pun dia masih bisa bahagia. Begitu juga sebaliknya. Sekarang, kan, gue dah punya elo."
"Ish! Geli gue dengernya."
Rafael tertawa. "Jangan takut jatuh cinta, Tan. Memang cinta nggak selamanya bikin bahagia. Nggak jarang juga cinta malah nyakitin. Tapi tanpa cinta, hidup nggak akan ada artinya. Coba aja lihat hidup lo. Ada yang berkesan nggak sebelum ketemu gue?"
Aku kembali berdecih. Tapi tak urung, otak berpikir juga. Rafael memang benar. Semua yang aku jalani selama ini membosankan. Sangat berbeda dengan setelah aku bertemu dia. Lebih ada warna di dalam hidupku. Kadang kesal, kadang ketawa, kadang juga berdebar-debar seperti ini. Nano nano lah pokoknya.
"Lu bener, sih. Hidup gue awalnya ngebosenin. Tapi semenjak ketemu lo, hidup gue jadi ada nyawanya. Tapi itu bukan berarti gue jatuh cinta sama elo, ya," ucapku ketus.
Rafael tertawa. "Itu mah karena belum aja, Tan. Lihat aja entar. Pasti juga bakalan jatuh cinta sama gue."
Aku menatapnya tajam. "Nggak bakal!"
Lalu berlari meninggalkannya.
"Bakal! Gue jamin!" teriaknya. Aku menjulurkan lidah sembari berjalan mundur. Mengejek setiap ucapannya itu.
Namun karena mundur-mundur, kakiku masuk ke dalam lubang di pasir. Lubang itu membuatku jatuh. Kupegangi kaki yang terasa ngilu. Sepertinya lubang ini buatan pengunjung iseng.
Kulihat Rafael berlari mendekat. Tapi sebelum dia sampai, ada yang lebih dulu menolongku. Seorang lelaki juga.
"Mari saya bantu," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan. Kutoleh Rafael di depan sana yang langkahnya melambat.
Kuterima uluran tangan lelaki itu. Kakiku rasanya sakit sekali. Mungkin keseleo. Untuk berdiri saja sangat sakit. Bagaimana jika dipakai untuk jalan nanti?
"Sepertinya kakimu terkilir," ucap lelaki itu lagi.
"Elu nggak papa, Tan?" Rafael sedikit menyingkirkan laki-laki itu dari dekatku. Sepertinya dia tidak suka melihatku dekat-dekat dengan lelaki itu.
"Kayaknya gue nggak bisa jalan," jawabku sambil sesekali meringis kesakitan.
"Sepertinya kaki dia terkilir." Laki-laki itu berucap lagi. Aku dan Rafael menoleh padanya.
"Ya, saya tahu. Saya bisa urus istri saya sendiri. Terima kasih sudah membantunya."
Mulutku sedikit terbuka mendengar ucapan Rafael. Apa dia sedang cemburu sekarang?
"Istri? Kalian suami istri?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah terkejut.
"Ya, kenapa memang?" Rafael kembali menyahut.
"Oh, nggak papa. Ya sudah saya permisi."
Rafael masih memandang laki-laki itu sampai benar-benar menjauh. Kenapa, sih, anak ini?
Aku memukul perutnya menggunakan lengan. "Kenapa, sih? Balik, yuk! Kaki gue sakit."
"Eh, iya. Sini, naik ke punggung gue."
"Hah?"
"Udah naik aja." Rafael sudah bersiap di depanku. Dia berjongkok agar aku lebih mudah naik ke punggungnya.
Aku menatap sekeliling dengan canggung. Malu jika dilihat orang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak bisa jalan.
"Ayok, Tan!"
"Ish! Iya-iya!" Akhirnya aku naik ke punggungnya. Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan seorang lelaki. Bersentuhan, berbagi cerita satu sama lain, bahkan berbagi ranjang meskipun tidak berbuat apa-apa.
"Badan lu enteng banget, Tan. Lu lagi diet, ya? Gue suka heran sama cewek. Buat apa, sih, diet segala? Mau-maunya nahan lapar," cerocosnya sok tahu.
"Eh, dasar bocah sok tahu! Gue nggak ada diet-dietan, ya. Badan gue emang segini aja dari dulu."
"Oh, gue kirain diet."
Kami telah sampai di kamar. Rafael mendudukkanku di bibir ranjang. Dia lalu keluar lagi. Ingin mencari minyak urut katanya.
Selang beberapa menit, Rafael kembali dengan sesuatu di tangan.
"Sini, mana yang sakit?" Dia berjongkok di bawahku. Dengan ragu-ragu, kuarahkan kaki yang tadi keseleo padanya.
"Dulu gue pernah diajarin sama nyokap buat ngurut. Kalau cuma keseleo kayak gini mah gampang buat gue," ucapnya sok iyes. Paling juga cuma ditekan-tekan doang. Malah bikin tambah sakit nanti. Dia ini selalu saja membanggakan diri sendiri. Kepedean istilahnya.
Mulut Rafael terus saja berbicara. Sementara tangannya juga terus mengurut. Rasanya nyaman juga. Saat dia memintaku menggerakkan kaki, rasanya sudah tak sesakit tadi. Ajaib!
"Gimana? Masih sakit nggak?" tanyanya memastikan.
Aku berdehem, "Ya, lumayanlah. Boleh juga pijitan lo."
"Apa gue bilang? Tangan gue ini punya sentuhan ajaib. Ya udah, lo istirahat aja." Rafael mengacak rambutku sekilas, kemudian berlalu menuju sofa tak jauh dari ranjang. Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengusir rasa aneh yang datang tiap kali Rafael memperlakukanku dengan manis.
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa
"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.