Share

Bab 5. Pembacaan Perubahan Surat Wasiat.

"Hm, saya juga sedikit pun tidak menyangka Tuan, Nyonya Lusy pergi dengan sangat tiba-tiba.” Tuan Morat menghela nafas prihatin. Wajahnya kusut dan sedih.

“Padahal, baru satu bulan ia datang ke kantor saya. Lalu saya mendengar berita yang sangat memilukan ini.” sambung Tuan Morat makin prihatin.

“Lusy menemui Tuan Morat sebulan yang lalu?” Tuan Fidel mengangkat wajahnya yang masih basah oleh air mata.

Janeta menghentikan gerakan tangannya mencongkel tanah di dalam pot yang berisi tanaman talas. Keningnya berkerut dan ia semakin mempertajam insting pendengarannya.

“Yah, Nyonya Lusy datang agak sore ketika itu. Saya baru saja akan meninggalkan kantor namun Almarhumah meminta saya untuk menunggu. Saya memenuhi permintaan Almarhumah dan kami bertemu selama hampir 2 jam.” jawab Tuan Morat menjelaskan.

“Ooh, lalu apa yang di sampaikan oleh istri saya sehingga ada pertemuan hampir 2 jam di kantor Tuan Morat? Apakah istri saya mempunyai kasus sehingga harus meminta bantuan Tuan Morat?” tanya Tuan Fidel terdengar mulai tidak sabar.

Hening sejenak. Janeta menahan nafas untuk bersiap mendengarkan penjelasan Tuan Morat sang Pengacara Nyonya Lusy tersebut.

“Untuk itulah maksud kedatangan saya kesini. Saya akan membacakan isi surat wasiat yang baru, berikut memberikan salinan atas perubahan surat wasiat yang di buat klien saya sebelumnya.” 

“Wooow..!” Janeta membathin.

“Ini makin menarik!” gumamnya lirih.

“Perubahan surat wasiat? Perubahan apa maksudnya Tuan?” tanya Tuan Fidel terdengar risau dan gusar.

Hening kembali sesaat. Janeta yakin kalau Tuan Morat tengah mengambil dokumen di dalam tas yang ia tenteng tadi.

“Baiklah, saya akan membacakannya!” ujar Tuan Morat lalu mulai membaca.

“Ini tidak mungkin Tuan Moraaaat...!!” Baru saja Tuan Morat selesai membacakan isi perubahan surat wasiat itu, Tuan Fidel sudah menyambutnya dengan teriakan histeris.

“Tidak mungkin Lusy mencoret nama saya dalam daftar pewaris hartanya dan menyerahkan semuanya kepada Shania!” seru Tuan Fidel lantang. Ia sampai berdiri dari tempat duduknya.

“Tapi kenyataannya memang begitu Tuan Fidel. Klien saya memutuskan untuk mengalihkan semua hak atas harta milik pribadinya kepada Nyonya Shania. Apa alasannya? Itu bukanlah wewenang saya untuk mengetahuinya.” ungkap Tuan Morat.

“Jadi, apapun yang merupakan harta pribadi Nyonya Lusy, termasuk rumah ini dan beberapa properti lain yang ia miliki, serta semua saham di perusahaan anda Tuan Fidel,” Tuan Morat berhenti sejenak sambil menatap Tuan Fidel yang mulai berkeringat dingin.

“Sekarang sudah sah dan meyakinkan menjadi hak penuh dari Nyonya Shania.” tutup Tuan Morat tegas dan jelas.

“Dan kepada anda Nyonya Shania, saya tunggu kedatangan anda di kantor saya secepatnya. Saya butuh anda menandatangani beberapa dokumen.” ucap Tuan Morat lebih mirip kalimat perintah.

“Saaa.. saaya..?” suara Shania terdengar gugup.

“Yah anda Nyonya. Dan harta ini adalah milik anda pribadi, karena ini berupa pemberian yang di khususkan kepada anda.” sambung Tuan Morat menjelaskan.

Hening beberapa saat. Tak lama kemudian terdengar isak tangis Shania begitu lirih.

“Saya tidak menyangka Kak Lusy akan melakukan ini. Saya juga tidak tahu apa alasan Kak Lusy mewariskan semua hartanya kepada saya.” ucap Shania mendayu-dayu.

“Hm, ternyata ini alasanmu untuk menghabisi Lusy. Kamu sudah tahu kalau Lusy telah menulis perubahan surat wasiat dan mengalihkan semua hartanya kepadamu, dan kamu sudah tidak sabar untuk menguasai harta itu.” cerca Tuan Fidel tentu saja kepada istri mudanya Shania.

“Diam kamu Pa! Kamu selalu saja mencurigai aku!” bentak Shania dengan suara keras.

“Okelah! Saya tidak mau mendengar pertengkaran kalian. Tugas saya hanya menyampaikan isi wasiat klien saya. Saya permisi!” ujar Tuan Morat lalu pergi setelah meninggalkan dokumen yang ia bacakan tadi kepada Shania.

Tuan Morat meninggalkan ruang tamu kediaman Tuan Fidel tanpa di antar oleh Tuan Fidel. Tuan Fidel hanya duduk di sofa dengan wajah kusut.

Shania akhirnya berdiri dan mengantar Tuan Morat sampai ke teras rumah.

“Terima kasih Tuan Morat!” ucap Shania.

“Sama-sama Nyonya!” jawab Tuan Morat lalu menaiki tunggangannya dan berlalu.

“Oh, keluarga ini ternyata memiliki masalah yang cukup unik.” gumam Janeta.

“Hei Mbak, ngapain di sini? Mau intip dengar ya?” tiba-tiba suara Bik Imah pembantu Shania mengagetkan Janeta. Ia berdiri berkacak pinggang di belakang Janeta yang tengah mengulurkan wajahnya ke depan jelas sedang mengintip.

(Woow, kamu ketahuan..! 😀)

“Tidak baik mengintip urusan majikan.” sambung Bik Imah mengomeli Janeta.

“Tidak Bik, saya hanya membersihkan pohon talas ini.” jawab Janeta mencoba membela diri.

“Huh, baru sehari kerja sudah mau tahu urusan majikan!” seru Bik Imah dengan nada marah lalu meninggalkan Janeta dengan menghentakkan kakinya ke tanah terlebih dahulu.

“Biiik.. Bik! Galak bener jadi orang!” seringai Janeta mengelus dada.

Tapi Janeta terus saja dengan kelakuannya yang suka menguping. Tapi ia mengganti posisinya agak jauh biar tidak terlalu menarik perhatian dan kecurigaan Bik Imah pembantu Tuan Fidel yang tidak cukup ramah kepadanya itu.

“Puas kamu sekarang Shania! Kamu telah berhasil memperdaya Lusy dengan kebaikan palsumu itu, sehingga dengan bodohnya ia percaya kepadamu!” ujar Tuan Fidel dengan nada membentak.

“Kalau kamu masih mencurigai aku Pa, kamu boleh laporkan aku ke polisi. Aku siap di periksa kapan saja.” jawab Shania kini dengan nada menantang.

“Jelas aku akan laporkan kamu ke polisi. Banyak hal yang tidak masuk akal yang aku temui.” sambut Tuan Fidel.

“Kematian Lusy jelas menguntungkanmu. Lalu siapa lagi yang punya kepentingan dengan kematian Lusy kalau bukan kamu? Jelas bahwa kamu lah yang punya potensi paling besar menghabisi Lusy.” tandas Tuan Fidel.

“Terserah padamu Pa. Tapi yang harus kamu pikirkan adalah laporan keuangan perusahaan mulai bulan ini.” tandas Shania kini dengan suara sinis.

“Kamu sudah tahu bukan? Kalau akulah sekarang pemilik perusahaan yang sah. Aku bisa saja membuangmu kalau kamu berani macam-macam padaku!” bentak Shania kini terdengar sadis. Jauh berbeda dari nada bicaranya tadi yang selalu mengalah. Kini ia seakan sudah menjelma menjadi seekor singa betina yang siap merobek mangsa.

“Kurang ajar!” teriak Tuan Fidel.

“Hahaha...!” jawab Shania lalu ia pergi meninggalkan Tuan Fidel di ruang tamu.

“Janeeet...!” 

“Ii.. iiya Nyonyaaa..!” Janeta tersentak kaget ketika namanya tiba-tiba di panggil Shania. Shania sudah berdiri di sudut taman dengan berkacak pinggang.

Janeta berlari setengah membungkuk ke arah Shania.

“Sekarang kamu sudah boleh pulang!” perintah Shania sambil memainkan jari telunjuknya mengisyaratkan agar Janeta pergi secepatnya.

“Baik Nyonya!” jawab Janeta mengangguk dan bersiap untuk pergi.

“Aduh, jangan-jangan Shania memecatku. Mungkin saja Bik Imah melapor kepadanya kalau aku sudah mengintip urusan keluarganya sedari tadi. Duuh, gimana caranya aku menyelidiki kasus ini kalau aku tidak masuk dalam keluarga ini.” rutuk hati Janeta.

“Jangan lupa lusa datang lebih awal! Aku ada tugas tambahan untukmu!” seru Shania setelah Janeta tiga langkah berjalan.

Janeta segera membalikkan badannya kembali menghadap Shania.

“Baik Nyonya!” ujar Janeta berusaha menyembunyikan sorak sorai dalam hatinya.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status