Share

Bab2. Perawat Tanaman Hias Nyonya Shania

Shania mematut tanaman kecil yang unik dalam sebuah pot kecil yang baru saja di terimanya dari tangan Janeta.

“Hm, ini tanaman hias yang tidak mudah untuk berkembang biak. Berasal dari gunung Cedarberg yang ada di Afrika Selatan. Tanaman ini sungguh langka dan sangat sulit di temukan keberadaannya dan konon kabarnya mempunyai daya magic yang mampu memberikan perlindungan.” gumam Shania dengan wajah berseri menggantikan rona kusut yang sebelumnya terlihat jelas.

“Hmm..he..hmm.” gumam Janeta tidak jelas. Shania ternyata lebih mengetahui secara detail tentang tanaman hias yang sedang ia tawarkan itu.

“Aku akan membayarnya dan sekali gus membayar jasamu untuk merawat tanaman ini! Kamu harus datang ke rumahku setiap hari dan usahakan tanaman ini bertunas dalam waktu secepat mungkin!” sederetan perintah keluar begitu saja dari bibir seksi wanita cantik berkulit putih bersih itu.

“Taa.. tapi.. Nyonya!” Janeta tidak meneruskan kalimatnya. Ia hanya menatap wajah Shania yang juga tengah memandanginya.

“Aku akan bayar tanaman ini 50 juta. Dan gajimu 5 juta sebulannya.” ujar Shania lalu meninggalkan Janeta yang kebingungan di teras rumah dengan biji mata membesar mengiringi kepergian Shania yang melenggok gemulai memasuki rumahnya.

Tak lama kemudian Shania kembali dengan membawa selembar kertas cek.

“Ini cek kontan senilai 55 juta rupiah, kamu boleh pergi sekarang ke bank untuk mencairkan uang ini dan jangan lupa kembali besok pagi untuk memulai tugasmu! Dan kamu hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari Selasa!” bagaikan terompet yang di tiup seorang, kembali wanita muda nan cantik itu memborbardir Janeta dengan sederetan perintah.

“Baiklah Nyonya!” ujar Janeta mengangguk dengan hikmat. Hatinya tentu saja senang karena tujuannya untuk mendekati Shania yang tengah ia curigai sebagai pembunuh Lusy, kini telah kesampaian.

“Tolong letakkan Kak Lusy di atas rak itu!” perintah Shania sambil menunjuk rak bunga bagian paling atas. Rak itu terbuat dari besi yang di cat dengan warna emas. Dari ukiran teralisnya, jelas terlihat kalau rak itu di buat oleh seseorang yang sangat ahli di bidangnya dan harganya tentu sangat mahal.

“Kak Lusy?” spontan Janeta bergumam sambil menerima tanaman hias dalam pot kecil itu dari tangan Shania.

Shania menatap Janeta dan dengan sedikit menunduk Janeta membalas tatapan Shania. 

Astaga..!

Dua anak air jatuh bergulir di pipi Shania yang putih mulus.

“Ma.. maaf, mengapa Nyonya menangis?” tanya Janeta penuh heran.

“Kak Lusy adalah madu tuaku. Ia bagaikan Kakak kandungku. Aku mengibaratkannya dengan bunga langka ini karena aku tahu tidak banyak orang sebaik Kak Lusy.” beber Shania mulai mengusap air matanya.

“Hmm, pelaku kejahatan memang selalu menampilkan kesedihan yang berlebihan untuk menutupi kesalahannya dan menghindar dari kecurigaan.” Janeta membaca sebuah kalimat yang ia dapatkan dari sebuah buku petunjuk di alam detektif. Tapi sudah pasti kalimat itu ia lontarkan hanya di dalam hatinya saja.

“Baiklah Nyonya! Saya tidak mengenal Nyonya Lusy yang Nyonya sebutkan tadi.” jawab Janeta lirih sambil menundukkan kepalanya. Jelas Janeta berbohong dan tengah menggiring pengakuan Shania selanjutnya dengan pancingan kalimatnya itu.

Janeta kemudian beringsut mendekati rak yang tadi di tunjuk oleh Shania lalu dengan hati-hati Janeta meletakkan pot itu pada bagian atas rak bunga tersebut.

Shania mengikuti gerakan Janeta dengan pandangan matanya yang penuh misteri. Lalu setelah Janeta selesai melakukan tugasnya dan kembali ke hadapan Shania, Shania gantian berjalan perlahan menuju rak bunga tersebut.

Dengan sedikit menengadah Shania menatap tanaman hias yang baru saja di taruh Janeta dengan wajah sedih dan air mata berderai.

“Kak, aku akan merawatmu dengan baik. Kamu ibarat bunga ini yang tidak mudah di temui di dunia.” ucap Shania mulai terisak pilu. Bahunya berguncang turun naik.

“Nyonya..!” seruan Janeta tertahan ketika melihat Shania mengangkat tangan tanpa menoleh kepadanya.

“Pergilah! Biarkan aku di sini berbincang dengan Kak Lusy!” seru Shania mengusir halus Janeta untuk pergi.

Janeta mengangguk dan berjalan mundur perlahan ke belakang meninggalkan teras itu. Matanya yang tajam tetap mengawasi Shania yang terus saja meratap sedih sambil memandangi tanaman hias tadi.

“Sempurna !” maki Janeta lalu mengganti porseling mobil dan perlahan mengemudi meninggalkan tempat itu. Ia mengemas senyum miring di bibirnya.

“Aku sudah bertemu dengan orang yang berpotensi sebagai pelaku.” lapor Janeta lirih melalui ponselnya, sementara sebelah tangan kirinya memegang kemudi dan matanya nanar memandang lurus ke jalan.

“Siapa?” tanya Rusmidi dari ujung telepon.

“Shania!” jawab Janeta lirih.

“Bagus!” balas Rusmidi singkat lalu menutup pembicaraan.

*

“Hei, kamu tidak berhasil menjual satu pot bunga pun! Sudah aku katakan kalau kamu tidak berbakat menjadi seorang penjual tanaman. Coba kalau tadi aku ikut bersamamu, setidaknya 20 pot bunga bisa terjual.” Anggi langsung merepet setelah ia memeriksa dan menghitung pot tanaman hias di bak pik up yang baru saja sampai di halamannya yang menyerupai perkebunan tanaman hias. Jumlah pot yang di bawa Janeta masih masih sama dengan jumlah yang pulang sekarang. Itu artinya Janeta tidak berhasil menjual satu pot pun tanaman miliknya.

“Uh, merepet aja nih si Ibu. Bukannya di suruh duduk dulu.” sungut Janeta sambil memperbaiki letak tas selempang di dadanya.

“Kamu itu hidup sendiri, Janet! Kamu tidak tahu betapa besarnya biaya yang harus di keluarkan untuk biaya pendidikan anak. Mana besok aku harus membayar uang pembelian buku Rangga.” omelan Anggi terus berlanjut sambil memandang Angga putra semata wayangnya yang sedang sibuk menyiram bunga tak jauh dari bangku panjang tempat Janeta dan Anggi kini duduk.

Rangga menoleh kepada ibunya dengan wajah sendu lalu berjalan perlahan mendekati Anggi dan Janeta.

“Besok hari terakhir untuk membayar buku, Bu. Kalau tidak Rangga tidak di bolehkan ikut belajar.” ucap Rangga pilu lalu menundukkan kepalanya. Anak itu duduk di kelas VI Sekolah Dasar.

Anggi mengusap kepala Rangga nan nampak sedih.

“Sabar ya Nak. Ibu pasti akan berusaha memenuhi kebutuhanmu.” hibur Anggi mencoba tersenyum.

“Iya Bu!” jawab Rangga lalu meninggalkan Anggi dan Janeta untuk meneruskan pekerjaannya menyiram tanaman. Anggi mengikuti kepergian putranya dengan pandangan matanya.

“Nih !” Janeta menyodorkan satu ikat lembaran uang lima puluh ribuan.

Anggi menoleh dan rongga matanya langsung melebar.

“Uu.. uaang!” seru Anggi tak percaya menatap uang yang di sodorkan Janeta lalu beralih memandangi wajah Janeta yang duduk di sampingnya.

“Ya uanglah, masa kue apem.” sahut Janeta sambil salah satu tangannya membenarkan letak ranting kayu yang ia jepit dengan kedua bagian giginya.

“Ambillah!” ujar Janeta lalu menyodorkan uang itu lebih dekat ke dada Anggi.

“Uu uuntukku..?” tanya Anggi tergagap.

“Yeah.! Jawab Janeta singkat lalu membuang ranting yang tadi di gigitnya.

Anggi bergegas menerima uang yang masih terikat kertas melintang yang bertuliskan nama sebuah Bank terkenal. Di kertas yang mengikat lembaran uang itu tertera jumlah nominalnya 5.000.000 Rupiah.

“Ranggaaa...!! Ini uangnya Naaak..!! Anggi berlari mendekati Rangga dan mendekap uang yang baru saja di berikan Janeta di dadanya.

Rangga yang sedang sibuk menyiram tanaman spontan melemparkan slang kecil yang masih di aliri air. Ia berlari menyambut kedatangan ibunya dan mereka terlihat menari-nari bahagia.

Janeta hanya memandangi kebahagiaan ibu dan anak itu dari bangku yang ia duduki. Janeta meletakkan kunci mobil milik Anggi di atas bangku, lalu mendekati sepeda motornya dan berlalu begitu saja dengan kendaraan roda dua tersebut.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status