Share

Ke Mana Rafael?

Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya?

Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab!

Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?"

Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk.

Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?"

"Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus. Terasa nyes di hati. Seakan-akan seperti disiram air dingin.

Aku bergegas memalingkan wajah, lalu mengibaskan rambut. Berlagak biasa saja. Padahal jantung sudah mau loncat. "Mayang gitu, lho!"

Dia mengacak rambutku dengan gemas. Astaga! Pemuda ini kenapa gemar sekali membuatku terbawa perasaan. Sekarang aku jadi teringat sesuatu. Besok adalah hari ulang tahunku. Jika Rafael tahu, apakah dia akan memberikan kado spesial?

Aku menggeliat, mencoba melepaskan diri darinya. Jika diteruskan, aku takut terhanyut dalam perasaanya dan berujung luka. Tidak! Aku tidak siap untuk sakit hati.

Aku berlari masuk ke dalam rumah. Sebaiknya kami makan malam dulu sebelum ke rumah Tata. Bisa-bisa nanti perutku sakit lagi seperti kemarin jika makan tidak tepat waktu.

"Tungguin, Tan!"

Kulihat Rafael mengejar. Aku semakin mempercepat langkah. Jangan sampai dia menguasaiku, terlebih lagi hatiku. Aku memang tidak pernah pacaran sejak dulu. Namun kuakui, aku ini mudah melting. Mudah terbawa perasaan. Sensitif lah istilahnya. Jadi sebisa mungkin, aku akan menjaga hati darinya.

Kusambar handur di cantelan. Lalu bergegas masuk ke kamar mandi sebelum laki-laki itu muncul.

"Tan, mandi lu?" tanyanya dari luar.

"Iye! Jangan ganggu!" sahutku ketus dari dalam.

"Sebenarnya, sih, gue pengen mandi bareng. Tapi elonya keburu masuk duluan."

Mataku melebar mendengarnya. "Eh, dasar nyebelin lo, ya!"

Dia tergelak di luar sana untuk beberapa saat. Lalu suaranya tak lagi terdengar. Kulanjutkan aktivitas mandi yang sempat tertunta karena gangguan Rafael. Kupakai juga penutup rambut agar tak basah.

Guyuran air dari shower sangat menyegarkan. Seakan memberi energi baru di saat air menyentuh kulit.

Selesai dengan ritual mandi, kulilitkan handuk di badan. Lalu mataku mencari-cari sesuatu. Bajuku? Astaga! Kenapa aku tidak bawa baju ganti sekalian tadi? Sementara baju yang tadi kupakai sudah masuk ke bak pakaian kotor. Mana mungkin kupakai lagi?

"Tan! Lama amat mandinya? Gue gerah ini. Mau mandi juga!"

Ish! Kenapa bocah itu berisik banget, sih?

Perlahan kubuka pintu kamar mandi sembari mengintip keluar. Aku terlonjak kaget saat melihatnya bertelanjang dada di depan pintu kamar mandi.

Sontak kututup wajah dengan kedua telapak tangan. 

"Ih! Lo ngapain buka-buka baju di sini?" omelku.

"Gue, kan, udah bilang tadi. Gue gerah. Elu, sih, Tan, kelamaan mandinya."

Perlahan aku menyingkirkan telapak tangan dari wajah. Debaran di dalam dada semakin bertalu-talu. Belum habis sisa debaran di bawah tadi, sekarang bertambah kencang saja.

Roti sobek itu membuatku ... ah, jangan ngaco, Mayang! Please!

Aku berjalan miring-miring seperti kepiting. Menempel pada tembok untuk berjaga-jaga jika saja Rafael tiba-tiba berbuat usil dengan menarik handukku. Dia rese! Bisa berbuat apa saja.

"Lu kenapa, sih, Tan?" Wajah Rafael makin heran melihatku. Setelah mencapai lemari, aku buru-buru mengambil pakaian dari sana. Kaus dengan celana jeans selutut.

"Udah buruan mandi sana!" ketusku yang masih sibuk di depan lemari. Aku berbalik untuk meliriknya. Rafael geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Lalu masuk ke kamar mandi.

Aku menghela napas lega, sejenak bersandar pada pintu lemari yang telah kututup kembali.

**

Usai makan malam, kami bersiap untuk ke rumah Tata. Aku tak mengganti baju. Hanya menambahkan jaket di luar kaus. Rafael juga tampil santai. Dia mengenakan celana pendek sebatas lutut dengan kaus dan luaran jaket, sama sepertiku.

Aku berdiri di depan cermin rias. Berniat mengikat rambut agar tak berantakan saat terkena angin. Rafael bilang kami naik motor saja. Aku juga sudah lama tak naik kendaraan itu. Rasanya kangen juga.

"Jangan diikat rambutnya." Rafael mengambil alih tali rambutku. Dia juga menurunkan kedua tanganku yang sudah siap mengikat. Rambutku jadi terurai lagi.

"Leher lu kelihatan kalau rambutnya diikat," ucapnya lagi sambil membenahi rambutku.

"Kenapa emang kalau kelihatan?" tanyaku bingung. Apa masalahnya coba?

Rafael mendekat ke telinga kiriku. Lalu menyibak rambut agar telingaku terlihat. Darahku berdesir saat telinga tersentuh olehnya. Jantungku makin seperti ditabuh saat dia berbisik di sana. "Gue nggak mau laki-laki lain berpikir buruk saat ngelihat leher jenjang lu. Cukup gue aja."

Hangat napasnya terasa menggelitik telinga dan leherku. Tubuhku seakan kaku.

Rafael membalik badanku hingga kini berhadapan dengannya. Mata kami beradu. Bibir pemuda itu melengkungkan senyum manis.

"Love you, Tan."

**

Entah kenapa sejak tadi bibirku terus saja ingin tersenyum. Hati juga kebat-kebit tak karuan. Ini semua gara-gara Rafael. Ungkapannya tadi benar-benar membuat perasaanku amburadul, kacau.

Kulihat dari kaca spion, Rafael tersenyum tiap kali pandangan kami bertemu di sana. Sementara aku sendiri melengos. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada saat mendengar ungkapannya. Namun di sisi lain ada rasa cemas juga takut. Takut jika aku benar-benar terbuai. Lalu setelah menambatkan hati padanya, aku akan dicampakkan. Hal itu yang selama ini selalu kutakutkan.

Rafael meraih tangan kiriku dan membawanya ke saku jaket. "Tangan lu dingin banget, Tan."

Aku memalingkan wajah kembali agar rona di sana tak dia lihat. "Nyetir yang bener. Ntar nabrak kalau tangan dilepas-lepas gitu," ucapku ketus.

Dia hanya tersenyum. Sementara genggaman tangannya padaku semakin dieratkan. Dasar bocah! Untung ganteng. Heleh!

**

Motor berhenti di depan rumah sederhana. Rafael bilang ini rumah Talita. Rumah ini terlihat begitu sepi. Tetangga sekitarnya pun tidak ada yang terlihat. Mungkin karena sudah malam, mereka bersantai bersama keluarga di depan televisi.

"Ayo masuk!" Lagi-lagi Rafael menggenggam tanganku. Biarlah. Rasa nyaman ini membuatku mengesampingkan rasa takut, meski hanya beberapa saat saja.

"Ta! Ini gue Rafa!" teriak Rafael.

Tak berselang lama, pintu dibuka dari dalam. Muncul sosok yang begitu mirip dengan pemilik akun Nadia Talita. Hanya saja yang ini penampilannya sangat sederhana. Mengenakan kemeja lusuh dan rok lebar di bawah lutut. Bukan bermaksud menghina. Namun cara berpakaiannya lebih mirip asisten rumah tangga di rumahku.

Sepertinya memang kesimpulanku yang salah. Mana mungkin perempuan seperti ini berani menawarkan diri?

"Ini Mayang, Ta, istriku," ucap Rafael memperkenalkan aku. Ada rasa bangga saat mendengarnya.

Talita tersenyum sopan, lalu mengulurkan tangan padaku. Aku sungguh takjub. Dia mampu menutupi luka di hati dengan senyuman. Bukankah Rafael bilang waktu itu Tata menangis saat hubungan mereka harus kandas? Lalu sekarang saat melihat laki-laki yang dicintainya bersamaku, dia masih mampu tersenyum. Luar biasa!

"Silakan masuk," ajaknya sopan.

Di ruang tamu, ada seorang laki-laki berperut buncit yang sedang bermain ponsel.

"Dia siapa, Ta?" tanya Rafael.

"Oh, beliau Pamanku, Raf. Kamu belum pernah ketemu, ya?" Tata beralih pada laki-laki berperut buncit itu. "Paklik, kenalin ini teman aku Rafael sama istrinya."

Laki-laki itu mendongak, kemudian berdiri menghampiri kami. Dari penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa. Rapi dan berkelas. Kemejanya bagus, pakai jam tangan pula. Aku tahu merek jam tangan itu. Harganya lumayan fantastis.

"Saya Bondan," ucapnya sembari mengulurkan tangan. Saat menyalamiku, kulihat tatapan yang lain di sana. Seperti tengah menelanjangi. Aku bergidik ngeri.

"Ibu gimana keadaannya?" tanya Rafael. Laki-laki yang dipanggil Paklik oleh Tata tadi duduk kembali. Namun dapat kulihat, mata itu masih saja menatapku. Astaga! Rasanya ingin kucolok saja.

"Masih sama, Raf. Bahkan hari ini beliau nggak mau makan."

"Em, boleh aku lihat Ibu kamu?" Aku menyela.

"Boleh, Mbak. Silakan." Tata berjalan di depan. Aku dan Rafael mengekor di belakangnya.

Dia menyibak tirai salah satu ruangan. Di dalam, terbaring seorang wanita yang kutaksir seumuran Mama. Hanya saja, badannya terlihat kurus.

"Sakit apa?" tanyaku lagi.

"Macam-macam, Mbak. Awal mulanya asam lambung. Lalu sekarang dokter bilang ada vertigonya juga. Seharusnya beliau dirawat di rumah sakit. Tapi karena terkendala biaya, hanya saya rawat di rumah."

Hatiku teriris mendengar cerita Talita. Merasa bersalah sempat berburuk sangka padanya.

Saat kami tengah mendengarkan cerita dari gadis itu, Ibunya tiba-tiba muntah. Talita dengan sigap mengambil wadah yang berada di bawah ranjang sebagai tempat muntah.

"Raf, sepertinya kita harus bawa Ibu Talita ke rumah sakit," ucapku panik.

"Tapi biayanya?"

"Gue yang tanggung. Cepetan cari taksol."

***

Kami pulang sekitar jam sepuluh malam. Sebab menunggu sampai Ibu Talita dipindahkan ke ruang rawat.

Saat aku hendak melepas jaket, Rafael tiba-tiba memeluk dari belakang.

"Apaan, sih? Tuman banget!" Aku menggeliat, tapi Rafael semakin mengeratkan pelukan.

"Makasih, Tan," ucapnya sembari menempelkan pipinya dengan pipiku.

"Buat?"

"Buat semua yang lo lakuin untuk keluarga Tata."

Aku tersenyum tipis. "Gue nggak tega aja ngelihatnya. Gue jadi ngebayangin kalau nyokap gue yang kayak gitu gimana? Ah, nggak sanggup gue kalau lihat beliau sakit."

Mataku memanas. Nasib Talita benar-benar membuatku merasa sangat bersyukur atas segala yang kupunya.

"Gue makin cinta sama lu, Tan."

Astaga! Mulai lagi gombalnya. Aku jadi teringat sesuatu.

"Em ... gini, deh. Kalau lo berterima kasih sama gue, gue minta kado ulang tahun buat besok."

Rafael membalik badanku. "Lo ulang tahun?"

Aku mengangguk. "Besok, sepulang kerja, gue tunggu lo di cafe deket toko gue. Bawa kado! Awas kalau nggak datang!"

Rafael tersenyum. Lalu tangannya ditaruh di pelipis seperti seseorang yang sedang hormat. "Siap, laksanakan!"

***

Dadaku lagi-lagi berdebar tak menentu. Kue tart sudah tersedia di atas meja lengkap dengan lilinnya.

Berulang kali aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam tujuh. Sebentar lagi Rafael pasti datang. Entah kenapa aku selalu ingin tersenyum begini. Jika ada yang melihatku, pasti mereka akan mengira aku tak waras.

Kualihkan pandangan ke arah lain agar pikiranku tak semakin eror karena menanti Rafael. Tak sengaja, kulihat sosok yang tak asing ada di luar sana. Talita dan Pamannya.

Aku beranjak keluar. Namun belum sempat kupanggil, mereka sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Kenapa Talita keluar malam-malam begini? Lalu siapa yang menunggu Ibunya?

Bunyi ponsel di dalam tas mengalihkan fokusku. Ada pesan dari Rafael.

[Tan, gue kayaknya telat. Ini lagi nungguin Ibunya Tata. Anaknya lagi keluar cari sesuatu. Nggak papa, kan?]

Oh, sepertinya tadi Talita dan Pamannya itu sedang mencarikan sesuatu untuk Ibunya. Mungkin mencarikan makanan. Sebab biasanya, seseorang yang lagi sakit itu maunya makan yang aneh-aneh.

[Oke. Jangan lupa kadonya.]

Aku duduk kembali setelah membalas pesan Rafael.

Satu persatu pengunjung cafe pergi. Berulang kali kuembuskan napas lelah. Kenapa Rafael lama sekali? Apa Talita belum balik juga? Perasaan tadi dia sudah naik mobil.

"Permisi, Mbak." Aku mendongak. Pelayan cafe rupanya.

"Ya?"

"Mohon maaf sebelumnya. Saya hanya ingin menginformasikan kalau cafe sebentar lagi akan tutup," ucapnya sopan.

"Ah, iya. Maaf-maaf." Kuambil kue tart di atas meja. Langkahku lunglai saat keluar dari cafe. Rafael ke mana, sih?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mawar Berduri
d sebelah novel INI judulnya DINIKAHI BOCAH TENGIL hmmmmm membosankan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status