"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku? "Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama. "Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?" Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam. Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit. Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungk
Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal. "Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?" Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal. Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja." Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang? "Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal. Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya. Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku n
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana? Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku. ** Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama. Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali. "Dari mana?" tanyaku serius. Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku. Aku mera
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu. Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun. "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!" Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih? Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu. "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam. "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.Sadar, Mayang! Sadar!Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga."Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya."Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya."Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam