Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.
Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.
Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman.
"Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang.
"Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut.
"Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian juga rupanya. Desir-desir halus kembali datang menggelitik ahati. Berbaur dengan rasa sakit di perut menciptakan sensasi yang tak bisa kuungkap dengan kata-kata.
Rafael kembali dengan sesuatu di tangan. Seperti botol sirup.
"Apaan yang lo bawa?" tanyaku.
"Ini obat sakit perut kata Mama mertua. Lu minum, gih, biar enakan." Rafael menuangkan sirup pada sendoknya. Lalu mengarahkannya ke mulutku. Aku merasa seperti anak kecil sekarang.
"Makasih," ucapku lirih. Malu.
Rafael tersenyum, lalu mengusap rambutku. "Sama-sama, Tan. Lo istirahat aja. Gue tungguin di sini," ucapnya sembari merangkak naik ke atas ranjang. "Tenang aja. Gue cuma mau mastiin sakit lo nggak makin parah."
Aih! Manisnya!
Aku buru-buru memalingkan wajah. Tenang, Mayang. Tenang! Mending sekarang merem, terus tidur. Aku merebahkan badan lalu memejamkan mata. Mencoba tidur meski detak jantung yang menggila sungguh mengganggu.
Kurasakan ada suatu pergerakan pada ranjang. Kubuka mataku sedikit. Kulihat Rafael beringsut mendekat ke nakas. Lalu aku kembali memejam saat dia mendekat.
"Masih sakit?"
Aku membuka mata. Kulihat Rafael membawa minyak angin di tangannya. Aku mengangguk.
"Sini, biar gue olesi minyak angin perut lu." Dia memintaku membuka kaus bagian perut.
"Gue bisa sendiri," tolakku.
"Tan, gue ini suami lo. Jangankan perut, semua anggota badan lo aja halal buat gue lihat."
Seketika aku menyilangkan tangan di depan dada. Dia malah tergelak.
"Tenang aja. Gue nggak bakal macam-macam. Gue cuma minta lu buka kaus bagian perut doang."
Akhirnya aku menurut. Kubuka sedikit kausku hingga bagian perut terlihat. Rafael mulai mengoleskan minyak tersebut pada perutku dengan lembut. Menciptakan rasa nyaman di sana. Rasa sakit yang tadi bergelung, perlahan hilang.
"Tidur," titahnya pelan. Sebelah tangan Rafael mengusap kepalaku. Sebelah lagi masih setia mengusap perutku. "Lo nggak usah khawatir, Tan. Sebelum lo benar-benar siap, gue nggak akan paksa lo buat ngelayanin gue."
Lagi, senyum Rafael yang begitu manis dan lembut, membuatku kian merasa nyaman. Namun juga mengundang rasa takut di dada. Rasa takut jika aku akan jatuh hati, lalu tersakiti.
***
"Gimana perutnya, Tan? Masih sakit?"
Aku yang tengah mengikat rambut menggeleng. "Udah baikan. Makasih."
Rafael hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang menurutku sangat manis. Senyuman yang selalu mampu menciptakan gelenyar aneh di dalam hati. Tak pelak, rasa hangat menjalari wajah.
"Jangan telat makan lagi. Dan hari ini nggak usah ke toko dulu. Banyakin istirahat di rumah. Gue berangkat." Rafael mengecup keningku seperti biasa. Sepertinya ini akan menjadi rutinitas kami saat dia akan berangkat bekerja.
Dia berlalu dari kamar. Aku melanjutkan kembali kegiatan mengikat rambut yang sempat tertunda.
Eh, tunggu dulu! Sepertinya ada yang aku lupakan sejak kemarin.
Oh, astaga! Tata! Bukannya kemarin aku ingin menunjukkan akun perempuan itu pada Rafael? Kenapa aku bisa lupa?
Gegas aku mengejarnya ke bawah. Tapi sepertinya aku terlambat. Motor Rafael sudah tidak ada di garasi. Aku berdecak kesal. Harus menunggu sampai malam lagi, kan, jadinya.
Aku kembali masuk. Di depan pintu, aku dihadang oleh Mama.
"Kenapa lari-larian, May?"
"Nggak papa, Ma. Tadi ada sesuatu yang mau aku sampaiin sama Rafael. Tapi orangnya keburu pergi."
"Ya udah samperin aja ke tempat kerjanya. Masa gitu doang dah nyerah." Seperti biasa, Mama melenggang setelah mengatakan sepatah dua patah kata yang terkadang membuatku emosi. Tapi kali ini, ucapannya benar juga. Aku susul saja. Ini bukan masalah kecil. Jika benar Tata yang dimaksud Rafael adalah Nadia, maka Rafael sudah dibohongi selama ini.
Tidak mungkin, kan, Rafael mau dengan perempuan yang suka mengobral diri pada laki-laki hidung belang. Secara Rafael lelaki yang tulus. Aku yakin pasti Tata memiliki dua sisi wajah yang berbeda.
Aku bergegas kembali ke kamar. Mengganti pakaian dengan yang lebih layak, lalu duduk di depan cermin rias. Baru saja tanganku hendak meraih salah satu alat make up di sana, aku teringat ucapan Rafael semalam.
"Tapi lu lebih cantik kalau nggak pakai make up. Lebih natural menurut gue."
Aku beranjak. Urung memakai make up. Kusambar tas kecil di atas meja, kemudian berlalu keluar.
Sembari berjalan, aku menghubungi Rafael. Tidak ada jawaban. Mungkin dia masih di jalan. Akhirnya aku hanya mengirim pesan.
[Share lokasi kerja lo. Ada yang mau gue sampaiin sama lo.]
Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas setelah pesan kukirim. Aku terus berjalan menuju garasi. Menyalakan mesin mobil, lalu mulai melajukannya membelah jalanan yang padat.
Di jam-jam ini, serentak orang-orang berangkat bekerja. Jalanan jadi sangat padat. Mobilku merayap di antara banyaknya kendaraan.
**
Kupastikan lagi lokasi yang dikirim oleh Rafael dengan toko yang ada di depanku. Ya, ini sudah benar.
Aku melangkah masuk. Toko ini sangat luas. Wajar jika pemiliknya mencari pekerja lagi. Pasti sangat repot jika karyawan yang ada jumlahnya tak memadai. Untuk bertugas mengecek barang, di meja kasir, belum lagi nanti saat ada pasokan barang yang datang. Sudah pasti dibutuhkan banyak karyawan.
"Tan!"
Aku menoleh. Rafael muncul dari sela-sela rak barang. Dia menarik tanganku keluar dari toko. Lalu mengajakku duduk di teras toko. Di sana terdapat dua kursi dengan satu meja berada di tengahnya.
Dapat kudengar deheman-deheman dari karyawan lain saat Rafael menarik tanganku. Deheman yang sengaja dilontarkan untuk menggoda sepertinya.
"Ada apaan, Tan? Kayaknya penting banget sampai lu datang ke sini?"
Aku merogoh ponsel dari dalam tas. Lalu jariku mulai menelusuri dan mencari akun bernama Nadia Talita. Ketemu!
"Coba lo lihat ini!" Aku menyerahkan ponsel padanya.
Mata Rafael menyipit. Alisnya bertaut. Terlihat heran.
"Itu mantan pacar lo, bukan?" tanyaku. "Nadia Talita namanya. Lo juga pernah bilang kalau pacar lo itu bernama Talita dengan panggilan sayang, Tata, kan?"
Rafael mengangguk-angguk. "Ya, ini memang wajah Tata. Namanya juga nama dia. Tapi ini nggak mungkin akun sosmednya dia. Soanya gue temenan sama akun aslinya." Kini Rafael yang menunjukkan ponsel padaku. Dia menunjukkan akun Tata dengan nama Nadia Tata, bukan Nadia Talita.
"Gue harus tunjukin akun fake ini sama Tata, Tan. Kasihan, kan, nama baiknya tercemar karena akun ini. Gue juga harus mencari cara biar akun ini dihapus sama pihak aplikasi," ucap Rafael dengan wajah emosi. Tak terima sepertinya jika nama baik mantan pacarnya tercemar.
"Tapi, kok, nama akun yang lo tunjukin ini nggak ketemu, ya, gue cari pakai akun gue?" ucapnya lagi.
Sekarang aku punya kesimpulan. Akun Nadia yang kemarin menawarkan dirinya pada lelaki hidung belang, sepertinya memblokir Rafael agar laki-laki itu tidak mengetahui aktivitasnya. Sementara itu, dia punya akun lain yang berperan sebagai pacarnya Rafael yang terkenal baik. Mungkinkah begitu?
"Kayaknya lo salah menilai Talita, deh. Kalau menurut gue, Talita itu nggak sebaik yang lo kira. Kalau memang ini kerjaan orang, kenapa harus blokir lo? Udah pasti biar lo nggak bisa lihat aktivitas dia yang buruk, kan? Coba, deh, lo pikir lagi," ucapku mencoba menjelaskan.
"Nggak, Tan. Gue kenal banget gimana Tata. Dia perempuan yang baik. Bukan perempuan murahan kayak gini. Ini bukan Tata banget. Bahkan selama ini dia cuma sibuk ngurusin Ibunya yang sakit. Mana mungkin dia macam-macam kayak gini?"
Aku menghela napas pelan. Bingung memenuhi pikiran. Mana yang benar? Kesimpulanku atau kepercayaan Rafael?
"Ntar sore, sepulang kerja gue bakalan bawa lo ke rumah Tata. Lo bisa menilai sendiri dia orang seperti apa. Gue ke dalam, ya. Di sana masih banyak kerjaan." Rafael masih sempat mengacak rambutku sebelum berlalu. Ish! Nyebelin.
Aku melangkah gontai menuju mobil. Dari pada bingung seperti ini, lebih baik aku pergi ke toko saja. Lagi pula aku sudah baik-baik saja.
**
"Gimana perkembangan toko selama kutinggal, Fir?" tanyaku pada salah satu karyawan toko.
"Lancar, Bu. Toko tetap ramai seperti biasa. Kue-kue juga nggak nyetok lama-lama, kok. Sehari dua hari udah ludes. Terutama rollcake-nya."
Aku mengangguk-angguk paham. Syukurlah jika keadaan baik-baik saja di sini.
"Ibu gimana honeymoon-nya?" Dia balik bertanya dengan ekspresi cengar-cengir.
"Apaan, sih, kamu ini?" Aku menghindari pertanyaannya dengan berjalan menuju etalase depan. Kudengar Fira terkikik di belakang sana. Tidak di rumah, tidak di sini, sama saja. Bulan madu terus yang mereka tanyakan.
"Ada tart buat anak kecil, Mbak?"
Aku yang sedang sibuk mengecek berbagai macam kue mendongak.
"Ammar?"
Laki-laki itu juga sepertinya terkejut melihatku. "Mayang, kan? Kamu kerja di sini?"
"Ini toko milikku. Em, tadi kamu nyari tart buat anak kecil, ya?"
Dia mengangguk.
"Ayo, tempatnya di sana." Aku berjalan menuju etalase yang lain. Di mana berjajar berbagai jenis tart untuk ulang tahun anak-anak. Kami memang selalu menyediakan kue tart setiap harinya. Namun dalam jumlah yang terbatas agar lekas habis.
Ammar melihat dengan cermat ke arah aneka tart di depannya.
"Aku pilih yang ini saja," ucapnya sambil menujuk salah satu tart dengan ukuran lumayan besar.
"Oke. Mau dikasih tulisan apa?" tanyaku.
"Sebenarnya anakku masih berumur tiga tahun. Jadi dia belum bisa baca. Tapi kalau nggak ada tulisannya juga aneh, ya." Dia tertawa kecil di akhir kalimat.
"Kamu sudah punya anak?"
"Ya," jawabnya singkat disertai senyum tipis.
"Namanya siapa?"
"Chika."
"Oke. Gimana kalau tulisannya, Papa sayang Chika aja?"
Dia manggut-manggut. "Boleh juga."
"Tunggu sebentar, ya." Aku membawa tart tersebut ke belakang. Lalu meminta salah satu pegawai untuk memberinya tulisan menggunakan butter cream.
"Ini. Tapi, ngomong-ngomong Mamanya Chika mana? Kok nggak diajak? Biasanya perempuan itu antusias banget, lho, buat nyambut hari spesial kayak gini," ucapku basa-basi setelah kembali ke depan.
"Aku sudah lama berpisah," jawabnya masih disertai senyuman. Jadi, dia duda?
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa
"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.
Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.
Sejak tadi Rafael terus menatapku yang berada di belakang meja kasir. Di depannya kusuguhkan sepiring bronis. Bukannya dimakan, dia hanya bertopang dagu dengan mata tak lepas dariku. Aku jadi salah tingkah sendiri."Itu dimakan bronisnya. Enak tahu buatan gue," ucapku untuk mengalihkan perhatiannya."Enakan juga mandangin elu, Tan," jawabnya sambil senyum-senyum. Kalau begini terus, yang ada aku bisa makin salah tingkah."Kita pulang aja, ya. Lo masih butuh banyak istirahat." Aku menarik tangannya. Dia menurut seperti anak kecil."Kenapa ngajakin pulang? Mau malam pertamaan sekarang, ya?"Aku sontak melepaskan tangannya. "Mana ada? Ya udah, kita balik ke toko lagi aja." Aku sudah berniat masuk lagi. Tapi Rafael menahan."Bercanda, kok. Kita ke taman aja, ya." Dia menggandeng tanganku. Jujur aku masih trauma pergi ke tempat itu. Di sana Rafael mengalami