Hari ini adalah hari Selasa. Hari yang di tetapkan sebagai hari libur Janeta oleh Shania.
“Apa yang di lakukan Shania hari ini? Aku kok jadi kepikiran terus dan semakin penasaran.” Janeta membolak-balik badannya di atas pembaringan. “Oh, sudah pagi.” desah Janeta ketika ia melirik jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 5 pagi. Rasa kantuk yang belum usai membuat Janeta menguap berkali-kali.“Sepertinya aku harus mamantau Shania lebih pagi. Aku tahu Shania adalah tipe wanita yang selalu rutin memulai aktivitasnya di pagi hari. Jam 7 aku sudah harus sampai di sana.”Janeta bangun dari pembaringan dan mengingsut langkahnya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia sudah keluar dengan segar hanya menggunakan handuk yang melilit dari atas dada sampai ke atas lutut. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna agak merah bata terlihat basah. Janeta sebenarnya sungguh cantik walaupun ia jarang menonjolkan kecantikannya itu.Dengan hair dyer Janeta mengeringkan rambutnya lalu mengenakan pakaian olah raga berwarna hitam bergaris putih di kedua sisinya. Warna hitam sangat cocok melekat di warna kulitnya yang putih dan lumayan bersih. Bedak ia sapukan di wajahnya dengan riasan tipis lips gloss di bibir. Rambutnya ia sisir dan ia ikat dengan sebuah kunciran rambut.Setelah menggunakan sepatu kets Janeta menyambar sepotong roti di atas meja makan lalu memakannya dengan hanya segelas air putih. Yang demikian cukup bagi Janeta yang tidak terlalu banyak cincong terhadap menu makanan sehari-hari.Tepat jam 6.30 pagi Janeta sudah duduk di sadel sepeda motornya dengan menggunakan helm yang menutupi wajahnya. Sebuah masker hitam ia kenakan sebelumnya menutupi mulut dan hidungnya. Sepeda motor Janeta mulai bergerak menuju Jalan Flamboyan tempat kediaman keluarga Fadel yang akan di tempuhnya lebih kurang 30 menit saja dari tempat tinggalnya.Tepat jam 7 pagi Janeta telah mengelilingi komplek perumahan tempat kediaman keluarga Tuan Fidel yang merupakan deretan rumah yang di bangun secara pribadi.Rumah di sana semuanya berukuran besar dan memiliki taman yang cukup luas. Tidak satu pun bangunan rumah di sana sama bentuknya, karena rumah itu bukanlah hasil bangunan pihak developer.Dari seberang jalan rumah tempat tinggal Shania, ada sebuah hutan penghijauan buatan. Disana sengaja di tanam beberapa pohon yang rindang dan cukup tinggi. Di sanalah Janeta duduk memantau rumah Shania yang berjarak kira-kira 10 meter saja dari tempat itu. Jam sudah menunjukkan pukul 7.20 pagi. Rumah tingkat dua berpagar stainless itu nampak masih sepi. Belum ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat mencolok. Janeta terus memantau sambil duduk berjongkok di dekat parit kecil dengan memegang sebuah ranting di tangannya seolah-olah ia sedang memancing.Matahari mulai tinggi. Jarum jam di tangan Janeta menunjukkan pukul 08.30 wib pagi. Itu tandanya sudah satu jam lebih Janeta telah memantau kediaman Shania dan suaminya Tuan Fidel. Matahari bersinar terang dan bumi mulai hangat dan berangsur panas.Sebuah mobil Expander tahun terbaru berwarna hitam muncul dari mulut pintu gerbang rumah Shania yang terbuka perlahan.Janeta menoleh dengan mata tajam. Ia tahu bahwa yang mengendarai mobil itu pasti Shania, karena mobil tersebut adalah mobil pribadi milik wanita muda yang cantik itu.Bergegas Janeta bangkit dari duduknya dan bertengger ke sadel sepeda motornya setelah terlebih dahulu menggunakan masker dan kaca mata hitam lalu kepalanya di tutup dengan helm warna hitam pula. Sepintas penampilan Janeta seperti seorang pemuda yang cukup keren.Tanpa kesulitan Janeta terus mengikuti mobil Expander yang dikendarai oleh Shania. Mobil itu meninggalkan keramaian kota lalu menuju ke sebuah perkampungan yang cukup asri. Di depan sebuah rumah yang cukup sepi, Shania memarkirkan mobilnya itu di halaman yang cukup luas dan agak rindang. Rumah itu tidak memiliki tetangga dekat. Di sekelilingnya terlihat hamparan perkebunan sayuran yang menghijau.“Rumah siapa itu? Untuk apa Shania datang kemari?” tanya Janeta dalam hati. Tak lama kemudian Janeta melihat ada seorang lelaki hampir setengah baya membuka pintu rumah yang di bangun semi permanen itu. Tampang lelaki itu tidaklah rapi dengan brewok tumbuh tak beraturan di kedua sisi pipinya. Ia memakai kemeja warna hitam kumal.Shania segera masuk ke dalamnya tanpa banyak bicara. Ia mengenakan gaun selutut yang sungguh cantik di pandang mata. Sekejap sang lelaki brewokan itu memandang sekeliling lalu segera menutup pintu rumah kembali. Dari lagaknya yang mencurigakan Janeta berkesimpulan bahwa lelaki itu tadi tengah mengawasi situasi di sekeliling rumah sebelum Shania masuk ke dalam. Syukur Janeta sudah bersembunyi di balik kerimbunan semak belukar yang banyak di tumbuhi pohon petai cina dengan tinggi pohon masih tanggung. Dari sana Janeta telah membidikkan kamera ponselnya dan ia mendapat dua buah foto yang cukup jelas.Dengan sabar Janeta menunggu dan mengintai kegiatan Shania. Ia masih mempertimbangkan apakah ia harus mendekati rumah itu atau memantau dari kejauhan saja.Janeta melirik jam tangannya, “sudah jam 12 siang” gumam Janeta sendiri lalu memandang matahari yang berada tepat di atas puncak kepala.“Lama banget dia disana. Apa ya, yang mereka lakukan?” Janeta bertanya-tanya sendiri.“Sebaiknya aku dekati saja. Aku tidak akan menemukan apa pun kalau hanya berdiam diri di sini.” ucap Janeta lalu mencari jalan yang aman menuju rumah yang terlihat sedikit mirip gubuk itu.Dengan mengendap-endap Janeta berhasil bersembunyi di belakang bagian dapur. Disana cukup terlindung karena di tumbuhi banyak sekali sayuran katuk yang mulai rimbun.“Fidel masih saja mencurigai aku, Paman. Padahal aku sudah aman dari kecurigaan polisi.” terdengar suara Shania berbicara.“Ooh, mungkin ia sangat marah karena Lusy menghibahkan semua harta miliknya kepadamu.” jawab lelaki brewok yang di panggil paman oleh Shania tadi. Bunyi gemericik air terdengar di tuang ke dalam gelas dari sebuah cerek. Janeta beringsut semakin mendekat.“Kamu harus lebih berhati-hati menjaga sikapmu agar tidak menimbulkan kecurigaan.”“Ya Paman.”“Karena pembunuhan Lusy belum mendapat titik terang dan kasusnya belum di tutup, sehingga polisi pasti masih berkeliaran mencari barang bukti.” Lelaki itu melanjutkan perkataannya.Janeta menghela nafas dan menahannya serta pelan-pelan menghembuskannya. Pendengarannya makin ia pertajam.“Tapi, mengapa Kak Lusy memberikan semua hartanya kepadaku, Paman? Bukankah aku tidak pernah meminta itu kepada Kak Lusy?” kali ini Shania yang berbicara.“Hmmm...” suara lelaki mendehem.“Sebulan sebelum meninggal, Lusy datang kemari. Ia mengatakan kalau ia pernah melihat suami kalian pergi ke hotel dengan seorang wanita muda.” ucap lelaki itu.“Ooh, ternyata Lusy juga mengenal lelaki ini dan pernah datang ke sini juga?” Janeta makin bingung untuk mengambil kesimpulan.“Fidel bersama wanita muda? Siapa dia Paman?” Shania bertanya.“Paman juga tidak tahu. Yang jelas Lusy mengatakan bahwa ia sudah tidak mempercayai Fidel lagi. Mungkin karena alasan itulah ia mengambil kesimpulan untuk mengganti nama penerima wasiat dari Fidel kepada kamu.” papar lelaki itu.“Huuh... Ingin aku cincang ke dua manusia laknat itu.” Shania mengeram.“Ooh, siapa dia? Aku harus mencari tahu siapa wanita itu.” gumam Janeta di dalam hati.“Kita harus membalas kematian Kak Lusy, Paman. Sebenarnya aku curiga kepada Fidel tapi aku belum punya petunjuk apapun.” lanjut Shania.“Yah, aku juga tidak terima keponakanku mati begitu saja. Aku sudah berjanji kepada Ibunya bahwa aku akan menjaganya dengan nyawaku. Tapi aku gagal.” Suara lelaki itu kini terdengar serak. Mungkin saja pipinya sudah basah oleh air mata.Janeta mengangguk-anggukkan kepalanya, “ternyata bukan Shania pelakunya, dan lelaki ini adalah Paman dari Nyonya Lusy.”“Tapi itu belum seratus persen betul. Bisa jadi Shania hanya mengelabui si Paman ini.” Tiba-tiba Janeta membantah kembali opininya.“Baiklah Paman, aku permisi dulu” terdengar Shania berpamitan. Janeta membiarkan Shania pergi dan tetap bersembunyi. Setelah mobil Shania berlalu, lelaki setengah baya itu kembali masuk ke rumahnya. Janeta mengingsut mundur tubuhnya dengan cara jalan sambil jongkok dengan sangat hati-hati tanpa menimbulkan bunyi. Ia berniat untuk segera meninggalkan tempat persembunyiannya.Tiba-tiba...Guuk...guuk..guuk...!!Seekor anjing berwarna hitam dengan postur tubuh tinggi gesit sudah muncul di belakang Janeta. Matanya tajam bagaikan srigala lapar yang siap mengambil ancang-ancang untuk menerkam Janeta yang kini menoleh kepadanya dengan keberanian yang sudah minus.“Maaak..! Mati akuuu...!!” teriak Janeta hampir saja pipis di dalam celana. 😀******Dengan wajah pucat pasi Janeta berusaha menjinakkan si guk guk. Ia memberikan senyuman termanis yang ia miliki yang bahkan kepada cowok terganteng sedunia pun belum pernah ia berikan.“Heloo ganteng..! Jangan marah dulu. Kita kan belum berkenalan.” ucap Janeta mencoba merayu si guk guk yang masih saja memandang sangar ke arahnya.Bukannya merubah wajah sangarnya menjadi lebih ramah, si guk guk malah menggeram sambil memamerkan taringnya yang aduhai menyeramkan.“Iii...” Janeta bergidik. Ia mencoba melafal beberapa doa namun tidak mampu jua menurunkan frekwensi kegarangan si guk guk.“Guuk..guuuk..guuk..!” Anjing itu mulai menyalak lagi. Matanya dengan tajam memandang Janeta yang meringkuk di bawah pohon katuk yang cukup rimbun.Tiba-tiba Janeta melihat ada sebuah batu sebesar kepalan tangan tak jauh dari tempatnya duduk berjongkok. Janeta langsung teringat bahwa ia pernah membaca artikel tentang cara menanggulangi anjing g
“Kalau memang Pak Warno adalah pembunuh bayaran, mengapa justru keponakannya sendiri yang menjadi korban pembunuhan?”“Ataauuu... Ooh, tak mungkin. Tidak mungkin Pak Warno yang membunuh keponakannya sendiri.” Janeta berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah kontrakannya. Ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.Pertemuan tak sengaja dengan si Ibu pemilik gubuk di tengah sawah, membuat Janeta semakin penasaran atas kematian Lusy, madu tua Shania tersebut. Semuanya menjadi semakin mencurigakan termasuk Pak Warno, paman korban sendiri. Yang jelas, Lusy pasti di habisi oleh orang yang mempunyai kepentingan dengannya. Dugaan Lusy di rampok, itu jauh dari kemungkinan.“Tapi..., Mengapa Shania bertemu dengan Pak Warno diam-diam?” Janeta terus memutar otaknya. Ia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.“Ataaau, jangan-jangan ada konspirasi di antara mereka berdua.” gumam Janeta menerka-nerka.“Rasanya
Sebuah kertas agak tebal berlipat yang jatuh dari balik bingkai foto pernikahan Lusy dengan Tuan Fidel, kini berada dalam genggaman Janeta. Janeta segera membuka lipatan kertas itu dan ternyata adalah sebuah foto yang nampak di ambil dari jarak yang cukup jauh dan di malam hari yang di tandakan dengan cahaya lampu yang nampak tidak begitu terang.Dalam foto itu terlihat Tuan Fidel tengah merangkul seorang wanita yang membelakangi kamera. Wajah Tuan Fidel nampak jelas namun wanita yang berdiri memunggung ke kamera tersebut terlihat membalas pelukan Tuan Fidel, hanya terlihat busananya saja.“Siapa wanita ini?” tanya Janeta di dalam hati sambil menatap foto itu. Nampaknya foto itu masih baru. Yang terlihat jelas hanyalah gaun yang dikenakan wanita di dalam foto itu agak kembang selutut berwarna orange cerah dan berhias kembang putih, high hills putih susu dan sebuah selendang berwarna putih polos yang menjuntai di punggungnya.“Sebaiknya ini aku
Sesampai di rumah Shania sudah lewat jam makan siang. Jarum jam menunjukkan pukul dua lebih dua belas menit. Cacing-cacing di dalam usus Janeta mulai berdemontrasi menuntut haknya.Janeta memarkirkan mobil majikannya dengan hati-hati di garasi. Ia turun dari mobil itu lalu bersiap untuk mendekati sepeda motornya yang juga terparkir di halaman yang luas itu. Namun sebelumnya Janeta menunggu Shania turun untuk berpamitan kepadanya.“Nyonya, saya langsung pulang sekarang?” tanya Janeta memastikan dulu kepada Shania.“Apakah kamu tidak lapar?” tanya Shania sambil merapikan roknya.Dari dalam rumah Janeta mendengar suara seorang perempuan yang sedang mengajarkan Ricana putri Shania, membaca.“Oh, ada makhluk lain di rumah ini. Aku tidak boleh pulang dulu.” ucap hati Janeta. Ia berfikir mencari cara agar tetap berada di sana.“Saya lapar sekali Nyonya. Rasanya sudah tidak kuat ke warung makan.” ucap Janeta
"Besok sudah ada orang yang akan membantu mengurus Ricana dan Arkhas. Kamu akan aku angkat jadi sekretarisku di kantor menggantikan sekretaris Fidel yang lama.” ucap Shania tenang setenang tatapannya ke arah wajah Salma.“Benarkah Nyonya?” tanya Salma nampak senang dan girang.“Iya!” jawab Shania tersenyum.“Apakah kamu bersedia?” sambungnya bertanya untuk memastikan kesediaan Salma.“Bersedia Nyonya! Nyonya tahu kan? Kalau Saya hanyalah orang miskin. Saya sangat berterima kasih atas penawaran Nyonya ini.” sahut Salma bergegas. Kalimatnya terdengar begitu berlebihan.Shania mengangguk dan tersenyum. Janeta hanya manggut-manggut mendengar.“Tapiii...!” tak lama kemudian Salma menyambung seakan menyanggah.“Tapi apa Sal?” tanya Shania.“Kalau sekretaris Tuan Fidel di berhentikan, bagaimana dengan Tuan Fidel? Apakah dia diberhentikan juga Nyonya?”Shani
"Terima kasih Janet, kamu sudah menyelamatkan aku.” ucap Shania kepada Janeta setelah Tuan Fidel pergi.Belum sempat Janeta menjawab ucapan terima kasih Shania, Salma sudah bergegas memeluk Shania dan berkata.“Nyonya tidak apa-apa kan? Uuh, saya geram sekali melihat perlakuan Tuan Fidel. Ingin rasanya aku injak-injak tubuhnya. Dia sungguh kejam mau menampar istri sendiri.” ucap Salma bertubi-tubi sambil tangannya berusaha mengusap pipi Shania.“Saya tidak apa-apa Salma. Kamu tidak usah khawatir.” jawab Shania sambil merenggangkan tubuhnya dari rangkulan kedua tangan Salma.“Syukurlah Nyonya!” sahut Salma lalu mundur dari tubuh Shania. Shania tersenyum kepada Salma.“Hari ini kamu nampak cantik.” seloroh Shania sambil mematut penampilan Salma.Wajah Salma tersipu malu mendapat pujian seperti itu dari Shania. Ia juga ikut mematut tubuhnya dan memegang dua sisi roknya yang kembang sebatas lutut.&
Sekitar jam 8 pagi Janeta sudah nampak bersiap meninggalkan rumah. Ia mengenakan jacket kulit dan celana Jeans warna hitam dan memakai kaca mata hitam pula. Sebuah helm tertutup ia kenakan di kepalanya petanda bahwa dirinya akan melakukan perjalanan cukup jauh.Hari ini Janeta berniat akan mendatangi rumah seorang ibu yang berada di tengah sawah yang tidak jauh dari rumah Pak Warno. Pak Warno kemungkinan adalah paman dari Nyonya Lusy yang tengah ia selidiki kasus kematiannya.Oh ya, nama ibu pemilik gubuk di tengah sawah itu adalah Ibu Asih. Janeta sempat bertanya kepada seorang pemilik warung ketika ia akan meninggalkan daerah pedesaan itu. Kata pemilik warung itu, Bu Asih tinggal seorang diri setelah anak gadisnya merantau ke kota dan tidak pernah kembali sejak kepergiannya.Janeta menaiki sepeda motornya dan membawa beberapa bungkusan yang berisi pakaian dan makanan. Ia ingin membalas budi baik Bu Asih yang telah menolongnya dari serangan anjing milik Pak Warno, be
Di pinggir sumur seekor anjing hitam nampak sedih dan terdengar beberapa kali melolong. Air mata jatuh dari sudut matanya. Walau ia hanya seekor hewan, namun nalurinya sangat peka. Beberapa kali anjing itu menjilat pinggiran sumur tempat jasad Pak Warno di temukan.Wajahnya semakin pilu di saat mobil ambulans membawa jasad Pak Warno pergi. Ia berlari mengikuti namun kendaraan itu melaju begitu cepat hingga akhirnya anjing itu pasrah dan kembali ke halaman rumah Pak Warno.“Mungkin Pak Warno tergelincir masuk ke dalam sumur dan tidak ada yang menolong.” Terdengar pendapat seorang lelaki yang masih berkerumun dengan beberapa penduduk desa itu. Yang lain mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat laki-laki setengah baya itu.“Tapi apa mungkin Pak Warno di bunuh? Kan kabarnya Pak Warno adalah pembunuh bayaran. Bisa saja ada yang dendam kepadanya.” sahut salah satu dari mereka berbisik-bisik.“Lha, aku juga kadang berfikir demikian. P